Saya yakin banyak diantara kita
yang sering mendengar, atau bahkan merasakan, sebuah situasi dimana kita
mengharapkan eksistensi dan peran negara/pemerintah, namun tidak kita temukan. Dalam
berbagai peristiwa kita sering mengalami situasi tidak hadirnya pemerintah (the absence of the state). Sebagai contoh,
saat terjadi konflik antar kelompok yang mengakibatkan korban jiwa, saat ada seorang
warga negara yang ketahuan telah menjadi mayat karena kelaparan dan tidak makan
berhari-hari, saat kemacetan parah di sebuah simpang empat dan tak terlihat satupun
petugas kepolisian, saat anggota masyarakat ditolak berobat oleh banyak rumah
sakit, atau saat-saat lain ketika seseorang sangat membutuhkan uluran tangan
aparat namun hanya kehampaan yang ditemui, maka saat itulah muncul pertanyaan: “kemana
negara/pemerintah kita?”
Dalam konsep kepemerintahan yang
baik, salah satunya dikenal prinsip atau asas omnipresence. Omni berarti
banyak, dan presence berharti hadir. Artinya,
pemerintah harus hadir dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun saat warga
negara membutuhkan. Maka, seorang pendaki gunung yang tersesat atau mendapat
kecelakaan karena minimnya informasi tentang situasi jalur pendakian, adalah
wujud ketidakhadiran pemerintah. Demikian pula seorang penduduk miskin yang
tidak bisa membayar jaya layanan kesehatan bahkan sampai beriklan menjual organ
tubuhnya, dia ibarat hidup di sebuah negara tanpa pemerintah (state without government).
Kehadiran pemerintah tentu tidak
selalu berarti secara fisik dan tangible.
Pemerintah dapat hadir dimanapun dan kapanpun (eternal presence) lebih banyak melalui simbol-simbol pemerintahan, antara
lain melalui peraturan, informasi resmi, peringatan, rambu-rambu, dan
sebagainya. Sebagai contoh, seorang pendaki gunung yang telah mendapat
informasi lengkap tentang situasi jalur pendakian, laksana sudah berhadapan
dengan pemerintah. Begitu pula penduduk miskin yang tidak mampu membayar biaya
kesehatan namun diterima secara gratis di rumah sakit manapun, adalah wujud
konkrit kehadiran pemerintah bagi orang tersebut. Demikian halnya antisipasi
dini aparat pemerintah yang mampu mencegah terjadinya konflik sosial, atau pengguna
jalan yang sudah mengetahui adanya lubang-bulang di depan mereka, proyek
gorong-gorong, atau penyempitan, sehingga dapat menghindarkan dari kemungkinan
terjadinya kecelakaan, adalah manifestasi adanya mekanisme kepemerintahan yang
tengah bekerja (government that works).
Ini memang sebuah konsep yang
sangat ideal, sehingga menjadi sebuah kewajaran ketika dalam realitanya terjadi
gap yang cukup besar antara
ekspektasi publik dengan kemampuan pemerintah untuk benar-benar hadir disetiap
waktu. Namun, untuk itulah pemerintah sengaja diadakan. Secara filosofis,
pemerintah memang dibentuk, dipilih, diangkat, dan/atau diberi mandat untuk
menyelesaikan semua permasalahan warga negara tanpa kecuali. Para pemimpin adalah
sosok setengah dewa yang diharapkan dapat menjadi dewa penolong terhadap setiap
situasi problematis yang dihadapi masyarakat.
Maka, meskipun tidak dipungkiri
adalah berbagai keterbatasan, pemerintah tetap tidak etis untuk mencari alasan
pembenar, dalih, atau excuse terhadap
kegagalan menjalankan tugas dan fungsi, apalagi menyalahkan pihak lain atas
terjadinya sebuah kejadian. Jika ada adagium dalam ilmu hukum bahwa “hakim
tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya”;
atau dalil dalam dunia kesehatan bahwa “dokter tidak boleh menolak pasien
dengan alasan tidak ada obatnya”, maka dalam administrasi negara-pun harus
dikembangkan prinsip bahwa “pemerintah tidak boleh menghentikan pelayanan
dengan alasan tidak ada sumber dayanya”. Sebagai contoh, pemerintah tidak bisa membiarkan
para gelandangan hidup dibawah kolong jembatan dengan alasan tidak ada anggaran
pembangunan rusunawa (rumah susun sangat sederhana). Artinya, pemerintah harus
tahu persis setiap situasi dan peristiwa yang menimpa warganya, kemudian mengambil
posisi paling depan dan bertanggungjawab atas keselamatan warga negara. Kasus pengendara
motor yang meninggal karena kecelakaan akibat terperosok lubang yang tidak
segera ditutup/diaspal oleh pemerintah, berdasarkan asas omnipresence tadi dapat dikatakan lalai dan harus bertanggungjawab
penuh atas kerugian yang diderita korban. Dan banyak lagi contoh kasus yang
bisa dikemukakan untuk menjelaskan betapa sulit dan beratnya tugas dan
tanggungjawab pemerintah.
Maka, menjadi agak aneh ketika
banyak orang yang ingin menjadi aparat pemerintah, baik dari jalur legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif. Apa motif utama mereka yang sesungguhnya? Melayani
masyarakat dan hadir dimanapun di setiap waktu dibutuhkan warganya, ataukah sekedar
mencari kemuliaan pribadi?
Semoga tulisan ini bisa menjadi
renungan bagi kita semua. Bagi masyarakat dan rakyat jelata semoga bisa lebih
menyadari hak-hak konstitusionalnya dihadapan pemerintah, dan bagi pemerintah
semoga dapat menjadi motivasi untuk meluruskan niat dan komitmennya dalam
mengabdi pada negeri dan rakyatnya.
Balikpapan, 4 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar