Jumat, 02 April 2010

Korupsi di Negara Berkembang (Suatu Kajian Terhadap Permasalahan dan Penanggulangan Korupsi di Indonesia)


Pendahuluan


Akhir-akhir ini sering diadakan penelitian maupun studi kritis oleh institusi ekonomi internasional yang menyangkut masalah korupsi di negara-negara sedang berkembang (developing countries). Hasil penelitian tadi pada umumnya hanya menyajikan informasi mengenai besarnya jumlah korupsi di suatu negara, dan kemudian menyusun peringkat negara-negara koruptor terbesar di dunia. Kalaupun penelitian atau studi tadi berusaha mengungkap latar belakang terjadinya korupsi, biasanya selalu dikaitkan dengan hambatan-hambatan dalam rangka investasi yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari negara-negara maju. Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit, serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, dituding sebagai faktor utama penyebab tingginya korupsi di negara sedang berkembang (developing countries).

Pemikiran tersebut sesungguhnya baru mengena pada dimensi permukaannya saja, sementara dimensi hakikatnya belum tersentuh. Oleh karena belum mengena pada dimensi hakikatnya, maka pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa jalur birokrasi dalam investasi begitu lambat dan berbelit-belit atau mengapa banyak muncul ‘biaya-biaya siluman’ dalam pengurusan masalah-masalah administrasi, belum dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal untuk memecahkan kompleksitas korupsi secara keseluruhan, harus diketahui lebih dahulu akar permasalahannya.

Disamping itu, penelitian terhadap masalah korupsi yang dilakukan oleh institusi internasional sebagaimana disebut diatas, belum melakukan kajian secara utuh tentang pengertian dan ruang lingkup korupsi. Korupsi kelihatannya masih dipandang semata-mata sebagai besarnya pungutan tidak resmi dalam pengurusan suatu proses perijinan atau proses administrasi lainnya, sedangkan dalam pengertian yang lebih luas yakni setiap perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, belum dilakukan kajian secara mendalam. Hal ini jelas akan menimbulkan bias bagi penelitian tersebut.

Terlepas dari perdebatan mengenai pengertian dan ruang lingkup korupsi, terdapat suatu fenomena menarik yakni bahwa trend perkembangan korupsi semakin hari akan semakin meningkat. Bahkan dewasa ini berkembang opini publik bahwa korupsi sudah menjelma menjadi suatu budaya baru, dalam arti telah menguasai tingkah laku (behavior) bukan saja birokrasi negara, tetapi juga dunia usaha dan seluruh lapisan masyarakat. Dikaitkan dengan kebutuhan akan pembiayaan pembangunan bagi suatu negara, jelas hal ini akan membawa implikasi yang rumit tidak saja berupa keengganan investor asing untuk menanamkan modalnya, tetapi juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan. Dengan demikian tidak dapat dibantah bahwa tingginya angka korupsi akan merugikan kepentingan pembangunan secara keseluruhan.

Berdasarkan latar belakang itulah, maka topik masalah korupsi layak dan perlu dikaji lebih lanjut dengan pendekatan interdisipliner, sehingga akan dapat ditemukan jalan terbaik bagi upaya penanggulangannya. Hal ini tentu saja dengan catatan bahwa implementasi cara-cara penanggulangannya harus disesuaikan dengan karakteristik kondisi politik ekonomi maupun sosial budaya dari masing-masing negara. Selanjutnya, makalah ini akan mencoba menguraikan tentang pengertian dan ruang lingkup korupsi, faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, serta strategi penanggulangannya.

Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Korupsi


Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan sumbernya pada fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran dan bangsawan, yang ditugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat diharuskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa rakyat yang ditaklukkan. Hak tersebut biasanya diterjemahkan dalam tuntutan yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).

Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi sebagai pajak yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara. Hanya saja, belum ada lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul pajak, sehingga para pembesar atau pejabat tadi juga merangkap sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya, kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjualbelikan (venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat.

Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron – client, bapak – anak, atau kawula – gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron harus dapat memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya jasa-jasa timbal balik dari rakyat sebagai client-nya. Hubungan patron – client ini merupakan salah satu sumber korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk kepentingan umum atau kepentingan kelompok bahkan perorangan, yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain itu, sistem patron – client juga menjadi faktor perusak koordinasi dan kerjasama antar para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para pejabat untuk menganakemaskan orangnya. disinilah faksionalisme dikalangan elite menjadi berkepanjangan.

Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995).

Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu juga dapat dikategorikan kedalam perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila:

a.       Secara melawan hukum melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.      Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c.       Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Termasuk dalam hal ini adalah siapa saja yang tanpa alas an yang wajar, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima suatu pemberian atau janji.

Bahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, usaha-usaha percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, sudah dianggap sebagai perbuatan korupsi. Adapun dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalam tujuh jenis yang berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :

1.      Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
2.      Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancan dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
3.      Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4.      Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5.      Korupsi defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6.      Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri.
7.      Korupsi dukungan (supportive corruption) adalah korupsi yang dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.

Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi


Oleh karena masalah korupsi merupakan masalah yang kompleks, dalam arti dapat didekati dari berbagai segi baik kriminologi, kebudayaan, politik, ekonomi, sosiologi, filsafat dan sebagainya, maka dapat dimengerti jika faktor penyebab timbulnya korupsi di negara-negara sedang berkembang juga dapat bersumber dari berbagai aspeknya. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat moralitas didalam masyarakat yang diturunkan dari relativisme nilai, nihilisme dan individualisme material, niscaya akan menyuburkan proses terjadinya korupsi.

Secara politis dan sosiokultural, permasalahan korupsi disebabkan oleh dua kondisi pokok (Alatas, 1987). Pertama, sebagai akibat dari system birokrasi patrimonial yang tidak mengenal perbedaan antara lingkup pribadi dengan lingkup resmi, maka pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi dan kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang dapat dieksploitasi dengan cara menarik berbagai sumbangan atau pungutan. Bahkan sebagian orang masih menganggap bahwa pemerintah hanyalah merupakan perluasan belaka, sementara para pemimpin politik serta birokrat sebagai tokoh-tokoh paternal, yang mana kenyataan ini menimbulkan harapan terhadap hubungan timbal balik antara pemerintah dengan yang diperintah. Kedua, masih kuatnya sistem persanakan atau kuatnya solidaritas kekerabatan dan kebiasaan saling memberi hadiah antar keluarga dalam masyarakat.

Faktor-faktor penyebab timbulnya korupsi tersebut kelihatannya masih berada pada tataran atau dimensi konsepsional yang abstrak sifatnya, sedangkan dalam tataran atau dimensi praktis, yang sesungguhnya merupakan ‘faktor pemelihara’ terus berlangsungnya korupsi, belum tersentuh. Dimensi praktis atau dapat dikatakan juga aspek administratif penyebab munculnya korupsi adalah sebagai berikut:

1.      Sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran.
Dalam sistem manajemen yang baik, fungsi-fungsi perencanaan, pengelolaan / pelaksanaan dan evaluasi / pengawasan haruslah merupakan suatu sistem yang integral dan tidak berdiri sendiri. Ini dimaksudkan agar fungsi-fungsi tersebut dapat menjadi instrumen yang efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi, sekaligus untuk memastikan bahwa pengelolaan organisasi telah sesuai dengan perencanaan yang disusun ssebelumnya. Jika salah satu fungsi manajemen tadi tidak berjalan, misalnya fungsi pengawasannya, maka dapat diperkirakan bahwa organisasi sedang menghadapi suatu masalah serius. Kebocoran, pemborosan maupun kesalahan-kesalahan administrasi lainnya mengindikasikan bahwa sistem administrasi yang ada belum berfungsi dengan baik.

2.      Tingkat kesejahteraan aparatur yang masih dibawah standar.
Ada suatu mitos yang berkembang bahwa Pegawai Negeri atau aparatur adalah pejuang bangsa, abdi negara dan abdi masyarakat. Oleh karena itu, merupakan hal yang tabu apabila seorang aparatur lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya dibandingkan pengabdiannya. Hal ini menjadi semacam pembenar mengenai rendahnya penghasilan pegawai negeri. Dengan penghasilan yang pas-pasan, sementara diluar lingkungannya banyak terjadi kemewahan yang diperlihatkan oleh para pengusaha dan pejabat tinggi, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok yang memiliki fasilitas, lobby maupun monopoli disatu pihak dengan aparatur kebanyakan dilain pihak. Selain itu terjadi kesenjangan pula antara penghasilan yang diterimanya setiap bulan dengan biaya kebutuhan yang harus dikeluarkan. Berbagai kesenjangan inilah yang mendorong aparatur untuk menyeleweng manakala ada kesempatan untuk itu.

3.      Sanksi hukum secara konkrit belum maksimal dan sulit ditegakkan.
Meskipun sudah ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, namun dalam implementasinya sulit untuk ditegakkan. Ini terkait dengan kemauan politik pemerintah yang belum memperlihatkan secara serius niat untuk memerangi korupsi yang ada di negaranya. Sering dipakainya hak Mahkamah Agus untuk mendefonir atau menghentikan penuntutan dengan alasan kepentingan umum, semakin memperlihatkan keengganan pemerintah untuk memberantas korupsi tadi. Secara sosiologis keadaan seperti ini terkait dengan sistem birokrasi patrimonial sebagaimana telah disinggung diatas. Pemberantasan terhadap korupsi bias berarti juga memerangi sanak saudara atau dirinya sendiri.

4.      Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan.
Masih dalam konteks birokrasi patrimonial dan rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur, kesemuanya ini membawa kepada kecenderungan terjadinya kolusi antara penguasa dengan pengusaha, atau antara birokrat dengan konglomerat. Dalam prakteknya, fakta adanya kolusi hanya bisa diketahui secara formil, sedangkan kebenaran materiilnya sangat sulit untuk dibuktikan. Disinilah diperlukan pembaharuan sistem hukum yang semata-mata mengandalkan kebenaran formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.

Apapun faktor penyebab terjadinya korupsi, yang pasti kegiatan tersebut membawa dampak, akibat atau pengaruh yang sangat negatif. Meskipun ada beberapa sarjana yang mengemukakan akibat positif dari korupsi, tetapi jelas bahwa akibat negatifnya jauh lebih parah dibanding positifnya. Adapun dampak negatif dari korupsi itu menurut David Bailey dalam tulisannya yang berjudul The Effect of Corruption in a Developing Nations (dalam Western Political Quarterly, 1960) adalah sebagai berikut :

1.      Korupsi merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya. Misalnya jika lisensi untuk perusahaan-perusahaan dalam negeri direncanakan untuk menjamin agar sumber-sumber yang langka dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang mendapat prioritas utama dalam segi pembinaan pembangunan ekonomi jangka panjang, maka korupsi menyebabkan kerugian karena menghalangi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
2.      Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi.
3.      Jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan.
4.      Korupsi mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintahan. Korupsi dalam hal ini menyebabkan merosotnya moral dan akhlak, karena setiap orang berpikir, mengapa hanya ia saja yang harus menjunjung akhlak yang tinggi.
5.      Korupsi menurunkan martabat penguasa dalam pandangan khalayak umum, serta mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
6.      Dengan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sikap pejabat pemerintah, timbullah keinginan akan hubungan-hubungan khusus guna mengumpulkan ‘bobot’ yang cukup untuk membuyarkan tuntutan-tuntutan yang
sama dari orang lain.
7.      Korupsi menyebabkan keputusan publik dipertimbangkan berdasarkan uang dan bukan berdasarkan kebutuhan manusia.

Disamping akibat-akibat korupsi seperti dikatakan Bayley, terdapat identifikasi faktor-faktor pengaruh korupsi yang dilakukan oleh Alatas (1987). Menurutnya, korupsi membawa pengaruh sebagai berikut:

1.      Timbulnya ketidakefisienan yang menyeluruh didalam birokrasi.
2.      Dalam bidang ekonomi, korupsi menimbulkan beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Sebagai implikasi dari tingginya korupsi misalnya, akan maembuat harga-harga menjadi lebih mahal, disamping beban berupa pajak dan pungutan lain yang sah. Selain itu, pengelakan pajak yang dilakukan oleh orang yang korup, harus ditutup dengan pajak dari warga negara yang jujur. Selanjutnya, secara ekonomis korupsi juga menaikkan biaya pelayanan, serta mengabaikan produktivitas dan kesejahteraan rakyat.
3.      Pengaruh lainnya seperti larinya tenaga ahli ke luar negeri, lahirnya berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terhitung banyaknya, pemerintah yang mengabaikan tuntutan terhadap kelayakan pemerintahan, sikap masa bodoh yang meluas, kelumpuhan psikologis dalam arti tidak terdapat kreativitas kerja yang terbit dari suasana yang sehat, menyuburkan jenis kejahatan lain dalam masyarakat, melemahnya semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, dan sebagainya.

Begitu dalam dan luasnya pengaruh atau akibat yang muncul dari korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi seolah-olah merupakan penyakit menular yang sangat ganas dan tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Kelihatannya korupsi sudah menjalar kepada seluruh aspek kehidupan umat manusia dan menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, dari pucuk pimpinan pemerintahan hingga anggota masyarakat kecil di pedesaan. Melihat begitu kompleksnya permasalahan korupsi ini, maka mau tidak mau harus segera ditemukan langkah-langkah konkrit yang jitu untuk mengatasinya.

Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi


Oleh karena korupsi berpangkal kepada hal-hal yang sifatnya kompleks, maka untuk mencegah dan atau menanggulanginya perlu ditempuh berbagai cara melalui pendekatan interdisipliner dan multidimensional. Dalam kaitan ini, cara terbaik untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.

Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi sangat tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini sangat dituntut kesadaran mereka serta pengertian dan pemahamannya terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi. Dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian dan pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah orientasinya bahwa pembangunan dan aspek-aspek keuangannya hanyalh ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, “pencurian” dan “penipuan” terhadap keuangan negara sama dengan tindakan penghianatan kepada rakyat jelata yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam kaitan ini perlu dibangun juga keberanian membuang pejabat yang korup secara sistematis.

Transformasi budaya bagi para pelaku (dan calon pelaku) korupsi ini sangat diperlukan mengingat instrumen hukum pidana sering kali hanya merupakan “tongkat yang patah” untuk memberantas kejahatan korupsi. Pemberantasan korupsi melalui instrumen yuridis tidak akan pernah bisa membabat hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah pembenahan terhadap pola tingkah laku dimana terdapat kejahatan: suatu sikap lembaga, baik dari para pemegang kekuasaan maupun dari umum yang belum terkena virus korupsi.

Sedangkan dari kategori sosial historis, budaya birokrasi patrimonial perlu dikikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme birokrasi. Dengan kata lain, sudah saatnya warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih fair dan obyektif. Pengenaan pajak kepada seluruh warga negara mestinya bukan dilandasi filosofi sebagai persembahan upeti kepada penguasa, melainkan pengumpulan dana dalam rangka pembangunan sosial.

Adapun dari kategori pemerintahan, banyak hal yang harus dilakukan antara lain melalui strategi sebagai berikut:

1.      Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.
2.      Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur. Pengertian kesejahteraan disini harus ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.
3.      Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.

Tidak ada komentar: