Sudah cukup lama saya tidak
berdiskusi soal kelembagaan pemerintah daerah, dan baru Selasa, 3 September
2013, saya memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan gagasan saya terkait
penataan kelembagaan di daerah, di sebuah forum diskusi di Kota Bontang. Terus
terang saya mempunyai ide yang berbeda dengan mainstream yang ada saat ini. Bisa jadi konsep saya yang keliru,
namun bisa pula konsep yang berlaku sekarang yang harus ditinjau kembali.
Kebijakan penataan kelembagaan
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan tentang kewenangan atau bidang urusan
pemerintahan tertentu. Artinya, desain kelembagaan harus menyesuaikan desain
tentang struktur kewenangan pemerintahan tersebut. Ada kalanya penyusunan model
kelembagaan keliru menafsirkan struktur kewenangan, namun sangat mungkin
terjadi kesalahan ada di hulu, yakni kesalahan format kewenangan itu sendiri.
Saat ini kita mengenal adanya
konsep tentang kewenangan konkuren, atau kewenangan yang dibagi-bagi dan secara
bersama-sama (concurrent) dilakukan
oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Konsep yang diperkenalkan
oleh UU No. 32/2004 ini mengoreksi konsep lama tentang kewenangan sisa (residual) yang dibawa oleh UU No.
22/1999. Jika pada tahun 1999 kewenangan pusat adalah seluruh kewenangan yang
tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, maka pada sejak 2004 bidang-bidang
kewenangan pada setiap tingkatan pemerintah adalah sama, hanya berbeda pada
skalanya sesuai pembagian yang diatur pada PP No. 38/2007. Sayangnya, pembagian
urusan tadi agak sulit dioperasionalisasikan karena kurang konkrit, tidak
terukur, dan kurang jelas batas-batas antara wewenang pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Oleh karenanya, hingga sekarangpun soal tumpang tindih,
kekaburan, dan duplikasi kewenangan, tugas, dan penganggaran, masih saja
menjadi issu klasik yang entah kapan akan ada penyelesaian yang tuntas.
Selain itu, kewenangan konkuren
juga melahirkan model kelembagaan yang konkuren. Artinya, unit organisasi yang
mengurusi bidang kewenangan tertentu ada di setiap jenjang pemerintahan. Jika
di pusat ada Kementerian Pertanian, maka di provinsi maupun di kabupten/kota
juga akan ada dinas pertanian. Sebuah daerah yang masuk kategori kota besar
dengan lahan pertanian yang tidak signifikan-pun cenderung membentuk Dinas
Pertanian. Hal ini diperparah dengan sistem tipologi daerah yang menentukan
besaran perangkat daerah. Daerah yang masuk kategori “A” (nilai diatas 70),
dapat membentuk maksimal 18 Dinas dan 12 Lembaga Teknis Daerah. Kecenderungan
yang terjadi adalah memaksimalkan kuota yang diatur dalam PP No. 41/2007, atau
sering dikenal dengan istilah pola maksimal. Meskipun ada, namun tidak banyak daerah
yang dengan sengaja merampingkan besaran OPD-nya demi efisiensi sumber daya, kelancaran
koordinasi, dan penajaman prioritas pembangunan pada issu-issu besar yang
dihadapi. Karena kuotanya memang masih terbuka, memang tidak salah jika daerah
mau membentuk kelembagaan apapun sesuai aspirasi yang berkembang di daerah.
Ketika model kelembagaan kita
adalah concurrent institution tadi,
mulailah timbul problem koordinasi. Sebagai contoh, apa sesungguhnya yang
dilakukan Dinas Pertanian Provinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten? Bukankah
obyeknya sama yakni para petani atau lahan pertanian? Jika sama obyeknya,
mengapa program pemberdayaan petani dan pendayagunaan lahan pertanian harus
dilakukan oleh lebih dari satu dinas pertanian? Hal yang sama berlaku pula
untuk dinas kehutanan dan perkebunan, dinas perikanan, dinas pariwisata, dinas
sosial, dinas pendidikan, dan yang lainnya.
Disisi lain, banyak fungsi atau
urusan lintas daerah yang dilakukan secara piecemeal
atau terpenggal-penggal, seperti fungsi ketahanan pangan, penanggulangan
bencana, atau lingkungan hidup. Maksud saya, fungsi-fungsi tadi mestinya cukup
dibentuk di provinsi saja untuk melayani seluruh kabupaten/kota yang ada di
wilayah provinsi tersebut. Hal ini sesuai pula dengan kedudukan provinsi
sebagai intermediary institution antara
pusat dengan daerah (kabupaten/kota). Provinsi hanya menjalankan wewenang di
tingkat regional, dan tidak perlu sampai ke wilayah lokalitas yang menjadi domain kabupaten/kota. Provinsi cukup
fokus pada urusan-urusan yang berskala lintas daerah atau memiliki
eksternalitas antar daerah.
Urusan ketahanan pangan,
misalnya, bukanlah urusan individual kabupaten/kota. Rasanya aneh jika dua
daerah yang bertetangga namun memiliki ketahanan pangan yang kontras, namun
mereka tidak saling mempedulikan tetangganya atas nama otonomi daerah. Jika ini
yang terjadi, maka sesungguhnya telah terbangun sebuah sosok pemerintahan
daerah yang egois (selfish local
government). Begitu pula, bencana alam biasanya tidak terjadi mengikuti
batas-batas administratif daerah, dan cenderung menimpa area yang melibatkan
banyak daerah. Maka, penanganannyapun sebaiknya tidak sepotong-potong oleh
daerah tertentu untuk lingkup wilayahnya sendiri. Demikian halnya soal
lingkungan hidup. Kasus-kasus pencemaran air/udara/tanah, kerusakan hutan dan
lahan, penanganan limbah beserta dampak ikutannya, dan sebagainya, adalah issu
lintas daerah yang tidak mungkin hanya ditangani kabupaten/kota secara parsial.
Kasus-kasus tadi membutuhkan penanganan yang lebih terpusat, koordinasi yang lebih
cepat, dan pengambilan keputusan yang seragam. Maka, rasanya lebih tepat
kelembagaan yang menangani urusan seperti itu dibentuk pada level provinsi.
Dengan model kelembagaan seperti
itu, akan didapatkan beberapa kemanfaatan. Pertama,
tentu akan sangat meningkatkan efisiensi dalam pembiayaan program/kegiatan
instansi. Indikasi penganggaran ganda untuk urusan yang sama seperti berkembang
saat ini dapat diminimalisir. Selain efisiensi anggaran, efisiensi kelembagaan
juga akan sangat meningkat. Sebab, tidak perlu dibentuk lagi dinas/badan yang
sama dengan struktur yang sama, tugas dan fungsi yang sama, hanya berbeda
tingkatan saja. Kedua, dengan adanya
efisiensi anggaran dan kelembagaan tadi, akan terhindarkan terjadinya overlap
pelaksanaan tugas pokok hingga kegiatan antar instansi. Artinya, perangkat
daerah bisa lebih fokus dalam merealisasikan tujuan dan target-target dari
program yang dijalankan, sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
Pada saat yang sama, problem koordinasi yang kerap menjadi momok dalam
administrasi pemerintahan selama ini akan berkurang secara signifikan. Ketiga, secara sistemik akan terbangun
sistem pemerintahan daerah yang terkonsolidasikan (consolidated local government), yang akan menggantikan fenomena fragmented local government seperti yang
kita lihat selama ini, dimana pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seperti
berebut kue yang sama. Dengan sistem yang terkonsolidasikan tadi, provinsi
benar-benar akan memperhatikan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/walikota
bukan lagi sebagai kompetitor bagi gubernur, melainkan entitas yang harus
dilayani oleh gubernur beserta seluruh perangkatnya. Selfish local government juga akan berkurang karena kabupaten/kota
hanya menjalankan fungsi sektoral yang berskala lokalitas.
Untuk dapat mewujudkan consolidated local government tadi, ada
beberapa prakondisi yang harus dipenuhi. Pertama,
tentu UU Pemerintahan Daerah harus diubah, terutama pada pengaturan tentang
kewenangan. Konsep kewenangan konkuren boleh saja masih dipakai, namun tidak
bersifat umum untuk semua bidang urusan dan kewenangan. Model atau pola
hubungan kewenangan harus diubah, yakni kabupaten/kota hanya mengurusi urusan
sektoral yang berskala lokal, sedangkan provinsi menjalankan urusan lintas
sektor yang berskala regional. Adapun pemerintah pusat masih menjalankan
seluruh bidang urusan sebagai implikasi dari negara kesatuan (unitary state).
Kedua,
asas penyelenggaraan pemerintahan-pun berubah. Jika selama ini baik provinsi
menjalankan asas desentralisasi dan dekonsentrasi sementara kabupaten/kota
hanya menjalankan asas desentralisasi saja, maka dalam konsep yang saya
tawarkan tadi provinsi hanya sebagai perangkat dekonsentrasi. Artinya, provinsi
adalah wilayah administratif belaka dan gubernur hanyalah kepala wilayah
semata. Sebagai kepala wilayah, maka gubernur dipilih oleh pemerintah pusat dan
secara otomatis berkedudukan selaku wakil pemerintah. Tidak seperti sekarang
dimana gubernur memiliki double functions
selaku kepala daerah dan selaku wakil pemerintah (bukan kepala wilayah). Ini
menurut saya adalah konsep yang rancu dan salah kaprah, karena “wakil
pemerintah” berbeda kedudukannya dengan “kepala wilayah”. Padahal, provinsi
adalah pelaksana asas dekonsentrasi, yang berarti gubernur adalah kepala
wilayah. Sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi, gubernur semestinya
dilengkapi dengan perangkat dekonsentrasi. Sementara selaku wakil pemerintah,
gubernur tidak memiliki perangkat pendukungnya. Itulah sebabnya, tugas-tugasnya
selaku wakil pemerintah selama ini hanya “dititipkan” pada SKPD yang notabene adalah pelaksana asas
desentralisasi.
Ketiga,
jika ide ini disetujui, maka PP No. 37 dan 41 tahun 2007 secara otomatis harus
dicabut. Khusus untuk pengaturan aspek kelembagaan, tidak perlu lagi
menggunakan kategorisasi besaran OPD dan kuota pembentukan SKPD di
kabupaten/kota. Justru seluruh urusan sektoral berskala lokal harus diwadahi
dalam satuan kerja tertentu, meski tidak harus satu urusan dijalankan satu
lembaga. Prinsip efisiensi tetap harus mendapat perhatian, sehingga
penggabungan beberapa urusan dalam satu lembaga tetap menjadi nilai tambah,
terutama dalam kerangka reformasi birokrasi. Sementara untuk provinsi yang
menjalankan asas dekonsentrasi, maka dinas daerah dan lembata teknis daerah
yang ada saat ini harus berubah menjadi field
administration, yakni instansi vertikal. Namun mengingat fungsinya yang hanya
bersifat koordinasi, pengawasan, pembinaan, dan pengendalian (korwasbindal),
maka tidak perlu dibentuk secara sektoral, melainkan cukup dalam bentuk
perumpunan, mirip dengan Asisten Sekda saat ini. Dalam hal ini, pemerintah
pusat juga harus menghilangkan ego sektoralnya dengan tidak memaksakan provinsi
membentuk instansi vertikal sebanyak kementerian di pusat ditambah
fungsi-fungsi lainnya.
Apa yang saya sampaikan disini
hanyalah sebuah ide spontan yang masih membutuhkan pendalaman dan penajaman.
Oleh karenanya, sangat boleh jadi ide ini masih sangat prematur dan memiliki feasibility yang rendah. Namun sebagai sebuah alternatif dalam mengurai
permasalahan menahun di daerah, saya yakin ide ini dapat dijadikan pijakan
logis untuk diangkat ke level pembahasan yang lebih tinggi dan lebih formal.
Mumpung draft revisi UU No. 32/2004 belum final, ada baiknya para legislator,
penentu kebijakan, akademisi, juga kalangan LSM, memikirkan lagi terobosan dan
inovasi pemerintahan daerah, agar bangsa ini tidak terjebak pada kegemaran baru
membuat UU untuk kemudian merevisinya dalam jangka waktu relatif singkat. UU
yang berkualitas, tentunya memiliki umur yang relatif panjang, dan seminimal
mungkin menghadapi gugatan dan perlawanan dari publik. Semoga UU Pemda yang
baru dapat bertahan lama seperti UU No. 5/1974 namun memiliki nuansa reform seperti UU No. 22/1999.
Jakarta, 13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar