Jumat, 02 April 2010

Mencermati Gejala “Demokrasi Korupsi”


PADA sebuah diskusi di Nagoya bulan Juni lalu bersama Prof. Kimura Hirotsune (Nagoya University) dan Prof. Phaisal Lekuthai (Chulalongkorn University), Prof. Sofian Effendi (UGM) sempat melontarkan pendapat bahwa proses reformasi yang sedang berjalan dewasa ini membawa dampak yang kurang menggembirakan, yakni terjadinya pergeseran dari oligarchic corruption kepada democratic corruption. Artinya, pada masa Soeharto, pusaran korupsi hanya terjadi di sekitar elite politik di level nasional, sementara pada era reformasi justru menyebar pada berbagai segmen hingga level daerah.

Rekan saya Luky Adrianto, seorang kandidat Doktor di Kagoshima University, juga mengatakan bahwa lembaga publik di tanah air dewasa ini berpraktek tidak lebih seperti lembaga privat yang menekankan pada prinsip profit maximization. Itulah sebabnya, muncul fenomena uang kadeudeuh, dana purnabakti, studi banding, fasilitas dinas dari sepeda motor, mobil sampai beasiswa dinas yang intinya sama sekali tidak mengindahkan kepentingan publik yang diwakilinya.

Celakanya, semua keputusan profit maximization itu dihasilkan melalui mekanisme "demokratis" karena ada rapat, musyawarah atau voting yang notabene adalah simbol-simbol demokrasi. Dalam konteks ini, sesungguhnya korupsi sudah bertransformasi tidak hanya karena faktor-faktor klasik seperti ekonomi dan moral, namun sudah menuju ke korupsi secara politis dan institusional (Carasciuc, 2000).

Berdasarkan kenyataan yang ada, sangatlah tidak berlebihan jika kita katakan bahwa korupsi yang terjadi saat ini adalah democratic corruption atau korupsi demokratis, yakni korupsi yang dilakukan berdasarkan tata cara, kaidah-kaidah, dan penerapan teori demokrasi. Bisa pula disebut demokratis karena korupsi dirasakan oleh lebih banyak orang / lembaga secara bersama-sama.

Sejelek-jeleknya Orde Baru, korupsi masih dianggap sebagai sesuatu yang memalukan sehingga perlu ditutup-tutupi dengan berbagai dalih atau “ketertiban” administrasi keuangan. Namun sekarang, korupsi muncul secara lebih telanjang, bahkan dibalut dengan legalitas secara yuridis formal. Maka, korupsi demokratis sama artinya dengan legalisasi korupsi, dan ini adalah bentuk dari kejahatan politik dan kejahatan hukum yang sangat tragis.

Tanpa disadari, korupsi demokratis ini berarti juga telah terjadinya korupsi terhadap demokrasi (corruption of democracy). Nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan melalui tuntutan reformasi ternyata dimanipulasi oleh beberapa kalangan untuk kepentingan pribadi atau golongan mereka. Reformasi berubah menjadi deformasi, dan impian terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas KKN sebagaimana diamanatkan oleh MPR dan UU no 28 tahun 1999, semakin menjadi harapan hampa.

Pada tahap selanjutnya, democratic corruption dan corruption of democracy akan membangun sebuah sistem ketatanegaraan yang koruptif, yaitu the democracy of corruption (demokrasi korupsi). Hal ini terjadi jika seluruh proses pengambilan keputusan publik telah didorong oleh semangat mencari keuntungan dan penghidupan bagi diri sendiri, keluarga atau group of interest-nya. Dan apabila demokrasi korupsi ini sudah menjadi “ideologi”, maka rusaklah semua sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan yang kita anut selama ini.

Oleh karena itu, momentum peringatan 57 tahun kemerdekaan RI dan 100 tahun Bung Hatta beberapa waktu yang lalu, patutlah kita jadikan sebagai refleksi atau renungan untuk kembali kepada semangat kejiwaan bangsa yang asli (yakni cita-cita kemerdekaan), sekaligus mencari kepemimpinan nasional yang mampu menjalankan amanah rakyat secara jujur, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan sehingga dapat diteladani, serta cerdas dan visioner.

Meskipun demikian, secara fair harus kita katakan bahwa ketiga bentuk hubungan antara korupsi dan demokrasi diatas bukanlah sebagai hasil tunggal dari proses reformasi yang sedang berlangsung. Dalam beberapa hal, tentu program reformasi telah banyak menghasilkan perbaikan, khususnya dalam mengganti sebagian besar peraturan perundang-undangan produk rezim Orba yang sentralistis dan koruptif juga. Dengan berbaik sangka kita berharap bahwa kekurangan yang masih ada dewasa ini tidak terletak pada kesalahan konseptual dan kebijakan makronya, tetapi lebih pada tataran mikro dan implementasinya. Disamping itu, suburnya korupsi juga disebabkan oleh berbagai aspek yang sangat kompleks dan multidimensional.

Oleh karena itu, mencari penyebab dan biang keladi terjadinya korupsi menjadi kurang signifikan, sedangkan solusi dan langkah antisipasi lebih mendesak untuk dipikirkan. Dalam hubungan ini, Indonesia perlu belajar dari Thailand yang sama-sama terkena krisis ekonomi dan juga tengah melaksanakan program reformasi politik dan pemberantasan korupsi.

Menurut Prof. Phaisal Lekuthai pada saat diskusi di Nagoya, law enforcement memegang peran penting dalam proses reformasi, dimana banyak politisi korup yang dijebloskan ke penjara. Tentu saja, penegakan hukum disini tidak terbatas hanya ditujukan untuk menyeret koruptor ke meja hijau, namun lebih kepada upaya untuk menjamin rasa keadilan masyarakat secara material.

Disamping itu, asumsi yang digunakan dalam pemberantasan korupsi selama ini adalah semakin tinggi gaji, semakin rendah angka korupsi. Itulah sebabnya, gaji Hakim, anggota TNI/Polri, dan PNS kemudian dinaikkan secara cukup drastis. RAPBN 2003-pun ternyata menganut “asumsi kesejahtreraan” ini. Namun faktanya, asumsi tadi belum pernah terbukti, bahkan cenderung menimbulkan kecemburuan sesama warga, khususnya dari masyarakat kelas bawah.

Untuk itu, penerapan logika terbalik layak untuk dipertimbangkan, yakni bahwa pejabat publik harus bergaji kecil, meskipun perlu disertai dengan jaminan sosial yang pasti. Artinya, seorang pejabat tidak “dibayar” secara finansial (sebagai implikasi dari “pekerja”), melainkan “dipenuhi” kebutuhannya secara sosial (sebagai implikasi dari “pelayan”). Konsep ini baik sepanjang dilengkapi dengan kontrol administratif yang ketat.

Peran kelompok intelektual sebagai penjaga gawang moral (moral force) juga sangat penting untuk memberi tekanan dan kontrol kepada penguasa. Itulah sebabnya, free value kelompok ini perlu tetap dijaga dengan cara tidak ikut bermain politik secara praktis, seperti mendirikan parpol, menjabat sebagai birokrasi tingkat tinggi atau pimpinan BUMN. Memang menjadi ketua parpol atau pejabat tinggi adalah hak asasi setiap warga, namun kepada siapa kita dapat menggantungkan kritik yang jernih kalau bukan dari mereka?

Akhirnya, oleh karena korupsi adalah masalah akhlak dan budi pekerti, maka perlu segera disusun reformasi moral dan relijius. Meskipun program ini membutuhkan waktu minimal satu generasi, tetapi akan sangat bermanfaat untuk menciptakan tata perikehidupan yang tertib dan bersih. Sebab, apapun upaya yang dilakukan selama masih berorientasi jangka pendek, maka korupsi akan terus menjadi bagian dari hidup kita, kalau tidak mau dikatakan sebagai “ideologi”. © Tri Widodo WU.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Kompas, 10 September 2002.

Tidak ada komentar: