Bagi umat Islam, sedekah atau shadaqah amat diyakini memiliki banyak
sekali keutamaan, dari memperbanyak rejeki, melancarkan karir dan jodoh,
menenteramkan hati, memanjangkan umur, mengobati penyakit, melancarkan usaha,
dan seterusnya. Semakin kuat keyakinan seseorang akan keutamaan sedekah, akan
semakin ringan dan ikhlas ia melakukannya.
Allah sendiri menjamin bahwa
seorang hamba tidak akan jatuh miskin karena banyak bersedekah. Sebaliknya,
sekecil apapun nilai sedekah tadi, akan dilipatgandakan dalam berbagai bentuk
yang tidak terduga-duga. Mungkin saja saat kita secara ikhlas bersedekah hanya
Rp. 1000, Alah akan mengganti dengan rejeki yang 100 kali lebih banyak dari
itu, atau dengan wujud lain seperti anak-anak yang menurut dan berbakti,
dihindarkan dari kecelakaan, dijauhkan dari fitnah, atau wujud balasan apapun
yang Dia kehendaki. Yang pasti, pribadi yang gemar sedekah akan menikmati
sensasi keberlimpahan dan tidak pernah merasa kurang dengan apapun yang
dimilikinya.
Nah, ketika akhir-akhir ini saya
mulai “keranjingan” menulis hal-hal kecil secara harian, tiba-tiba saya
merasakan efek keberlimpahan tadi. Awalnya saya hanya memiliki 2-3 ide untuk
ditulis. Saya berpikir bahwa saat saya menyelesaikan 2 atau 3 tulisan tadi,
saya harus memeras otak untuk bisa mendapat ide lain untuk ditulis. Ternyata
hal itu tidak terjadi. Sebelum saya menyelesaikan satu tulisan, telah muncul
ide yang lain. Begitu saya selesai dengan tulisan kedua, ketiga, dan
seterusnya, saat itu pula muncul ide kedua, ketiga, dan seterusnya. Tanpa saya
sadari, setiap tulisan itu akan selalu beranak pinak berupa ide-ide baru. Sama
dengan sedekah, setiap sedekah akan memberikan limpahan-limpahan rejeki baru
buat kita. Analoginya, setaip tulisan saya adalah sedekah saya. Semakin banyak
tulisan/sedekah saya, maka akan semakin banyak pula ide-ide/rejeki yang akan
mendatangi saya.
Sebenarnya, menulis bukan hanya
analog dengan sedekah. Lebih dari itu, menulis adalah benar-benar sebuah
sedekah. Mengapa? Tanpa kita sadari, kita telah menyumbang gagasan untuk para
pembaca kita, tidak peduli disetujui atau tidak, dilaksanakan atau tidak.
Sedikit banyak, tulisan kita juga memberi inspirasi dan memberi informasi yang
mungkin sangat dibutuhkan oleh seseorang. Dengan demikian, tulisan kita –
disadari atau tidak – dapat kita katakana sebagai media pencerdasan kehidupan
bangsa. Dan itu semua jelas sebuah sedekah yang tidak kecil nilainya.
Hanya saja, dalam keadaan meluapnya
ide tadi, saya justru merasa kelabakan karena hadirnya ide-ide baru membuat adrenalis saya meningkat, ingin
menuangkan semua kedalam tulisan sementara situasi sering kali tidak
memungkinkan. Saya menjadi ragu, dapatkah saya menuliskan semua ide tadi
mengingat kemampuan dan waktu saya relatif terbatas? Dari target saya
menghasilkan satu tulisan per hari-pun, kadang tidak terwujud karena aktivitas
rutin saya di kantor maupun bersama keluarga. Jika ide datang dengan sendirinay
dan mengalir terus tanpa dapat dibendung, bagaimana mungkin saya bisa mengelolanya
dengan baik?
Meskipun saya merasa “diserbu”
dengan banyak ide, dan itu berarti beban baru, sebagaimana saya ungkapkan dalam
tulisan saya berjudul “Menulis itu Seperti BAB”, namun saya tetap besyukur
dengan limpahan rejeki berbentuk ide-ide yang seringkali “liar” tersebut. Saya
senang bisa berpikir secara berbeda dibanding ide-ide yang sudah banyak
beredar. Saya juga senang karena saya merasa ide-ide saya memiliki tingkat
kebaruan (novelty) dan keaslian (originality) meskipun mungkin sekali
akan sangat sulit diterima oleh khalayak luas.
Sebagai penutup, saya mengajak
pembaca Blog saya, sahabat-sahabat saya, dan siapapun yang ingin bersedekah
melalui tulisan, mari kita perbanyak tulisan kita. Ini bukan hanya karya kita,
kontribusi kita, dan jati diri kita. Lebih dari itu, ini adalah sedekah kita
untuk kemajuan peradaban umat manusia (human
civilization).
Jakarta,
12 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar