Di
lain kesempatan, salah satu kawan dari Jambi beberapa kali menceritakan kepada saya
bahwa motivasi dia ikut Diklatpim II adalah untuk refreshing, syukur-syukur jika dalam upaya penyegaran tadi
mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dia seolah menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan
dia bukanlah untuk memberi nilai tambah bagi program Diklatpim II yang diikuti
maupun bagi dirinya sendiri. Boro-boro ada
keinginan menjadi yang terbaik, dengan motivasi awal seperti itu, dia tidak fight untuk menyerap pembelajaran
semaksimal mungkin, atau memanfaatkan momentum diklat sebagai kesempatan
mengembangkan kapasitas dirinya. Saya menangkap kesan bahwa dia sudah sangat
puas mendapat peran sebagai “pelengkap penderita”. Sekali lagi, hal ini
mencerminkan adanya sindrom inferioritas yang menjangkiti sebagian pejabat
daerah.
Saya
juga memperhatikan, ada seorang kawan dari Sumatera Selatan yang pada 3 minggu
pertama sangat aktif mengemukakan pendapat di kelas atau di kelompok, namun
setelah itu grafiknya terus menurun hingga akhirnya cenderung menjadi pasif.
Saya tidak tahu pasti apa alasan dibalik perubahan itu. Bisa jadi karena
kejenuhan, namun saya menduga bahwa sindrom inferioritas mulai menjangkitinya
seiring dengan interaksinya dengan rekan-rekan dari pusat.
Jika
dilihat beberapa indikator obyektifnya, sesungguhnya sindrom inferioritas tadi
tidak perlu terjadi. Dilihat dari segi pendidikan, baik peserta dari pusat
maupun dari daerah rata-rata adalah magister (S2), meski beberapa kawan dari
pusat memang sudah bergelar doktor. Mereka juga mayoritas sama-sama sudah
menduduki jabatan Eselon II, hanya beda tipis antara II-a di pusat dan II-b di
kabupaten/kota. Namun, ada dua indikator lain yang memang sangat mencolok
kesenjangannya, yakni dalam hal penguasaan bahasa Inggris dengan keterampilan
mengoperasikan komputer. Dalam dua aspek ini, teman-teman dari daerah memang
terlihat jauh tertinggal. Banyak diantara kawan dari daerah yang membeli laptop bahkan tablet baru, namun tetap saja tidak optimal penggunaannya karena
mereka masih dalam taraf belajar. Saya sendiri banyak memberikan bantuan
teman-teman daerah tentang cara memanfaatkan internet, cara membaca dan
menjawab email, cara mencari informasi penting melalui search engine, dan sebagainya.
Apapun
penyebab terjadinya sindrom inferioritas tadi, paling tidak ada dua hal yang patut
mendapat perhatian serius dari berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap
program pendayagunaan aparatur. Pertama,
bagaimana meminimalisir gap kompetensi antara pejabat pusat dan daerah, sekaligus
menjamin kompetensi yang standar untuk level jabatan yang sama, baik di pusat maupun
daerah. Kedua, bagaimana menyelaraskan
antara tujuan penyelenggaraan Diklatpim II dengan ekspektasi individual peserta.
Hal ini sangat penting karena jika tujuan diklat adalah meningkatkan kompetensi
sementara orientasi peserta hanya untuk refreshing,
maka sesungguhnya telah terjadi inefisiensi sumber daya, baik pada instansi asal
peserta tersebut maupun pada instansi penyelenggara diklat.
Upaya
lain yang dapat dipikirkan adalah dengan menciptakan forum-forum yang lebih sering,
yang melibatkan interaksi pejabat dari daerah dan dari pusat secara timbal balik.
Dalam konteks ini, desain Diklatpim II menurut saya sudah sangat bagus untuk memainkan
fungsi sebagai jembatan kompetensi antar daerah, antar kementerian/lembaga, serta
antara pusat dan daerah. Bahkan ada baiknya jika seluruh diklat aparatur juga didesain
dengan untuk mempertemukan unsur daerah dan pusat. Demikian pula dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan tertentu, meskipun sebagian besar telah didesentralisasikan
kepada daerah lengkap dengan komponen pembiayaannya, perlu dipikirkan mekanisme
yang menyatukan unsur pusat dan daerah dalam implementasinya. Dengan adanya program
yang selalu didesain dalam kerangka “sinergi pusat – daerah”, diharapkan tidak akan
terjadi lagi sindrom inferioritas dari kelompok yang satu terhadap kelompok yang
lain.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
29 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar