SEMENJAK demokratisasi bergulir di negara kita, ada satu pertanyaan yang belum tuntas terjawab, yaitu: apakah demokrasi dan pembangunan merupakan dua variabel yang saling mendukung dan dapat berjalan seiring, ataukah keduanya saling meniadakan dan tidak mungkin dicapai secara bersamaan?
Kalau kita amati fakta-fakta empiris bidang sosial dan ekonomi, nampaknya demokrasi dan pembangunan lebih merupakan dua kutub yang saling berseberangan dan saling menolak (trade-off). Artinya, jika kita ingin berkonsentrasi pada pembangunan sosial ekonomi dalam rangka peningkatan standar hidup masyarakat, maka dinamika politik dan demokrasi perlu dibatasi. Sebaliknya jika demokrasi yang diperjuangkan, maka kita harus siap untuk membayarnya dengan penurunan kinerja pembangunan.
Contoh konkrit dapat kita sajikan disini. Sebelum tumbangnya Orba, pertumbuhan ekonomi selalu diatas 4% dalam kurun waktu 1965-1990-an. Disamping itu, jumlah penduduk miskin turun hingga 12% pada tahun 1996, sementara pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Berbagai prestasi tadi menjadikan Indonesia memperoleh predikat miracle atau keajaiban dari Bank Dunia (1993). Namun disisi lain, pemerintah lebih menempuh strategi represif dalam bidang politik yang ditandai oleh pengurangan kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi, pembatasan jumlah dan aktivitas parpol/ormas, penekanan atas gejolak perburuhan, dan sebagainya.
Kondisi diatas berbalik secara drastis saat euphoria demokrasi menggema. Demonstrasi terjadi dimana-mana, sementara jumlah media massa menjadi berlipat. Deregulasi politik juga berakibat pada membengkaknya jumlah parpol dengan berbagai aliran ideologisnya. Tidak itu saja, kekuasaan Presiden juga dibatasi melalui amandemen UUD, sementara kasus-kasus yang berindikasi pelanggaran HAM dibuka kembali dengan dibentuknya Komnas HAM dan Peradilan ad-hoc HAM. Sayangnya, terjadi penurunan kualitas pembangunan sosial ekonomi seperti diindikasikan oleh meningkatnya penduduk miskin lebih dari 20%, meledaknya angka pengangguran, menurunnya index pembangunan manusia (HDI), serta melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional.
Mengingat realitas tersebut, wajarlah kiranya jika kemudian banyak bermunculan suara untuk mengembalikan kondisi sebagaimana sebelum lengsernya Soeharto. Banyak orang mempertanyakan, apa gunanya demokrasi jika harga kebutuhan pokok sehari-hari tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat kalangan bawah yang terus melemah. Bahkan secara sinis sering kita dengar ungkapan bahwa “rakyat tidak makan demokrasi”.
Hal yang mengejutkan adalah bahwa ungkapan yang jujur dan sangat sederhana itu sesungguhnya sangatlah logis. Bahkan Lee Kuan Yew, seorang pemimpin negara sangat makmur pernah “menggugat” demokrasi dengan mengatakan I believe that what a country needs to develop is discipline more than democracy (Gordon White, Constructing a Democratic Developmental State, 1998). Kritik terhadap demokrasi juga datang dari Moore and Putzel (Politics and Poverty, 1999) yang menyebutkan bahwa negara-negara berkembang yang tergolong demokratis tidak lebih baik dalam hal penurunan kemiskinan dibanding negara yang tidak demokratis. Mereka bahkan sampai kepada kesimpulan bahwa there was no consistent connection between pro-poorness and democracy.
* * *
Walaupun kehidupan sosial ekonomi bangsa ini belum juga membaik, namun menuding demokrasi sebagai faktor penyebabnya tidaklah bijaksana. Bagaimanapun, demokrasi merupakan nilai universal yang secara normatif fungsional mempunyai manfaat penting seperti menjamin partisipasi, aspirasi dan representasi rakyat; menjaga mekanisme pengawasan antar lembaga pemerintahan (check and balances); serta mendorong penghormatan terhadap hak-hak dasar semua manusia.
Dengan nilai-nilai seperti ini, maka demokrasi dan pembangunan semestinya adalah dua hal yang kompatibel atau fungsional. Ini berarti pula bahwa negara yang sedang berada pada masa transisi dari non-demokrasi ke demokrasi yang pada saat bersamaan mengalami penurunan ekonomis, menandakan belum optimalnya implementasi prinisp-prinsip demokrasi di negara tersebut. Sebab dalam kenyataannya, jauh lebih banyak negara non-demokratis yang tidak mampu membangun ekonominya dibanding negara demokratis, misalnya Rumania, Argentina, Haiti, Ghana, Myanmar, Peru, Ethiopia dan Mozambique (Leftwich, States of Development: on The Primacy of Politics in Development, 2000).
Dalam kasus Indonesia , walaupun dilahirkan oleh rakyat khususnya mahasiswa, namun demokrasi nyatanya masih merupakan komoditi mahal yang hanya bisa dimainkan oleh kelompok-kelompok yang kuat secara politis maupun ekonomis. Itulah sebabnya, hanya mereka yang berduit dan dekat dengan poros kekuasaan-lah yang memiliki peluang merebut “kursi” melalui kendaraan partai yang mereka dirikan. Disisi lain, kebijakan desentralisasi luas juga belum berhasil menyentuh masyarakat secara langsung. Akibatnya, kewenangan dan asset Pemda yang melimpah lebih banyak dimanfaatkan untuk memperkuat pengeluaran rutin, yang jelas-jelas jauh dari upaya memberdayakan ekonomi kerakyatan. Dalam kedua kasus tersebut, rakyat tetaplah hanya sebagai penonton pertandingan bola dimana para pemainnya adalah elite-elite politik dan para birokrat lokal.
Untuk itu, proses demokratisasi masih memerlukan langkah lanjutan yang lebih serius. Mau tidak mau, perumusan paket UU Politik perlu diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan dan keterlibatan rakyat dalam mekanisme politik secara langsung. Dalam hal ini, meskipun perlu dikaji lebih teliti, ide pemilu lokal dan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dipertimbangkan. Sementara di bidang administrasi publik, desentralisasi perlu diperluas dan diturunkan hingga mencapai tingkat akar rumput. Dalam hal ini, gagasan perlunya desentralisasi tahap kedua perlu dipopulerkan agar segera dapat diaplikasikan.
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi, apapun hubungan antara demokrasi dan pembangunan serta apapun bentuk demokrasi yang kita pilih, yang terpenting sesungguhnya adalah kemampuan atau kapasitas birokrasi untuk menjalankan program-program pembangunan secara efektif tanpa intervensi politis secara berlebihan. Dan kinerja pembangunan yang tinggi inilah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar legitimasi bagi pemerintah yang demokratis, dan bukan semata-mata atas dasar prosedural atau kemenangan secara angka dalam sebuah pemiilihan. Dengan demikian, demokrasi dan pembangunan tidak kita tempatkan sebagai sebuah dikotomi yang bertolak belakang, namun lebih sebagai subyek yang bersifat komplementer. Sebab, pembangunan yang mengabaikan demokrasi sangatlah tidak bermakna, sedangkan demokrasi tanpa pembangunan adalah hal yang sungguh ironis. © Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar