Sabtu, 30 Juli 2011

Sindrom Inferioritas Daerah terhadap Pusat

Suatu ketika, teman sekamar saya yang berasal dari Sumatera Barat menceritakan bahwa dia dan teman-temannya adalah pejabat yang tergolong vokal, berpikiran maju, dan sosok-sosok terpilih atau unggulan di daerah. Namun begitu mereka masuk dalam program Diklatpim II, mereka merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kawan saya ini juga melihat bahwa peserta dari kementerian atau lembaga tingkat pusat jauh lebih pintar dan hebat dibanding mereka yang berasal dari daerah. Kondisi seperti inilah yang membuat sebagian dari mereka menjadi kurang aktif di kelas, atau menolak diberi peran penting dalam kelompok, misalnya sebagai ketua kelas/ketua kelompok, atau presenter pada aktivitas tertentu. Dengan kata lain, terjadi sebuah kondisi minder (inferioritas) aparat daerah terhadap aparat pusat.

Di lain kesempatan, salah satu kawan dari Jambi beberapa kali menceritakan kepada saya bahwa motivasi dia ikut Diklatpim II adalah untuk refreshing, syukur-syukur jika dalam upaya penyegaran tadi mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dia seolah menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan dia bukanlah untuk memberi nilai tambah bagi program Diklatpim II yang diikuti maupun bagi dirinya sendiri. Boro-boro ada keinginan menjadi yang terbaik, dengan motivasi awal seperti itu, dia tidak fight untuk menyerap pembelajaran semaksimal mungkin, atau memanfaatkan momentum diklat sebagai kesempatan mengembangkan kapasitas dirinya. Saya menangkap kesan bahwa dia sudah sangat puas mendapat peran sebagai “pelengkap penderita”. Sekali lagi, hal ini mencerminkan adanya sindrom inferioritas yang menjangkiti sebagian pejabat daerah.

Saya juga memperhatikan, ada seorang kawan dari Sumatera Selatan yang pada 3 minggu pertama sangat aktif mengemukakan pendapat di kelas atau di kelompok, namun setelah itu grafiknya terus menurun hingga akhirnya cenderung menjadi pasif. Saya tidak tahu pasti apa alasan dibalik perubahan itu. Bisa jadi karena kejenuhan, namun saya menduga bahwa sindrom inferioritas mulai menjangkitinya seiring dengan interaksinya dengan rekan-rekan dari pusat.

Jika dilihat beberapa indikator obyektifnya, sesungguhnya sindrom inferioritas tadi tidak perlu terjadi. Dilihat dari segi pendidikan, baik peserta dari pusat maupun dari daerah rata-rata adalah magister (S2), meski beberapa kawan dari pusat memang sudah bergelar doktor. Mereka juga mayoritas sama-sama sudah menduduki jabatan Eselon II, hanya beda tipis antara II-a di pusat dan II-b di kabupaten/kota. Namun, ada dua indikator lain yang memang sangat mencolok kesenjangannya, yakni dalam hal penguasaan bahasa Inggris dengan keterampilan mengoperasikan komputer. Dalam dua aspek ini, teman-teman dari daerah memang terlihat jauh tertinggal. Banyak diantara kawan dari daerah yang membeli laptop bahkan tablet baru, namun tetap saja tidak optimal penggunaannya karena mereka masih dalam taraf belajar. Saya sendiri banyak memberikan bantuan teman-teman daerah tentang cara memanfaatkan internet, cara membaca dan menjawab email, cara mencari informasi penting melalui search engine, dan sebagainya.

Apapun penyebab terjadinya sindrom inferioritas tadi, paling tidak ada dua hal yang patut mendapat perhatian serius dari berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap program pendayagunaan aparatur. Pertama, bagaimana meminimalisir gap kompetensi antara pejabat pusat dan daerah, sekaligus menjamin kompetensi yang standar untuk level jabatan yang sama, baik di pusat maupun daerah. Kedua, bagaimana menyelaraskan antara tujuan penyelenggaraan Diklatpim II dengan ekspektasi individual peserta. Hal ini sangat penting karena jika tujuan diklat adalah meningkatkan kompetensi sementara orientasi peserta hanya untuk refreshing, maka sesungguhnya telah terjadi inefisiensi sumber daya, baik pada instansi asal peserta tersebut maupun pada instansi penyelenggara diklat.

Upaya lain yang dapat dipikirkan adalah dengan menciptakan forum-forum yang lebih sering, yang melibatkan interaksi pejabat dari daerah dan dari pusat secara timbal balik. Dalam konteks ini, desain Diklatpim II menurut saya sudah sangat bagus untuk memainkan fungsi sebagai jembatan kompetensi antar daerah, antar kementerian/lembaga, serta antara pusat dan daerah. Bahkan ada baiknya jika seluruh diklat aparatur juga didesain dengan untuk mempertemukan unsur daerah dan pusat. Demikian pula dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu, meskipun sebagian besar telah didesentralisasikan kepada daerah lengkap dengan komponen pembiayaannya, perlu dipikirkan mekanisme yang menyatukan unsur pusat dan daerah dalam implementasinya. Dengan adanya program yang selalu didesain dalam kerangka “sinergi pusat – daerah”, diharapkan tidak akan terjadi lagi sindrom inferioritas dari kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain.

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 29 Juli 2011

Tidak ada komentar: