Kompas Online tanggal 25 September 2013 memuat berita menarik tentang
Perda Pengendalian Minuman Keras di DKI yang tidak pernah dilaksanakan maupun
ditegakkan. Wagub DKI, Ahok, sampai mengatakan: “Di Jakarta mana ada sih peraturan yang jalan”?
Apa yang terjadi di DKI ini
mungkin sekali juga terjadi di daerah lain di Indonesia, bahkan bisa jadi di
tingkat nasional. Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, tidak ada komitmen dan
kapasitas institusi.pejabat dalam mengimplementasikan kebijakan, sehingga
terjadi kegagalan implementasi (implementation
failure). Kedua, kebijakan
disusun / dirumuskan secara asal-asalan, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak
memecahkan masalah apapun. Boleh jadi, kebijakan disusun hanya untuk mengejar
target penyelesaian pembahasan dan pengundangan belaka. Seolah-olah,
keberhasilan sebuah instansi atau daerah meng-gol-kan aturan adalah kinerja
hebat dari instansi atau daerah tersebut. Yang terjadi kemudian, lembaga
pemerintah terlalu pandai menghasilkan aturan, namun tidak pandai
menjalankannya. Situasi ini akan berimplikasi semakin banyaknya peraturan (surplus aturan) namun tidak disertai
dengan kepatuhan terhadap aturan (defisit
ketaatan).
Dalam realita, gejala surplus
aturan defisit ketaatan tadi bukan sekedar isapan jempol. Data lima tahun
terakhir (2009-2013) yang saya coba kumpulkan dari website kementerian terkait menunjukkan adanya nafsu mengatur yang
cukup besar di kalangan birokrasi Indonesia. Hal ini terutama terlihat sekali
di Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PAN dan RB
(lihat Tabel dibawah).
Jenis Peraturan
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013 *)
|
Undang-Undang
|
47
|
13
|
24
|
24
|
13
(s/d September)
|
Peraturan
Pemerintah
|
77
|
75
|
79
|
99
|
59 (s/d
Agustus)
|
Peraturan
Presiden
|
55
|
88
|
95
|
126
|
62
(s/d Agustus)
|
Permen
Dalam Negeri
|
55
|
66
|
73
|
78
|
42 (s/d
Juni)
|
Permen
PAN dan RB
|
20
|
29
|
70
|
233
|
31
(s/d September)
|
Permen
Keuangan
|
216
|
259
|
258
|
239
|
117 (s/d
Agustus)
|
Permen
Kesehatan
|
1249
|
1799
|
2415
|
58
|
39
(s/d Mei)
|
Permen
PU
|
–
|
24
|
20
|
20
|
7 (s/d Agustus)
|
Permen
Nakertrans
|
25
|
19
|
18
|
20
|
6
(s/d Juni)
|
Permen
PPN/Bappenas
|
6
|
5
|
6
|
8
|
3 (s/d Juni)
|
Terus terang akal sehat saya
belum bisa menerima fakta bahwa sebuah kementerian dapat menghasilkan Peraturan
Menteri lebih dari 100 dalam satu tahun. Ini sama artinya dalam satu bulan ada
9-10 Permen yang dihasilkan, atau 2-3 Permen dalam satu minggu. Terlebih
Kemenkes, pada tahun 2011 menghasilkan 2.415 Permen, yang berarti dalam satu
hari kerja menghasilkan kurang lebih 10 Permen, dengan asumsi hari kerja efektif
per bulan adalah 20 hari. Pertanyaan saya kemudian adalah, apakah mereka hanya
bekerja untuk membuat aturan, yang nota
bene membatasi ruang gerak masyarakat, menimbulkan beban baru bagi
masyarakat, dan menambah panjang rantai pelayanan kepada publik? Tidak adakah
pekerjaan lain selain mengatur? Dan, benarkah aturan itu dibutuhkan oleh
masyarakat? Adakah perbedaan signifikan yang dihasilkan oleh aturan tersebut?
Dan, pernahkah dan mampukah mereka melakukan evaluasi terhadap penerapan ribuan
peraturan tersebut? Jika mereka sudah terlalu disibukkan oleh proses membuat
aturan, lantas bagaimana dan kapan mereka akan melaksanakan dan mengevaluasi aturan tersebut?
Meskipun tidak separah
Kementerian Kesehatan dan belum menembus jumlah 100 Permen/tahun, Kementerian
Dalam Negeri nampaknya juga terjangkit nafsu mengatur. Hal ini terlihat dari
jumlah aturan yang selalu naik dari tahun ke tahun. Situasi sama juga terjadi
dengan produk hukum berupa Peraturan Presiden yang trend-nya selalu meningkat. Sementara di lingkup Kementerian PAN
dan RB, terjadi lonjakan yang luar biasa dengan menghasilkan 233 Permen pada
tahun 2012, dari tahun sebelumnya yang “hanya” 70 Permen. Hal ini tentu menjadi
sebuah ironi maha besar mengingat terjadi di era reformasi birokrasi (RB), dan
dilakukan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang RB. Bukankah RB
justru mengusung semangat deregulasi, pemangkasan rantai birokrasi (red tape), dan pelonggaran ruang-ruang
baru untuk inovasi dan partisipasi publik? Mengapa RB justru dijawab dengan
melonjaknya jumlah regulasi?
Inilah yang menurut saya
merupakan salah kaprah dengan reformasi kita. Birokrasi pelayan yang harus
dibangun, justru menjelma menjadi rezim regulasi baru. Negara pelayan menjadi
negara pengatur. Kita seperti terjangkit amnesia
dan lupa dengan sejarah bangsa bahwa tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 salah
satunya disebabkan oleh tabiatnya yang terlalu banyak mengatur (over regulasi).
Saya tidak mengatakan bahwa
lembaga pemerintah tidak boleh lagi menjalankan regulatory function di era reformasi saat ini. Aturan baru
sesungguhnya adalah sebuah kelaziman sepanjang tidak overdose dan cenderung dipaksakan. Kasus UU No. 17/2013 tentang
Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) barangkali dapat menjadi contoh faktual
adanya kesan pemaksaan tadi. Ketika terjadi penolakan dari berbagai ormas
secara bertubi-tubi karena nilai kemanfaatan yang kecil, serta sudah diberikan
alternatif penggantinya dengan cara merevisi UU Yayasan, toch tetap saja UU ini diundangkan. Meskipun ada ancaman akan
segera digugat ke Mahkamah Konstitusi begitu diundangkan, tidak menyurutkan
langkah pemerintah bersama DPR untuk memberlakukan aturan ini.
Bagi saya, akan lebih baik bagi
pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas implementasi peraturan
lama. Jika terbukti masih efektif, tinggal dilanjutkan. Dan jika sebaliknya,
maka perlu segera direvisi tanpa harus memunculkan aturan baru sama sekali.
Dengan demikian, perbaikan sistem kebijakan tidak dilakukan secara radikal
melainkan lebih secara inkremental. Dengan cara seperti ini pula maka kesan
masyarakat awam bahwa “ganti pejabat ganti aturan” dapat dihindari.
Jakarta 26 September 2013