DALAM edisi Minggu (17/11/02), Kompas memuat hasil wawancara yang sangat menarik dengan Professor Johan Galtung. Ahli ekonomi yang lebih dikenal sebagai tokoh anti kekerasan dan penganjur perdamaian itu mengatakan bahwa bangsa Indonesia mengalami masalah berupa ketiadaan imajinasi dalam penyelesaian berbagai konflik dan kekerasan pasca-Soeharto. Selama ini para politisi hanya memiliki dua konsep untuk mengatasi konflik di daerah, yakni tetap sebagai nation-state, atau berpisah (merdeka) dari negara kesatuan. Jelas bahwa pilihan kedua tidak disukai, meskipun pilihan pertama juga tidak mampu menghentikan konflik.
Diantara kedua pilihan ekstrim tadi, Galtung menawarkan bentuk federasi atau konfederasi sebagai solusi. Dalam kasus Timor Timur misalnya, jika saja opsi konfederasi dipilih, maka hubungan RI-Timtim tetap terjalin sementara peluang rekonsiliasi untuk memperbaiki masa lalu juga terbuka. Bahkan ia sangat yakin bahwa meskipun saat ini ide federalisme tidak mendapat dukungan, namun suatu saat akan ada politisi muda yang akan mengambil ide itu.
Perdebatan tentang bentuk negara harus diakui merupakan wilayah yang sensitif, sebagaimana perdebatan tentang dasar negara. Dikatakan sensitif karena banyak pihak yang meyakini bahwa bentuk negara kesatuan dan dasar negara Pancasila (dalam hal ini termasuk UUD 1945) adalah hal yang given, sakral dan tabu untuk diubah. Mengubah salah satu dari ketiga hal itu, bagi mereka, sama artinya dengan membubarkan Negara Kesatuan RI serta dianggap sebagai sikap arogan yang tidak menghargai jasa para founding fathers. Dan karena merupakan hal yang sensitif, maka gagasan federalisme sering ditolak mentah-mentah sebelum dilakukan kajian yang proporsional secara akademik.
* * *
KETIKA kita sudah “melupakan” ide yang pernah dilontarkan Amien Rais ini, tiba-tiba Galtung mencoba mengaktualisasikan kembali. Saat menyampaikan pikirannya, tokoh sekaliber Galtung tentu punya keyakinan yang kuat dan pertimbangan yang matang tentang efektivitas federalisme dalam mengatasi konflik antar-etnis dan disparitas regional yang parah. Dan memang, pengalaman negara-negara di dunia menunjukkan bahwa federalisme lebih cocok untuk diterapkan di negara yang luas secara teritorial, besar dalam populasi, serta memiliki struktur sosiologis yang multi-etnis. AS, Kanada, Australia, Brazil, India, Rusia, Nigeria, dan Mexico, adalah negara-negara federal yang memiliki salah satu karakteristik tadi, atau kombinasi diantara ketiganya.
Dalam bukunya berjudul Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), Diamond mengemukakan tiga keuntungan federalisme. Pertama, ia manawarkan desentralisasi politik yang komprehensif dengan adanya pemerintah tingkat menengah (middle tier of government). Pemerintah “penghubung” antara kepentingan pusat dan daerah ini sangat penting di negara dengan wilayah yang amat luas. Sebab, jumlah pemerintah daerah terlalu banyak sehingga gagal menjalankan tiga fungsi pokoknya: sebagai pengimbang kekuatan pusat, penyediaan arena bagi perkembangan demokrasi, serta untuk menjalankan fungsi lain dalam menekan konflik etnis.
Menurut Diamond, hanya pemerintah level menengah-lah yang mampu menjalankan tiga fungsi tersebut. Namun dalam konteks Indonesia , karena ketakutan terhadap kemungkinan berkembangnya federalisme, maka otonomi tidak ditempatkan pada level propinsi, namun langsung kepada kabupaten / kota yang relatif lemah secara politis dan ekonomis sehingga dapat dikendalikan oleh pusat.
Kedua, federalisme mendorong kompetisi dan inovasi antar wilayah (propinsi) dan mencegah perilaku korup aparat pusat, meskipun ada kecenderungan korup juga dikalangan aparat daerah. Ketiga, ia menyediakan kerangka kerja yang lebih mapan dalam mengelola perpecahan etnik dan problem kebangsaan lainnya.
Adalah kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang multi-etnis. Atas dasar ini, wajar pula ketika terjadi perbedaan kepentingan atau pandangan yang tidak terselesaikan, akhirnya berubah menjadi sengketa antar mereka. Logikanya, makin beragam etnis yang ada, makin runcing perbedaan yang mungkin terjadi. Dan makin runcing perbedaan, makin besar pula peluang timbulnya konflik horizontal, bahkan vertikal. Kalaupun selama ini kita mampu menunjukkan rasa persatuan dan kebersamaan, agaknya faktor eksternal berupa musuh yang sama, yakni kolonialisme, memegang peran penting. Disamping itu, politik represif yang diterapkan rejim Orba juga terbukti efektif menekan friksi-friksi antar golongan dan antar daerah. Manakala keduanya telah hilang, barulah potensi konflik menjelma secara nyata.
Tidaklah disangsikan bahwa telah banyak upaya pemerintah untuk menangani isu konflik dan separatisme ini. Sayangnya, kebijakan menghidupkan Kodam Iskandar Muda dan perjanjian perdamaian tidak pernah mematikan perjuangan GAM, sementara otonomi khusus juga tidak menyurutkan tuntutan merdeka yang diserukan OPM. Artinya, pemerintah harus berpikir lebih kreatif untuk mencari opsi kebijakan yang lebih produktif. Dalam konteks inilah, federalisme menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan.
Tentu saja tidak ada jaminan bahwa federalisme akan menghapus konflik sama sekali. Tanpa strategi yang tepat dan perencanaan yang matang, bukan tidak mungkin federalisme justru menyuburkan semangat separatisme. Yang jelas, federalisme merupakan salah satu teknik struktural yang mengandung lima mekanisme resolusi konflik sebagai berikut: proliferating the points of power, generating intraethnic competition, generating interethnic cooperation, encouraging alignment on nonethnic issues, and reducing disparities between regions through redistribution (Donald Horowitz, 1985). Jika kelima mekanisme ini dapat ditempuh dengan baik, tidak ada alasan untuk tidak mampu menurunkan eskalasi konflik.
* * *
WALAUPUN secara teoretis ide federalisme cukup ampuh untuk menanggulangi konflik antar-etnis, namun perlu diantisipasi pula dampak-dampak negatifnya. Dan oleh karena federalisme merupakan bentuk ekstrim dari desentralisasi, maka bahaya federalisme dalam hal tertentu mirip dengan potensi bahaya desentralisasi. Beberapa contoh dapat ditunjuk disini misalnya memicu munculnya kelompok-kelompok otoriter (authoritarian enclaves), merebaknya intoleransi dan diskriminasi, kemungkinan tumpang tindih dalam manajemen, serta memperuncing kesenjangan antar wilayah. Namun yang paling parah, dampak buruk federalisme adalah menjurus kearah pemisahan, atau dalam bahasa Diamond, federalism is a slippery slope to secession.
Mengingat banyaknya kerugian yang mungkin timbul, maka gagasan untuk mengubah secara tergesa-gesa bentuk negara kesatuan menjadi federal juga bukan langkah yang bijak. Dua hal harus diperhitungkan sebelum sampai kepada keputusan untuk menerapkan federalisme.
Pertama, perlu upaya konsisten untuk membangun rasa kebangsaan dan karakter nasional (nation and character building). Tanpa hal ini, federalisme akan merusak sendi-sendi persatuan yang terpatri dalam jargon satu nusa satu bangsa, satu nasib satu saudara. Kedua, dibutuhkan adanya kedewasaan berpolitik dan sikap ke-negarawan-an diantara politisi lokal. Ketika desentralisasi secara luas diberlakukan, banyak sekali muncul konflik antara legislatif – eksekutif, pusat – daerah, propinsi – kabupaten, serta antara pemerintah – kelompok masyarakat. Maka, tanpa adanya kedewasaan dan ke-negarawan-an, federalisme hanya akan memperburuk konflik-konflik tersebut. © Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar