Kemaren, hari Rabu, 25 September
2013, saya mengikuti workshop yang diselenggarakan KPK mengenai harmonisasi
pendidikan anti korupsi. Peserta yang diundang berasal dari berbagai Pusdiklat
Kementerian/Lembaga, termasuk LAN selaku instansi pembina diklat aparatur. Saya
tidak akan membahas soal kurikulum, program diklat, pengajar diklat, durasi,
metode dan media pembelajara, dan unsur-unsur diklat lainnya. Namun saya ingin
menyoroti sisi lain dari dinamika di kelas kemaren, yakni persoalan akar
masalah yang menyebabkan maraknya korupsi.
Awalnya diskusi melebar, dimana
beberapa peserta berargumentasi bahwa diklat saja tidak mungkin mampu
menghasilkan generasi bangsa yang anti korupsi, apalagi durasi diklat yang
relatif pendek, serta sasaran kompetensi diklat aparatur yang beragam sesuai
jenis diklat dan instansi penyelenggaranya, sehingga tidak semua diklat
memiliki sasaran kompetensi untuk membentuk pribadi anti korupsi. Karakter anti
korupsi dibangun tidak secara instan, namun melalui proses panjang sejak dini,
serta melalui berbagai upaya termasuk pendekatan keagamaan, kesejahteraan, dan
sebagainya. Seorang peserta dari Pusdiklat Luar Negeri memberikan contoh bahwa
di Havana, Kuba, tidak ada pendidikan anti korupsi, namun perilaku pejabat dan
masyarakat disana jauh dari kriteria koruptif. Bahkan seorang anggota polisi
yang menjaga kantor Kedubes asing, misalnya, akan menolak secara halus suatu
pemberian sekecil apapun, atau hanya sekedar ajakan untuk minum bersama, dari
pejabat Kedubes asing tersebut. Uniknya, Kuba adalah negara Atheis dan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya juga biasa-biasa saja. Ini menunjukkan banyak
faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku anti korupsi
sebuah bangsa.
Diskusi kemudian berkembang lagi
hingga perlunya role model atau
keteladanan dalam sistem kebijakan secara nasional. Perlakuan diskriminatif
adalah sebuah bentuk tidak adanya role
model. Dalam kaitan ini, seorang peserta “menggugat” ketidakadilan dalam
sistem remunerasi PNS. Dia memberi contoh, di Kementerian Perdagangan dan Kementerian
Perdagangan hingga saat ini belum menerima remunerasi, padahal mereka telah
membina para pengusaha kecil, menengah, besar, hingga pengusaha multi-nasional
sebagai pembayar pajak yang amat besar untuk negara. Sementara Kementerian
Keuangan yang hanya tinggal memungut pajak justru mendapatkan remunerasi yang
sangat besar. Diskriminasi begitu nyata di depan mata, dan ini membuat
kecemburuan antar lembaga yang begitu dalam.
Kebetulan, diantara peserta
banyak juga yang berasal dari Kementerian Keuangan, baik dari Pusdiklat Bea
Cukai, Pusdiklat Pajak, dan STAN. Salah seorang peserta dari Kementerian
Keuangan yang merasa tersindir memberikan klarifikasi bahwa perbedaan dalam
besaran remunerasi disebabkan faktor kemampuan anggaran negara yang terbatas. Pada
suatu ketika, semua PNS akan memperoleh hak yang sama. Pertanyaannya, kapan
kesamaan hak antar PNS itu akan terjadi? Mengapa Kementerian Keuangan harus
didahulukan pembayaran remunerasinya dibanding dengan instansi pemerintah
lainnya? Sayangnya, fasilitator dari KPK tidak turut memberikan pendapat dan standing position mereka. Padahal, KPK
juga disinggung sebagai institusi yang memberikan gaji, remunerasi, atau take home pay yang wah. Sering kita dengar orang berucap: “kalau pendapatan kita sudah
sama seperti KPK, tentu saja kita juga bisa professional seperti mereka”.
Sekali lagi, sayang mereka tidak turut merespon polemik ynng sedang berkembang
di kelas workshop kemaren. Mereka cenderung membiarkan polemik bergulir, tidak
membenarkan namun juga tidak membantah. Secara tersirat saya menangkan kesan
bahwa KPK pun setuju dengan argumen peserta yang menceritakan adanya
diskriminasi tadi.
Atas penjelasan peserta dari
Kementerian Keuangan, secara bisik-bisik salah seorang peserta di sebelah saya mengatakan
bahwa argumen keterbatasan anggaran yang dikemukakan peserta dari Kementerian
Keuangan tadi sangat tidak masuk akal. Itu bukan alasan untuk membenarkan
diskriminasi antar kementerian/lembaga. Seharusnya, pembayaran remunerasi
diberikan bertahap dari nilai nominal yang seharusnya diterima, namun harus
diberlakukan sama secara inklusif kepada seluruh PNS di Republik ini. Artinya, pentahapan
bukan berdasarkan instansi penerima, melainkan atas dasar besaran remunerasi.
Tentu saja, saya sangat sepakat dengan pandangan kawan di sebelah saya ini.
Diluar konteks workshop kemaren,
saya juga sering mendengar kawan-kawan dari Kementerian Keuangan berargumen
bahwa mereka sudah melakukan reformasi 100% sehingga merasa layak untuk
mendapatkan remunerasi 100%, bahkan lebih. Mereka selalu meremehkan instansi
pemerintah lain yang mereka anggap belum melakukan reformasi sepenuhnya.
Argumen seperti inipun menurut saya adalah pandangan picik dan keblinger. Mereka ibarat katak dalam
tempurung yang hanya bisa melihat diri mereka sendiri namun buta terhadap
realita diluar tempurung tempat tinggalnya. Jika kita tanyakan kepada PNS di
instansi manapun: siapa yang lebih bekerja keras dan siapa yang lebih
berkontribusi terhadap negara, atau siapa yang lebih reformis, saya yakin semua
akan menonjolkan dirinya dan institusinya. Maka, sangatlah tidak etis “menuduh”
instansi lain belum menjalankan reformasi. Nampak sekali dala hal ini adanya arogansi
institusional yang terbangun di Kementerian Keuangan, sementara reformasi
birokrasi lebih menuntut aparat untuk menanggalkan atribut-atribut keangkuhan
dan lebih banyak “menyedekahkan” sumber daya organisasi untuk kemaslahatan umat
banyak. Ketika beberapa instansi telah dengan sadar memangkas struktur
organisasinya menjadi lebih flat dan streamline, Kementerian yang lain justru
menambah struktur. Kasus ini saja sudah memberikan jawaban siapa yang lebih
total melakukan reformasi, dan siapa yang hanya beretorika belaka.
Kembali ke dinamika workshop
kemaren, saya sebenarnya sangat bergelora untuk turut memberikan pendapat,
namun saya tahan karena diskusi yang berkembang sudah diluar konteks
harmonisasi program diklat anti korupsi. Namun saya sepakat dengan peserta yang
tadi mengusung issu ketidakadilan dalam kebijakan. Terus terang, saya belum
menemukan teori manapun yang bisa mmbenarkan diskriminasi dalam tubuh
birokrasi. Pengecualian kebijakan memang sering kita dengar dalam masa
peralihan, namun dalam kondisi semua normal, diskriminasi dapat diidentikkan
dengan sebuah kejahatan. Secara pribadi, saya bahkan memandang bahwa kebijakan
yang memungkinkan terjadinya perbedaan remunerasi tadi adalah sebuah tindak
pidana korupsi. Jika korupsi didefinisikan sebagai keinginan menyalahgunakan
kewenangan (discretion) dan pada saat
yang sama ada peluang (opportunity) untuk
itu, maka demikian pula yang saat ini terjadi. Nah, bagaimana mungkin kita
membangun semangat anti korupsi sementara kebijakan kita sendiri begitu
koruptif?
Terlepas dari perdebatan yang
cukup menegangkan kemaren, terus terang saya tidak menyangka bahwa issu ini
kembali muncul di forum yang bukan didesain untuk membahas hal tersebut. Namun
memang tidak terhindarkan, dimanapun forum mengangkat issu seputar korupsi,
reformasi, birokrasi, keadilan, maka diskriminasi remunerasi tadi akan muncul
dengan sendirinya. Ketika saya mengikuti Diklatpim I dan II, issu itupun muncul
begitu saja. Di grup BBM sekalipun, issu ini tidak terhindarkan. Apa yang bisa
dijelaskan dari fenomena ini? Menurut saya, ini menandakan bahwa diskriminasi
kesejahteraan antar PNS sudah mengendap dalam alam bawah sadar (subconscious mind) mayoritas PNS,
terutama di lembaga yang merasa mendapat perlakuan diskriminatif. Tentu saja
ini adalah sebuah kondisi yang membahayakan soliditas birokrasi.
Letupan-letupan protes diberbagai kesempatan semestinya disikapi sebagai sebuah
early warning system bahwa ada
sesuatu yang salah dengan reformasi dan kebijakan di negeri ini. Dan jika kita
semua (terutama para policy makers) sadar akan adanya kesalahan seperti
ini, mestinya segera dilakukan koreksi agar birokrasi kita kembali sehat, tidak
dipenuhi dengan kerurigaan dan kecemburuan, bersatu padu dan solid dalam
mewujudkan cita-cita negara melalui jalur pengabdiannya masing-masing.
Saya, dan berjuta PNS lain, tentu
sudah bosan dengan “gugatan-gugatan” yang dilempar setiap ada kesempatan tanpa
ada solusinya. Sayapun yakin bahwa teman-teman Kementerian Keuangan sudah
jengah mendengar keluhan, bahkan kadang makian dari koleganya sesama PNS di
seluruh Indonesia. Maka, 2014 sebagai tahun politik yang akan menghasilkan
pemimpin nasional baru, hendaklah menjadi tahun refleksi dan kontemplasi
kebangsaan dari seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia yang berke-Tuhan-an, mengedepankan kemanusiaan, memperkokoh persatuan,
menghargai keragaman melalui permusyawaratan, serta terus meningkatkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk keadilan antar sesama PNS.
Jakarta, 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar