Rabu, 25 September 2013

Asset Tak Berwujud dan Kemanfaatan Pen


Beragam pertanyaan tadi mewakili kegalauan saya selaku peneliti di lembaga pemerintah. Lantas, apa kontribusi saya selama 20 tahun terakhir ini kepada negara? Apakah saya hanya mengukir kehampaan dalam kurun waktu dua dekade tadi? Jika benar demikian, sungguh sebuah ironi terbesar dalam hidup saya dan ribuan peneliti lainnya, khususnya peneliti ilmu sosial. Peneliti ilmu alam atau ilmu pasti masih bisa bernafas lega, karena hasil penelitian yang dipatenkan tetap tercatat sebagai asset negara yang dihasilkan oleh peneliti tersebut. Namun hasil penelitian sosial yang paling banter hanya memperoleh nomor serial KDT (Katalog Dalam Terbitan) dan ISBN dari Perpustakaan Nasional, harus gigit jari karena kekayaan intelektualnya tetap tidak dapat diregistrasi sebagai asset negara.

Dilihat dari kebijakan yang berlaku saat ini, perlakuan atas hasil kajian/penelitian yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan, berdasarkan standar akuntansi pemerintahan (SAP) ditetapkan sebagai bagian dari kelompok “Aset Lainnya” sub kelompok “Aset Tak Berwujud (ATB)”. Namun tidak semua hasil kajian/penelitian secara otomatis masuk kategori ATB tadi. Hasil kajian/penelitian yang dapat digolongkan sebagai asset tak berwujud hanyalah hasil kajian/penelitian yang diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial dimasa yang akan datang. ATB akan dilaporkan dalam neraca sebesar nilai belanja yang dikeluarkan. Sementara untuk hasil kajian/penelitian yang tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial, hanya diinformasikan pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK), dan nilai belanja yang dikeluarkan tidak perlu dilaporkan sebagai asset dalam neraca.

Nah, ketentuan seperti itulah yang menurut saya merugikan negara, sekaligus juga menegasikan profesionalisme peneliti. Negara dirugikan karena anggaran APBN/APBD untuk membiayai kajian/penelitian tidaklah sedikit, jika diakumulasi secara nasional mungkin bisa mencapai ratusan milyar atau lebih. Nilai ratusan milyar itu jika kemudian tidak dihitung sebagai ATB, menurut saya sama artinya dengan inefisiensi belaja pemerintah. Jika sejak siklus perencanaan telah dilakukan pembahasan secara tripartit antara Bappenas, Kementerian Keuangan, dan K/L terkait, dan telah mendapat persetujuan semua pihak, maka dapat diasumsikan bahwa program dan kegiatan kajian/penelitian yang diusulkan, dibahas, dan disetujui tadi telah memenuhi kriteria kemanfaatan, dan oleh karenanya harus masuk dalam ATB. Jika kemudian terbukti bahwa hasil kajian/penelitian tadi tidak memiliki kemanfaatan, berarti ada yang salah pada tahap awal sistem perencanaan dan penganggaran.

Selain itu, harus diakui pula bahwa kajian/penelitian sosial cenderung lebih sulit dinilai kemanfaatannya secara sosial maupun ekonomi. Selain tidak adanya standar nilai kemanfaatan, juga sifatnya yang lebih terbuka terhadap perbedaan konsep, opini, maupun penafsiran. Sebagai contoh, penelitian yang sama-sama mengkaji tentang desentralisasi, bisa saja menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang berbeda. Kajian yang satu merekomendasikan penguatan otonomi di tingkat provinsi, sementara yang lain justru mendukung penguatan otonomi di tingkat kabupaten/kota. Dalam hal seperti ini, sangat sulit membandingkan keduanya kemudian menyimpulkan bahwa penelitian pertama tidak memiliki kemanfaatan sosial, sementara penelitian yang lain lebih baik dalam hal kemanfaatan. Sama halnya ketika ada dua penelitian yang sama-sama menganalisis aspek kelembagaan OPD atau SKPD. Hasil kajian pertama misalnya mengajukan model efisiensi sebagai strategi penataan kelembagaan melalui upaya perampingan struktur dan penggabungan dinas/lembaga teknis daerah. Sedangkan kajian kedua boleh jadi justru melihat model efektivitas sebagai rekomendasi paling tepat, sehingga disarankan untuk dibentuk kelembagaan daerah dengan pola maksimal. Dalam kasus seperti inipun, akan sulit mengukur kemanfaatan sosial ekonomi.

Dengan demikian, kemanfaatan penelitian sosial lebih bersifat kontekstual atau situasional. Artinya, dengan rekomendasi yang sama belum tentu akan menghasilkan dampak/manfaat yang sama di daerah atau tempat yang berbeda. Efektivitas pilihan kebijakan tertentu masih akan tergantung pada berbagai prakondisi terkait, seperti ada/tidaknya political will dan komitmen seluruh pihak, cukup/tidaknya dukungan sumber daya, dan sebagainya. Dan prakondisi tadi jelas berbeda-beda antar daerah, sehingga akan memberikan efek yang berbeda pula. Kompleksitas situasi seperti ini relatif tidak ditemui dalam penelitian ilmu pasti. Sebagai contoh, hasil penelitian berupa teknologi tepat guna pengolahan air laut menjadi air mineral. Ini bisa diterapkan dimanapun, dengan kapasitas produksi yang sama per detiknya, dengan langkah yang sama, kualitas hasil yang sama, serta nilai ekonomi yang sama pula. Hal seperti ini jelas akan sangat memudahkan pengukuran tingkat kemanfaatannya.

Oleh karena itu, meskipun secara sosial ekonomi penelitian sosial tidak dapat diukur secara pasti tingkat kemanfaatannya, namun bukan berarti tidak memiliki kemanfaatan. Kemanfaatan hasil kajian/penelitian sosial lebih variatif, misalnya sebagai bahan bacaan, rujukan dalam menulis karya tulis ilmiah, kutipan dalam membuat pidato seorang pejabat, dan seterusnya. Selain itu, tidak menutup kemungkinan hasil kajian/penelitian sosial juga akan menumbuhkan inspirasi bagi orang tertentu untuk mendorong perubahan dan melahirkan inovasi, sebagai bahan dalam pengajaran atau diklat, atau bahkan sebagai landasan akademik untuk mengubah suatu kebijakan. Ini semua adalah spektrum kemanfaatan dari kajian/penelitian sosial. Maka, saya masih tidak bisa memahami cara berpikir yang keukeuh menyatakan kajian/penelitian sosial tidak memiliki kemanfaatan. Mungkin secara sosial ekonomi kemanfaatannya rendah, namun secara akademis tidak bisa dibantah bahwa kajian/penelitian sosial merupakan kekayaan intelektual bangsa yang sangat besar nilainya.

Kalaupun harus dipaksa memiliki nilai ekonomis sebenarnya mudah saja, sepanjang sistem keuangan memungkinkan. Caranya adalah dengan menjual buku-buku hasil kajian/penelitian di berbagai toko buku. Dengan cara seperti ini, bahkan ada peluang untuk break event point, dalam arti modal awal dalam melaksanakan kajian/penelitian hingga menghasilkan output laporan, bisa kembali dan melampaui modal awal tersebut. Sayangnya, selama ini menjual buku hasil penelitian dilarang dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Padahal, menurut saya tidak ada yang salah sama sekali dengan ide menjual buku hasil kajian/penelitian sosial. Ini justru merupakan manifestasi dari prinsip mewirausahakan birokrasi (entrepreneurial government: earning rather than spending). Dengan kata lain, nilai ATB berupa hasil kajian/penelitian sosial tadi akan berlipat, bukan saja dihitung dari nilai belanja yang dikeluarkan, namun juga potensi pendapatan yang akan diperoleh.

Selain itu, melempar hasil kajian/penelitian sosial ke “pasar kompetisi” ditengarai akan memacu peneliti untuk bekerja lebih baik lagi agar produknya dapat diterima ditengah masyarakat. Dan dengan demikian, disatu sisi akuntabilitas para peneliti dan akuntabilitas program kajian/penelitian sosial dapat lebih ditingkatkan, sementara disisi lain pemerintah tidak rugi hanya gara-gara pengeluaran untuk kajian/penelitian tidak tercatat sebagai ATB.

Jakarta, 25 September 2013

Tidak ada komentar: