AKHIR-akhir ini, banyak pejabat dan mantan pejabat masuk bui karena tersandung batu yang bernama “penunjukan langsung” (PL). Efeknya cukup fantastis, PL menjadi sebuah hal yang sangat menakutkan dan ditakuti. Salah satu metode pengadaan barang dan jasa ini seolah-olah menjadi “barang haram” yang harus ditinggalkan sama sekali. Bahkan berkembang image bahwa PL identik dengan tindak pidana korupsi. Itulah sebabnya, para pejabat yang pernah melakukan PL atau pernah merekomendasikan, mengijinkan dan/atau memerintahkan dilakukannya PL, menjadi merasa serba salah dan khawatir suatu ketika petugas KPK atau Kejaksaan akan menciduknya.
Ditengah merebaknya rasa ketidakberdayaan para pejabat yang tersangkut dengan praktek PL tadi, tiba-tiba terjadilah polemik tingkat nasional antara Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki dengan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Pokok masalah yang dipersengketakan juga mengenai kasus PL. Dalam kapasitasnya selaku Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril menyetujui diterapkannya PL pada proyek pengadaan alat sidik jari otomatis atau automated fingerprint identification system (AFIS). Sementara KPK, mempraktekkan metode yang sama untuk proyek pengadaan alat penyadap telepon seluler (lawful interception device).
Meskipun perselisihan antar pejabat tinggi negara tadi merupakan tontotan yang tidak lucu dan tidak mendidik, namun ada hikmah yang dapat ditarik dari peristiwa ini (blessing in disguise). Hikmah tadi antara lain adalah mulai munculnya kesadaran bahwa PL bukanlah sebuah tindak pidana, melainkan instrumen kebijakan administratif dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas pokok dari instansi pemerintah tertentu. Dengan kata lain, pertikaian Mensesneg – Ketua KPK telah menjadikan aparat hukum dan pihak-pihak terkait lainnya memandang PL secara lebih proporsional. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Ruki pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR-RI yang secara tegas menyatakan bahwa “selama tidak ada dua unsur minimal, yakni kerugian negara dan memperkaya diri sendiri dengan merugikan orang lain, penunjukan langsung bukan tindak pidana”.
Dengan adanya ketegasan seperti itu, maka setiap pejabat pengelola keuangan serta pengelola barang dan jasa di instansi pemerintah, tidak perlu lagi merasa risih dan serba khawatir dalam melaksanakan tugasnya. Namun pernyataan Ketua KPK diatas akan menjadi lebih bermakna jika tertuang secara legal formal dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini antara lain dapat ditempuh dengan cara merevisi Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan berbagai peraturan terkait lainnya.
Dan memang, PL bukanlah barang haram yang harus ditinggalkan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat 3 (tiga) alasan untuk mendukung argumen ini.
Pertama, metode PL secara hukum (yuridis formal) telah diakui sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum pemerintah (rechtshandelingen) yang sah, selain metode pelelangan umum, pelelangan terbatas, dan pemilihan langsung. Meskipun demikian, perbuatan yang sah itu baru dianggap sah jika memenuhi persyaratan “keadaan tertentu” atau “keadaan khusus”.
Menurut PP No. 32/2005 tentang Perubahan Kedua atas Keppres No. 80/2003, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah: a) penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; b) pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; c) pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta; dan/atau d) pekerjaan pengadaan barang dan pendistribusian logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan Juli 2005. Sedangkan “keadaan khusus” meliputi: a) pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; b) pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; c) merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau d) pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Kedua, penunjukan langsung sebenarnya tidak hanya terjadi pada kasus pengadaan barang dan jasa semata, tetapi juga berlaku pada kasus pengangkatan pejabat publik. Sejak Indonesia merdeka, jabatan Menteri dan yang setingkat dengan Menteri, misalnya, adalah penunjukan langsung dari Presiden. Pada lapisan yang lebih bawah, pengangkatan pejabat Eselon I hingga V, baik di Pusat maupun di Daerah, pada dasarnya adalah juga penunjukan langsung dari pembina kepegawaian (user). Sebab, kenyataannya jabatan-jabatan itu belum diisi dengan metode dan/atau proses kompetisi yang obyektif, terbuka, dan fair bagi siapapun yang berminat. Ide untuk “melelang” jabatan memang sudah sering kita dengar, namun realisasinya tetap belum bisa dijalankan.
Ketiga, harus dibedakan antara PL yang disertai dengan perilaku koruptif dengan tindak pidana korupsi itu sendiri. Ini sangat penting agar tidak terjadi pencampuradukan antara yang legal dengan yang illegal, antara yang benar dengan yang salah, antara yang diperbolehkan dengan yang dilarang. PL sendiri adalah tindakan “biasa” yang dapat menjadi baik atau buruk, tergantung pada bagaimana orang memberi makna dan “ruh” terhadap PL tersebut. Akan tetapi, ketika kemudian seorang oknum tertentu melakukan praktek yang tidak terpuji dalam proses PL, tidak berarti bahwa PL-nya sendiri yang harus disalahkan. Sebaliknya, meskipun proses pengadaan barang/jasa ditempuh melalui pelelangan umum, namun jika terdapat indikasi kerugian negara, maka aparat penegak hukum harus segera menindak secara tegas.
Terlepas dari kontroversi dan polemik tentang pola dan mekanisme PL, ada beberapa hal yang patut kita cermati dengan hati-hati. Pertama, PL sudah terlanjur menjadi bagian integral sistem pengadaan barang jasa pemerintah dan sudah tertuang dalam peraturan perundangan. Oleh karena itu, mestinya intervensi kebijakan tidak boleh mengalahkan Dalam contoh kasus pengadaan lawful interception device di KPK, misalnya, ijin Presiden seolah-olah bisa mendefonir Keppres No. 80/2003 dan PP No. 32/2005. Hal ini tentu saja kurang pada tempatnya. Sebab, Keppres No. 80/2003 dan PP No. 32/2005 sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai peraturan kebijaksanaan dari pada peraturan perundangan. Dalam hal ini, peraturan perundangan jelas tidak dapat di derogasi oleh peraturan kebijaksanaan (ijin Presiden, terlebih jika ijin itu hanya lisan). Hal ini juga terkait dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat), dimana seorang Presiden tidak memiliki kekebalan hukum atau berhak atas perlakuan istimewa (prerogative) secara hukum.
Kedua, secara teknis masalah pengadaan barang/jasa sangat terkait dengan siklus anggaran dan disiplin anggaran. Harus diakui bahwa bangsa ini belum cukup disiplin dalam menerapkan siklus anggaran. Akibatnya, penetapan APBD/APBD sering molor, dan pencairan dana pembangunan-pun menjadi sangat terlambat pula. Sementara disisi lain, proses pengadaan barang/jasa dapat memakan waktu berbulan-bulan. Untuk itu, pendekatan hukum seyogyanya dapat berjalan beriringan secara harmonis dengan fakta-fakta administratif, dan tidak saling menegasikan. Ini mengandung sebuah konsekuensi bahwa peraturan perundangan tentang pengadaan barang/jasa hendaknya dapat mengakomodir “keadaan khusus” lainnya, misalnya faktor kelambanan sistem administrasi pemerintahan.
Last but not least … bukan PL yang sebenarnya menjadi target pemberantasan korupsi, namun sifat rakus, tamak, dan tidak taat azaz yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian negara itulah sasaran utama kita. Jadi, tidaklah berlebihan rasanya jika kita ajukan slogan baru: PL Yes, Korupsi No!! © Tri Widodo WU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar