Beragam
pertanyaan tadi mewakili kegalauan saya selaku peneliti di lembaga pemerintah.
Lantas, apa kontribusi saya selama 20 tahun terakhir ini kepada negara? Apakah
saya hanya mengukir kehampaan dalam kurun waktu dua dekade tadi? Jika benar
demikian, sungguh sebuah ironi terbesar dalam hidup saya dan ribuan peneliti
lainnya, khususnya peneliti ilmu sosial. Peneliti ilmu alam atau ilmu pasti
masih bisa bernafas lega, karena hasil penelitian yang dipatenkan tetap
tercatat sebagai asset negara yang dihasilkan oleh peneliti tersebut. Namun
hasil penelitian sosial yang paling banter hanya memperoleh nomor serial KDT
(Katalog Dalam Terbitan) dan ISBN dari Perpustakaan Nasional, harus gigit jari karena kekayaan intelektualnya
tetap tidak dapat diregistrasi sebagai asset negara.
Dilihat
dari kebijakan yang berlaku saat ini, perlakuan atas hasil kajian/penelitian
yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan, berdasarkan standar akuntansi
pemerintahan (SAP) ditetapkan sebagai bagian dari kelompok “Aset Lainnya” sub
kelompok “Aset Tak Berwujud (ATB)”. Namun tidak semua hasil kajian/penelitian
secara otomatis masuk kategori ATB tadi. Hasil kajian/penelitian yang dapat
digolongkan sebagai asset tak berwujud hanyalah hasil kajian/penelitian yang
diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial
dimasa yang akan datang. ATB akan dilaporkan dalam neraca sebesar nilai belanja
yang dikeluarkan. Sementara untuk hasil kajian/penelitian yang tidak dapat
diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial,
hanya diinformasikan pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK), dan nilai
belanja yang dikeluarkan tidak perlu dilaporkan sebagai asset dalam neraca.
Nah,
ketentuan seperti itulah yang menurut saya merugikan negara, sekaligus juga
menegasikan profesionalisme peneliti. Negara dirugikan karena anggaran
APBN/APBD untuk membiayai kajian/penelitian tidaklah sedikit, jika diakumulasi
secara nasional mungkin bisa mencapai ratusan milyar atau lebih. Nilai ratusan
milyar itu jika kemudian tidak dihitung sebagai ATB, menurut saya sama artinya
dengan inefisiensi belaja pemerintah. Jika sejak siklus perencanaan telah
dilakukan pembahasan secara tripartit antara Bappenas, Kementerian Keuangan,
dan K/L terkait, dan telah mendapat persetujuan semua pihak, maka dapat
diasumsikan bahwa program dan kegiatan kajian/penelitian yang diusulkan,
dibahas, dan disetujui tadi telah memenuhi kriteria kemanfaatan, dan oleh
karenanya harus masuk dalam ATB. Jika kemudian terbukti bahwa hasil
kajian/penelitian tadi tidak memiliki kemanfaatan, berarti ada yang salah pada
tahap awal sistem perencanaan dan penganggaran.
Selain
itu, harus diakui pula bahwa kajian/penelitian sosial cenderung lebih sulit
dinilai kemanfaatannya secara sosial maupun ekonomi. Selain tidak adanya
standar nilai kemanfaatan, juga sifatnya yang lebih terbuka terhadap perbedaan
konsep, opini, maupun penafsiran. Sebagai contoh, penelitian yang sama-sama
mengkaji tentang desentralisasi, bisa saja menghasilkan kesimpulan dan
rekomendasi yang berbeda. Kajian yang satu merekomendasikan penguatan otonomi
di tingkat provinsi, sementara yang lain justru mendukung penguatan otonomi di
tingkat kabupaten/kota. Dalam hal seperti ini, sangat sulit membandingkan
keduanya kemudian menyimpulkan bahwa penelitian pertama tidak memiliki
kemanfaatan sosial, sementara penelitian yang lain lebih baik dalam hal
kemanfaatan. Sama halnya ketika ada dua penelitian yang sama-sama menganalisis
aspek kelembagaan OPD atau SKPD. Hasil kajian pertama misalnya mengajukan model
efisiensi sebagai strategi penataan kelembagaan melalui upaya perampingan
struktur dan penggabungan dinas/lembaga teknis daerah. Sedangkan kajian kedua
boleh jadi justru melihat model efektivitas sebagai rekomendasi paling tepat,
sehingga disarankan untuk dibentuk kelembagaan daerah dengan pola maksimal.
Dalam kasus seperti inipun, akan sulit mengukur kemanfaatan sosial ekonomi.
Dengan
demikian, kemanfaatan penelitian sosial lebih bersifat kontekstual atau
situasional. Artinya, dengan rekomendasi yang sama belum tentu akan
menghasilkan dampak/manfaat yang sama di daerah atau tempat yang berbeda.
Efektivitas pilihan kebijakan tertentu masih akan tergantung pada berbagai
prakondisi terkait, seperti ada/tidaknya political
will dan komitmen seluruh pihak, cukup/tidaknya dukungan sumber daya, dan
sebagainya. Dan prakondisi tadi jelas berbeda-beda antar daerah, sehingga akan
memberikan efek yang berbeda pula. Kompleksitas situasi seperti ini relatif
tidak ditemui dalam penelitian ilmu pasti. Sebagai contoh, hasil penelitian
berupa teknologi tepat guna pengolahan air laut menjadi air mineral. Ini bisa
diterapkan dimanapun, dengan kapasitas produksi yang sama per detiknya, dengan
langkah yang sama, kualitas hasil yang sama, serta nilai ekonomi yang sama
pula. Hal seperti ini jelas akan sangat memudahkan pengukuran tingkat
kemanfaatannya.
Oleh
karena itu, meskipun secara sosial ekonomi penelitian sosial tidak dapat diukur
secara pasti tingkat kemanfaatannya, namun bukan berarti tidak memiliki
kemanfaatan. Kemanfaatan hasil kajian/penelitian sosial lebih variatif,
misalnya sebagai bahan bacaan, rujukan dalam menulis karya tulis ilmiah, kutipan
dalam membuat pidato seorang pejabat, dan seterusnya. Selain itu, tidak menutup
kemungkinan hasil kajian/penelitian sosial juga akan menumbuhkan inspirasi bagi
orang tertentu untuk mendorong perubahan dan melahirkan inovasi, sebagai bahan
dalam pengajaran atau diklat, atau bahkan sebagai landasan akademik untuk
mengubah suatu kebijakan. Ini semua adalah spektrum kemanfaatan dari
kajian/penelitian sosial. Maka, saya masih tidak bisa memahami cara berpikir
yang keukeuh menyatakan
kajian/penelitian sosial tidak memiliki kemanfaatan. Mungkin secara sosial
ekonomi kemanfaatannya rendah, namun secara akademis tidak bisa dibantah bahwa
kajian/penelitian sosial merupakan kekayaan intelektual bangsa yang sangat
besar nilainya.
Kalaupun
harus dipaksa memiliki nilai ekonomis sebenarnya mudah saja, sepanjang sistem
keuangan memungkinkan. Caranya adalah dengan menjual buku-buku hasil
kajian/penelitian di berbagai toko buku. Dengan cara seperti ini, bahkan ada
peluang untuk break event point,
dalam arti modal awal dalam melaksanakan kajian/penelitian hingga menghasilkan output laporan, bisa kembali dan
melampaui modal awal tersebut. Sayangnya, selama ini menjual buku hasil
penelitian dilarang dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Padahal, menurut
saya tidak ada yang salah sama sekali dengan ide menjual buku hasil
kajian/penelitian sosial. Ini justru merupakan manifestasi dari prinsip
mewirausahakan birokrasi (entrepreneurial
government: earning rather than spending). Dengan kata lain, nilai ATB
berupa hasil kajian/penelitian sosial tadi akan berlipat, bukan saja dihitung
dari nilai belanja yang dikeluarkan, namun juga potensi pendapatan yang akan
diperoleh.
Selain
itu, melempar hasil kajian/penelitian sosial ke “pasar kompetisi” ditengarai
akan memacu peneliti untuk bekerja lebih baik lagi agar produknya dapat
diterima ditengah masyarakat. Dan dengan demikian, disatu sisi akuntabilitas
para peneliti dan akuntabilitas program kajian/penelitian sosial dapat lebih ditingkatkan,
sementara disisi lain pemerintah tidak rugi hanya gara-gara pengeluaran untuk
kajian/penelitian tidak tercatat sebagai ATB.
Jakarta,
25 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar