Jumat, 02 April 2010

Konflik Antar Pemerintahan dan Prospek Penerapan Lembaga Arbitrasi di Sektor Publik


Abstrak:

Salah satu bentuk kewenangan pemerintahan menurut UU No. 22 / 1999 adalah kewenangan lintas daerah seperti sungai, perikanan, jalan, tambang, hutan, dsb. Kewenangan jenis ini sangat potensial memunculkan konflik antar daerah. Pada masa Orde Baru, konflik antar daerah ini tidak menonjol karena peran pemerintah Pusat yang sangat dominan sebagai penentu kebijakan dan sekaligus sebagai mediator konflik. Namun dengan berlakunya UU Pemda yang baru, maka Pusat tidak dapat lagi memainkan peran lamanya, sehingga daerah dituntut untuk membangun konsensus dengan daerah lain dalam penyelenggaraan kewenangan lintas daerah. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada aturan tentang lembaga dan mekanisme penyelesaian konflik. Tulisan ini mencoba mengkaji kemungkinan penerapan lembaga arbitrasi untuk penyelesaian konflik yang terjadi di sektor publik.


Pengantar


SEJAK berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999, harus diakui telah terjadi banyak perubahan postif dan mendasar dalam sistem pemerintahan di daerah. Semangat kemandirian dikalangan aparat dan masyarakat lokal, lebih sejajarnya hubungan dan peran Pusat dan Daerah, serta lebih terakomodasikannya aspirasi rakyat dalam kerangka manajemen pemerintahan, adalah beberapa hasil konstruktif yang dapat diamati dari 2 tahun berlakunya secara efektif undang-undang tersebut. Meskipun demikian, harus disadari pula bahwa masih terdapat kekurangan baik dalam aspek material (kelemahan dilihat dari substansi pengaturan), aplikasi (kelemahan dilihat dari kesalahan penafsiran atau karena ketiadaan aturan pelaksana), maupun eksternalitas (kelemahan dilihat dari dampak langsung maupun tidak langsung akibat berlakunya suatu aturan).

Kekurangan dari aspek material akan berimplikasi kepada perlunya revisi terhadap pasal dan ayat-ayat dalam aturan yang bersangkutan. Sementara dalam hal terjadi kekurangan aplikatif, penyusunan aturan organik dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, mutlak diperlukan untuk memecahkan persoalan. Adapun kekurangan eksternalitas membutuhkan pengaturan tersendiri yang lepas dari peraturan induknya.

Tulisan ini akan mencoba memfokuskan pembahasan dalam aspek yang ketiga. Sebagaimana kita maklumi, salah satu dampak eksternalitas dari pemberlakuan UU Pemerintahan Daerah yang baru adalah makin merebaknya kasus-kasus konflik antar pemerintah daerah, atau antara Pusat dan Daerah. Sayangnya, hingga saat ini belum ada indikasi yang jelas tentang kebijakan, prosedur dan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Untuk itulah, tulisan ini akan membahas berbagai aspek yang terkait dengan konflik dan resolusi konflik, salah satunya dengan menawarkan gagasan tentang perlunya lembaga arbitrasi.

Anatomi Konflik Antar Pemerintahan


Dari beberapa fenomena yang telah (dan diprediksikan akan) muncul, kita dapat membuat analisa tentang beberapa aspek yang terkait dengan konflik antar pemerintahan, terutama yang menyangkut pola, sumber dan tahapan penyelesaian konflik. Dilihat dari pola dan sumber konflik yang telah terjadi atau potensial berkembang dimasa mendatang, paling tidak terdapat lima kategori:

1.      Konflik yang terjadi karena adanya suatu asset yang bersifat lintas daerah.
Asset yang tergolong sebagai public goods yang memiliki ciri utama indivisible (tidak dapat dibagi-bagi), merupakan sumber utama bagi munculnya konflik dalam kategori ini. Jalan raya, perikanan/kelautan, sungai/sumber mata air, dan areal pertambangan, adalah contoh asset yang tidak mungkin dikelola secara parsial oleh lembaga atau daerah tertentu. Adalah mustahil untuk membatasi usaha pertambangan semata-mata berdasarkan batas geografis daerah. Demikian pula, tidaklah mungkin bagi daerah hulu untuk menutup aliran sungai ke daerah hilir. Pelarangan bagi nelayan untuk mencari ikan diradius mil tertentu, juga bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dan demi alasan pelayanan umum, adalah sangat aneh pula jika pembangunan dan pemeliharaan jalan dihentikan seketika di tugu batas daerah.
Wujud konkrit dari konflik ini dapat bermacam-macam. Konflik yang menyangkut sumber daya air misalnya, daerah hilir bias jadi hanya menerima ekses negatif dari penggunaan air di daerah hulu seperti pencemaran atau penyebaran wabah melalui air sungai. Pada bidang pertambangan, pengelolaan dan bagi hasil usaha menjadi potensi masalah yang sangat menonjol.
Sementara dalam kasus rebutan lahan garapan antar nelayan, secara riil konflik terjadi antar anggota/kelompok masyarakat, namun sesungguhnya merepresentasikan konflik antar pemerintahan daerah pula. Sedangkan kesenjangan kualitas pelayanan umum di perbatasan, misalnya dalam pemenuhan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan, akan menimbulkan rasa ketidakadilan atau ketidakmerataan bagi sesama warga negara.

2.      Konflik yang terjadi karena usaha / pencaharian masyarakat yang bersifat lintas daerah.
Kasus ini sering terjadi pada sektor perhubungan, dimana masyarakat mengoperasikan moda transportasi tertentu dengan jangkauan yang melewati batas domisilinya. Konflik yang terjadi bisa dalam bentuk regulasi ganda dalam pemungutan retribusi angkutan umum, atau penolakan angkutan umum dari daerah asal ke daerah tujuan. Kasus terakhir telah terjadi antara Kabupaten dan Kota Bogor dibalik pembangunan terminal Bubulak.
Sumber atau akar permasalahan dari konflik ini adalah adanya keyakinan daerah tertentu bahwa usaha yang dilakukan oleh penduduk dari daerah lain akan mengakibatkan kerugian bagi usaha serupa di daerahnya. Disamping itu, terdapat kecenderungan bahwa masing-masing daerah sama-sama menganggap sebagai pihak yang paling berhak untuk memungut iuran retribusi.
Dalam kerangka yang lebih luas, potensi konflik dalam kategori ini bisa berkembang lebih jauh. Kasus DKI Jakarta menggambarkan dengan sangat jelas bahwa sebagian terbesar karyawan pada instansi pemerintah, swasta maupun di sektor informal di Jakarta, justru berdomisili di wilayah-wilayah penyangga (Botabek). Padahal, income yang diperoleh para pegawai akan dibawa kembali ke daerah asalnya. Secara sangat kasar hal ini dapat dianalogikan sebagai “pelarian devisa” dari Ibukota ke wilayah sekitarnya, yang mengakibatkan “kerugian” bagi Jakarta. Dan apapun bentuk maupun besaran kerugian, jelas menjadi alasan kuat munculnya konflik.

3.      Konflik yang terjadi karena dibutuhkannya suatu asset di daerah tertentu oleh daerah lain.
Seiring dengan semakin majunya pembangunan perkotaan, keberadaan lahan terbuka dengan sendirinya semakin sempit. Padahal, kebutuhan lahan terbuka (yang semestinya juga relatif jauh dari perkampungan penduduk) sangat vital bagi suatu daerah, misalnya sebagai sarana pembuangan sampah. Ketika perjanjian yang saling menguntungkan tidak terjadi, maka muncullah konflik dalam kategori ketiga ini. Contoh klasik adalah konflik antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga (PR, 12 Juni 2002).

4.      Konflik yang terjadi karena benturan kewenangan.
Devolusi kewenangan secara besar-besaran dari Pusat ke Daerah, dalam prakteknya sering menimbulkan ketidakjelasan tentang batas-batas relatif maupun absolut dari kewenangan itu sendiri. Akibatnya, Daerah sering keliru dalam menafsirkan kompetensi (hak terhadap suatu obyek kewenangan tertentu) yang dimiliki.
Sebagai contoh, melalui Perda no. 19, 20, dan 21 tahun 2001, propinisi Jawa Barat menganggap bahwa kewenangan pengurusan hutan, peredaran hasil hutan, serta penyelenggaraan perhubungan merupakan kompetensinya. Nyatanya, perda tersebut diminta oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Perhubungan untuk dibatalkan karena dinilai sebagai kewenangan Pusat. Dalam kasus yang serupa, Perda Jawa Barat No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan Perda No. 24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh, dianggap berbenturan dengan Perda yang diterbitkan oleh Kabupaten Cianjur, Garut, Camis, dan Tasikmalaya karena mengatur hal yang sama (PR, 19 Juni 2002). Sebaliknya, untuk hal-hal yang bersifat pemeliharaan serta tidak mendatangkan tegen prestatie secara finansial, terdapat kecenderungan saling melempar tanggungjawab. Hal ini terjadi antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder Kota Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan bau busuk (Kompas, 24 Juni 2002).
Adanya benturan kewenangan tersebut, secara menyolok menunjukkan adanya rebutan terhadap sektor-sektor pembangunan yang mengandung potensi pemasukan bagi daerah. Dan konflik yang disebabkan oleh orientasi finansial (bukannya orientasi sosial dan pelayanan) ini tidak saja mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan secara umum, namun juga sangat merugikan masyarakat karena kemungkinan terjadinya bermacam pungutan secara ganda (double taxing).

5.      Konflik yang terjadi karena pemekaran wilayah.
Semenjak bergulirnya UU Nomor 22 tahun 1999, kemunculan daerah otonom (baik Propinsi maupun Kota/Kabupaten) menjadi pemandangan yang sangat lazim. Euphoria otonomisasi dan demokratisasi seolah-olah telah menghilangkan pertimbangan rasional dibalik program pemekaran wilayah.
Padahal, banyak sekali kerugian yang muncul, salah satunya adalah pengaturan tentang asset di wilayah pemekaran. Hingga saat ini belum ada kejelasan apakah asset secara otomatis menjadi milik daerah baru hasil pemekaran, atau masih melekat sebagai hak daerah induknya. Bentuk lain dari pemekaran wilayah seperti masuknya beberapa desa / kecamatan di suatu daerah kedalam wilayah daerah lain, juga bias menjadi pemicu terjadinya konflik.
“Ketegangan” dalam masalah asset sebagai dampak pemekaran wilayah ini misalnya terjadi beberapa waktu yang lalu semenjak adanya perluasan wilayah Kota Bogor ke Kabupaten Bogor. Pihak Kabupaten ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta tanah kas desa (bengkok) yang ditarik masuk wilayah Kota (PR, 12 Juni 2002).

Mengingat sangat bervariasinya konflik, penggolongan diatas bisa terlalu sederhana sehingga memerlukan penambahan. Meskipun demikian, hingga saat ini berbagai kasus sengketa antar daerah dapat diklasifikasikan kedalam lima kelompok besar tersebut. Disamping itu, harus diakui bahwa UU Nomor 22 tahun 1999 tidak memberi pedoman tentang cara-cara mengatasi sengketa dalam kelima kategori diatas. Demikian pula, tidak ada satupun pasal atau ayat yang mensyaratkan perlunya disusun suatu produk hukum yang mengatur tentang conflict resolution.

Oleh karena itu, sebagai bentuk eksternalitas dari pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, perlu dirumuskan suatu sistem dan kelembagaan tentang penanganan konflik antar pemerintahan. Dan satu prinsip yang pasti adalah bahwa dalam semua bentuk konflik yang mungkin terjadi, penyelesainnya harus dilakukan secara timbal balik dengan prinsip win-win solution, bukan zero sum game. Atas dasar prinsip tersebut, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai analisis atau jawaban atas faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, melainkan lebih kepada ide untuk mencari alternatif pemecahan sengketa (ADR – Alternative Dispute Resolution).

Pengalaman Penanganan Konflik dan Pergeseran Dominasi Peran Pemerintah


Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan daerah dapat dikatakan sangat sentralistis. Walaupun UU Nomor 5 tahun 1974 mengatur pula tentang desentralisasi, namun kewenangan pemerintah Pusat terhadap Daerah masih lebih menonjol melalui implementasi asas dekonsentrasi. Disamping itu, kewenangan pemerintahan pada hakekatnya menjadi milik atau domain dari pemerintah Pusat, dan sebagian “diserahkan” kepada Daerah. Inilah sebabnya, segala pengaturan yang berkenaan dengan kewenangan, diatur sepenuhnya oleh pemerintah Pusat, termasuk dalam hal terjadi konflik dalam penyelenggaraan kewenangan tersebut. Oleh karena itu, sangatlah logis jika pada masa lalu, seolah-olah tidak terjadi sengketa antar unit pemerintahan.

Dalam hal terjadi salah satu dari kelima konflik diatas, pemerintah tidak hanya bertindak selaku penentu kebijakan (policy formulator and provider), tetapi sekaligus sebagai mediator. Namun berbeda dari pemahaman teoretis bahwa mediator tidak memiliki kewenangan untuk campur tangan terhadap materi yang dipersengketakan. Fungsi mediasi pemerintah justru sangat penetratif, dalam pengertian bahwa pemerintah dapat menentukan apa saja yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena penetrasi pemerintah sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik, maka wajarlah jika lembaga arbitrasi tidak dikenal dalam berbagai kasus yang terjadi di sektor publik.

Sekarang, sebagai dampak dari besarnya arus transformasi kewenangan dari Pusat ke Daerah, pemerintah tidak dapat begitu saja memerankan diri sebagai mediator. Bahkan kalaupun hendak menyediakan aturan dasar bagi penyelesaian konflik, hal ini hanya bisa dilakukan dalam tataran makro, yakni menetapkan standar-standar umum yang harus dipenuhi, sementara penyelesaian konflik secara detail tetap tergantung kepada kehendak dan kebebasan dari pihak yang berselisih. Dan oleh karena pemerintah tidak mungkin lagi berperan sebagai mediator, maka daerah perlu membangun konsensus dengan daerah lainnya dalam penyelenggaraan kewenangan lintas daerah tersebut.

Adanya konsensus ini penting sekali karena hingga saat ini belum ada aturan baku tentang institusi dan mekanisme penyelesaian konflik antar lembaga di sektor publik. Dalam hubungan ini, konsensus yang dibangun semestinya tidak hanya berisi tentang berbagai klausul tentang kerjasama, namun juga tentang tata cara jika terjadi konflik dari pelaksanaan kerjasama tersebut. Konvensi untuk membentuk konsensus ini agaknya sudah mulai berjalan seperti dalam kasus Pemda Kota dan Kabupaten Cirebon yang tengah menjajaki kemungkinan dibuatnya payung hukum bersama sebagai dasar yuridis dalam kegiatan yang berhubungan dengan dua pemerintah tersebut (PR, 26 Juni 2002).

Pergeseran pendekatan dalam penyelesaian konflik dari determinasi tunggal (single determination approach) pemerintah Pusat ke solusi yang berbasis pada kesepakatan (concensus-based resolution approach) ini mengandung implikasi yang sangat mendasar. Perselisihan antar daerah yang sebelumnya murni berada di wilayah “publik”, sedikit demi sedikit ditarik ke wilayah “privat”. Artinya, bukan hukum negara lagi yang berlaku untuk mengatur penyelenggaraan kewenangan tadi, melainkan hukum perikatan / perjanjian.

Seiring dengan hal tersebut, maka penyelesaian sengketa yang timbul-pun tidak perlu lagi mengandalkan keikutsertaan institusi negara seperti pemerintah Pusat, pengadilan, atau lembaga publik lainnya. Pada dasarnya, pihak ketiga tidak dibutuhkan dalam suatu konflik yang bersifat privat, namun dapat diadakan. Dan lazimnya, pihak ketiga ini adalah lembaga arbitrasi atau lembaga lain dibidang mediasi, negosiasi, atau konsiliasi. Yang perlu diperjelas adalah apakah arbitrasi ini memang bisa diterapkan (arbitrability) untuk kasus di sektor publik. Masalah ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian dibawah ini.

Prospek Arbitrasi Untuk Sektor Publik


Pada umumnya, arbitrasi dibentuk untuk mewadahi atau menyelesaikan kasus-kasus perdata, khususnya yang berhubungan dengan transaksi perdagangan. Sengketa yang tergolong dalam dimensi “publik murni”, adalah tidak arbitrable. Sebagai contoh, “kasus Anti Trust” yang muncul dari sengketa antara Mitsubishi dengan American Co. (meskipun sesama lembaga privat), adalah tidak arbitrable, karena masalah ‘trust’ atau ‘monopoli’ merupakan domain / kewenangan penuh lembaga publik (pemerintah).[1] Meskipun demikian, pemanfaatan lembaga arbitrasi untuk sektor publik dimasa yang akan datang tetap sangatlah prospektif, paling tidak dilihat dari dua aspek sebagai berikut:

1.      Esensi dari perjanjian / konsensus antar daerah.
Sengketa antar pemerintah daerah adalah sengketa antar sesama lembaga publik. Implikasinya, materi yang diperselisihkan juga segala sesuatu yang berkenaan dengan aspek atau kepentingan publik. Meskipun demikian, seperti telah dipaparkan diatas, saat ini sedang terjadi proses “privatisasi” nilai atau landasan yuridis yang digunakan untuk mengatur perjanjian / konsensus antar daerah. Artinya, perjanjian / konsensus tadi tidak lagi tunduk secara penuh kepada norma-norma hukum publik (kepemerintahan), tetapi lebih mencerminkan kaidah-kaidah yang diatur dalam hukum privat (keperdataan). Konkritnya, perjanjian / konsensus antar daerah itu tidak perlu dituangkan secara legal formal dalam bentuk PP, Keppres, Perda, atau Keputusan Kepala Daerah, tetapi cukup dalam bentuk “kontrak” atau MoU (memory of understanding). Secara singkat dapat dikatakan bahwa oleh karena esensi perjanjian / konsensus antar Pemda lebih bersifat privat, maka kemungkinan penerapan lembaga arbitrasi sangat terbuka lebar.

2.      Kompetensi lembaga arbitrasi.
Untuk memahami tentang kewenangan atau kompetensi (baik absolute maupun relative) lembaga arbitrasi ini, terlebih dahulu harus dipahami tentang hukum yang mengatur tentang arbitrasi di Indonesia. Pada umumnya, hukum yang mengatur tentang arbitrasi di Indonesia berasal dari warisan kolonial Belanda, tepatnya diatur dalam pasal 615-651 Reglement op de Rechtsvordering (RRV) 1847.
Disamping itu, UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA juga mengandung klausul tentang arbitrasi pada pasal 22. Kemudian untuk merangsang investasi asing di Indonesia, UU No. 5 tahun 1968 mengakui dan / atau memberlakukan konvensi penyelesaian sengketa investasi dengan negara lain (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States).
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pengaturan badan arbitrasi di Indonesia belumlah tegas dan jelas. Hingga saat ini juga tidak ada jurnal atau lembaga yang menerbitkan penghargaan dibidang arbitrasi (arbitral awards). Bahkan BANI (Badan Arbitrasi Nasional Indonesia) pun sangat sedikit memiliki pengalaman bertindak sebagai arbitrasi.
Walaupun demikian, beberapa aturan dasar tetap penting untuk diketahui. Sebagai contoh, kategori tertentu dari sengketa tidak menjadi kompetensi absolut dari arbitrasi, khususnya yang berkenaan dengan hukum keluarga (perkawinan, waris, pengangkatan anak, dll). Dengan kata lain, kewenangan mutlak arbitrasi biasanya sepanjang menyangkut tentang hubungan-hubungan perdagangan / perniagaan, sementara secara relatif kewenangannya meliputi tidak saja hubungan antar sesama lembaga privat, namun juga yang melibatkan organisasi pemerintah dan BUMN.[2]
Dari uraian diatas dapat dipahami dilihat dari kompetensi relatifnya, arbitrasi dapat difungsikan diwilayah sektor publik secara penuh. Namun dilihat dari kompetensi absolut masih menimbulkan keraguan. Masalahnya adalah, apakah perjanjian / konsensus antar pemerintah daerah dapat disejajarkan sebagai hubungan perniagaan.
Untuk menjawab hal ini perlu disimak ketentuan pasal 616 RRV yang menetapkan bahwa setiap sengketa tentang “hak”, atas mana masing-masing pihak dapat mengaturnya, dapat diajukan ke arbitrasi. Disamping itu, pasal ini juga menetapkan daftar jenis-jenis sengketa yang tidak dapat diajukan ke arbitrasi. Artinya, kompetensi absolut arbitrasi hanya tidak berlaku bagi daftar tersebut, namun terbuka bagi kasus sengketa lainnya (termasuk sengketa yang muncul dari hubungan perjanjian antar pemerintah daerah). Interpretasi ini menegaskan bahwa sengketa di sektor publik yang dibuat berdasarkan perjanjian, juga menjadi kompetensi arbitrasi.

Catatan Penutup: Agenda Kedepan


Dalam jangka pendek, pemanfaatan lembaga arbitrasi untuk menengahi dan / atau menyelesaikan konflik antar pemerintah daerah perlu untuk direalisasikan. Untuk itu, perlu segera disusun aturan-aturan yang jelas baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan lembaga arbitrasi itu sendiri, maupun tata cara, persyaratan, atau mekanisme yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah yang ingin memanfaatkan jasa arbitrasi.

Disamping itu, untuk memperkuat peran arbitrasi di sektor publik, mediasi dan konsiliasi perlu pula dipertimbangkan sebagai pelengkap. Kombinasi antara arbitrasi dengan mediasi dan konsiliasi ini sering disebut dengan istilah Med-Arb, atau Arb-Med.[3] Keuntungan dari proses mediasi dan konsiliasi sebelum tahap arbitrasi atau litigasi ini terutama untuk mencapai perdamaian diantara pihak-pihak yang bersengketa, disamping lebih efektif secara procedural dan efisien secara finansial.

Sementara dalam perspektif jangka panjang, penggunaan jasa arbitrasi dapat dibatasi dengan lebih memanfaatkan lembaga litigasi, yakni peradilan umum. Hal ini didasari pemikiran bahwa tidak semua perjanjian / konsensus yang terjadi antar pemerintah daerah hanya menyangkut urusan internal. Justru sebaliknya, apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah hamper selalu menyangkut kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan masyarakat daerah yang bersangkutan. Dan oleh karena menyangkut kepentingan orang banyak, maka penyelesaian sengketanyapun tidak cukup dilakukan oleh 2 pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian / konsensus semata.

Sebagai contoh, kasus eksploitasi lingkungan. Dalam kasus ini, resolusi konflik antar daerah semestinya lebih tepat diselesaikan melalui proses peradilan dari pada lewat nota-nota kesepakatan (MoU). Sebab, aturan tentang pengelolaan dan perusakan lingkungan diatur tersendiri dalam UU yang spesifik (lex specialis), sehingga UU pemerintahan daerah tidak berlaku (invalid) untuk menyelesaikan kasus lingkungan. Disamping itu, jika terjadi kasus pencemaran, maka yang menanggung kerugian secara nyata adalah masyarakat. Olek karena itu, secara hukum masyarakat memiliki legitimasi untuk melakukan gugatan kepada pemerintah daerah karena telah mengakibatkan rusaknya lingkungan sehingga menimbulkan kerugian baik materiil maupun non materiil.

Dari agenda jangka pendek maupun jangka panjang diatas, dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan secara makro dibidang pemerintahan daerah dan desentralisasi belum diikuti dengan langkah-langkah antisipasi secara lengkap, baik dalam aspek peraturan perundang-undangan, perangkat kelembagaan, maupun aspek-aspek ketatalaksanaannya.

Oleh karenanya, agar pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tidak menimbulkan dampak eksternalitas yang berlebihan, maka pengkajian terhadap implikasi kebijakan otonomi secara luas perlu terus dilakukan, salah satunya tentang kemungkinan munculnya konflik antar pemerintah daerah dan prospek arbitrasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian konflik.




[1] Yasunobu Sato, 2002, Transnational Commercial Dispute Processing I, GSID lectures note, Nagoya.
[2] Kenneth R. Simmonds and Brian H.W. Hill, 1990, International Commercial Arbitration: Commercial Arbitration in Asia and the Pacific, Country Commentaries: Indonesia (Booklet 2.5), Oceana Publ.Co.
[3] Yasunobu Sato, 2001, Commercial Dispute Processing and Japan, London: Kluwer Law International.

Tidak ada komentar: