Jumat, 13 September 2013

Menggagas Format Baru Kelembagaan Pemerintah Daerah


Sudah cukup lama saya tidak berdiskusi soal kelembagaan pemerintah daerah, dan baru Selasa, 3 September 2013, saya memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan gagasan saya terkait penataan kelembagaan di daerah, di sebuah forum diskusi di Kota Bontang. Terus terang saya mempunyai ide yang berbeda dengan mainstream yang ada saat ini. Bisa jadi konsep saya yang keliru, namun bisa pula konsep yang berlaku sekarang yang harus ditinjau kembali.

Kebijakan penataan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan tentang kewenangan atau bidang urusan pemerintahan tertentu. Artinya, desain kelembagaan harus menyesuaikan desain tentang struktur kewenangan pemerintahan tersebut. Ada kalanya penyusunan model kelembagaan keliru menafsirkan struktur kewenangan, namun sangat mungkin terjadi kesalahan ada di hulu, yakni kesalahan format kewenangan itu sendiri.

Saat ini kita mengenal adanya konsep tentang kewenangan konkuren, atau kewenangan yang dibagi-bagi dan secara bersama-sama (concurrent) dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Konsep yang diperkenalkan oleh UU No. 32/2004 ini mengoreksi konsep lama tentang kewenangan sisa (residual) yang dibawa oleh UU No. 22/1999. Jika pada tahun 1999 kewenangan pusat adalah seluruh kewenangan yang tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, maka pada sejak 2004 bidang-bidang kewenangan pada setiap tingkatan pemerintah adalah sama, hanya berbeda pada skalanya sesuai pembagian yang diatur pada PP No. 38/2007. Sayangnya, pembagian urusan tadi agak sulit dioperasionalisasikan karena kurang konkrit, tidak terukur, dan kurang jelas batas-batas antara wewenang pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Oleh karenanya, hingga sekarangpun soal tumpang tindih, kekaburan, dan duplikasi kewenangan, tugas, dan penganggaran, masih saja menjadi issu klasik yang entah kapan akan ada penyelesaian yang tuntas.

Selain itu, kewenangan konkuren juga melahirkan model kelembagaan yang konkuren. Artinya, unit organisasi yang mengurusi bidang kewenangan tertentu ada di setiap jenjang pemerintahan. Jika di pusat ada Kementerian Pertanian, maka di provinsi maupun di kabupten/kota juga akan ada dinas pertanian. Sebuah daerah yang masuk kategori kota besar dengan lahan pertanian yang tidak signifikan-pun cenderung membentuk Dinas Pertanian. Hal ini diperparah dengan sistem tipologi daerah yang menentukan besaran perangkat daerah. Daerah yang masuk kategori “A” (nilai diatas 70), dapat membentuk maksimal 18 Dinas dan 12 Lembaga Teknis Daerah. Kecenderungan yang terjadi adalah memaksimalkan kuota yang diatur dalam PP No. 41/2007, atau sering dikenal dengan istilah pola maksimal. Meskipun ada, namun tidak banyak daerah yang dengan sengaja merampingkan besaran OPD-nya demi efisiensi sumber daya, kelancaran koordinasi, dan penajaman prioritas pembangunan pada issu-issu besar yang dihadapi. Karena kuotanya memang masih terbuka, memang tidak salah jika daerah mau membentuk kelembagaan apapun sesuai aspirasi yang berkembang di daerah.

Ketika model kelembagaan kita adalah concurrent institution tadi, mulailah timbul problem koordinasi. Sebagai contoh, apa sesungguhnya yang dilakukan Dinas Pertanian Provinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten? Bukankah obyeknya sama yakni para petani atau lahan pertanian? Jika sama obyeknya, mengapa program pemberdayaan petani dan pendayagunaan lahan pertanian harus dilakukan oleh lebih dari satu dinas pertanian? Hal yang sama berlaku pula untuk dinas kehutanan dan perkebunan, dinas perikanan, dinas pariwisata, dinas sosial, dinas pendidikan, dan yang lainnya.

Disisi lain, banyak fungsi atau urusan lintas daerah yang dilakukan secara piecemeal atau terpenggal-penggal, seperti fungsi ketahanan pangan, penanggulangan bencana, atau lingkungan hidup. Maksud saya, fungsi-fungsi tadi mestinya cukup dibentuk di provinsi saja untuk melayani seluruh kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi tersebut. Hal ini sesuai pula dengan kedudukan provinsi sebagai intermediary institution antara pusat dengan daerah (kabupaten/kota). Provinsi hanya menjalankan wewenang di tingkat regional, dan tidak perlu sampai ke wilayah lokalitas yang menjadi domain kabupaten/kota. Provinsi cukup fokus pada urusan-urusan yang berskala lintas daerah atau memiliki eksternalitas antar daerah.

Urusan ketahanan pangan, misalnya, bukanlah urusan individual kabupaten/kota. Rasanya aneh jika dua daerah yang bertetangga namun memiliki ketahanan pangan yang kontras, namun mereka tidak saling mempedulikan tetangganya atas nama otonomi daerah. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya telah terbangun sebuah sosok pemerintahan daerah yang egois (selfish local government). Begitu pula, bencana alam biasanya tidak terjadi mengikuti batas-batas administratif daerah, dan cenderung menimpa area yang melibatkan banyak daerah. Maka, penanganannyapun sebaiknya tidak sepotong-potong oleh daerah tertentu untuk lingkup wilayahnya sendiri. Demikian halnya soal lingkungan hidup. Kasus-kasus pencemaran air/udara/tanah, kerusakan hutan dan lahan, penanganan limbah beserta dampak ikutannya, dan sebagainya, adalah issu lintas daerah yang tidak mungkin hanya ditangani kabupaten/kota secara parsial. Kasus-kasus tadi membutuhkan penanganan yang lebih terpusat, koordinasi yang lebih cepat, dan pengambilan keputusan yang seragam. Maka, rasanya lebih tepat kelembagaan yang menangani urusan seperti itu dibentuk pada level provinsi.

Dengan model kelembagaan seperti itu, akan didapatkan beberapa kemanfaatan. Pertama, tentu akan sangat meningkatkan efisiensi dalam pembiayaan program/kegiatan instansi. Indikasi penganggaran ganda untuk urusan yang sama seperti berkembang saat ini dapat diminimalisir. Selain efisiensi anggaran, efisiensi kelembagaan juga akan sangat meningkat. Sebab, tidak perlu dibentuk lagi dinas/badan yang sama dengan struktur yang sama, tugas dan fungsi yang sama, hanya berbeda tingkatan saja. Kedua, dengan adanya efisiensi anggaran dan kelembagaan tadi, akan terhindarkan terjadinya overlap pelaksanaan tugas pokok hingga kegiatan antar instansi. Artinya, perangkat daerah bisa lebih fokus dalam merealisasikan tujuan dan target-target dari program yang dijalankan, sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Pada saat yang sama, problem koordinasi yang kerap menjadi momok dalam administrasi pemerintahan selama ini akan berkurang secara signifikan. Ketiga, secara sistemik akan terbangun sistem pemerintahan daerah yang terkonsolidasikan (consolidated local government), yang akan menggantikan fenomena fragmented local government seperti yang kita lihat selama ini, dimana pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seperti berebut kue yang sama. Dengan sistem yang terkonsolidasikan tadi, provinsi benar-benar akan memperhatikan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/walikota bukan lagi sebagai kompetitor bagi gubernur, melainkan entitas yang harus dilayani oleh gubernur beserta seluruh perangkatnya. Selfish local government juga akan berkurang karena kabupaten/kota hanya menjalankan fungsi sektoral yang berskala lokalitas.

Untuk dapat mewujudkan consolidated local government tadi, ada beberapa prakondisi yang harus dipenuhi. Pertama, tentu UU Pemerintahan Daerah harus diubah, terutama pada pengaturan tentang kewenangan. Konsep kewenangan konkuren boleh saja masih dipakai, namun tidak bersifat umum untuk semua bidang urusan dan kewenangan. Model atau pola hubungan kewenangan harus diubah, yakni kabupaten/kota hanya mengurusi urusan sektoral yang berskala lokal, sedangkan provinsi menjalankan urusan lintas sektor yang berskala regional. Adapun pemerintah pusat masih menjalankan seluruh bidang urusan sebagai implikasi dari negara kesatuan (unitary state).

Kedua, asas penyelenggaraan pemerintahan-pun berubah. Jika selama ini baik provinsi menjalankan asas desentralisasi dan dekonsentrasi sementara kabupaten/kota hanya menjalankan asas desentralisasi saja, maka dalam konsep yang saya tawarkan tadi provinsi hanya sebagai perangkat dekonsentrasi. Artinya, provinsi adalah wilayah administratif belaka dan gubernur hanyalah kepala wilayah semata. Sebagai kepala wilayah, maka gubernur dipilih oleh pemerintah pusat dan secara otomatis berkedudukan selaku wakil pemerintah. Tidak seperti sekarang dimana gubernur memiliki double functions selaku kepala daerah dan selaku wakil pemerintah (bukan kepala wilayah). Ini menurut saya adalah konsep yang rancu dan salah kaprah, karena “wakil pemerintah” berbeda kedudukannya dengan “kepala wilayah”. Padahal, provinsi adalah pelaksana asas dekonsentrasi, yang berarti gubernur adalah kepala wilayah. Sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi, gubernur semestinya dilengkapi dengan perangkat dekonsentrasi. Sementara selaku wakil pemerintah, gubernur tidak memiliki perangkat pendukungnya. Itulah sebabnya, tugas-tugasnya selaku wakil pemerintah selama ini hanya “dititipkan” pada SKPD yang notabene adalah pelaksana asas desentralisasi.

Ketiga, jika ide ini disetujui, maka PP No. 37 dan 41 tahun 2007 secara otomatis harus dicabut. Khusus untuk pengaturan aspek kelembagaan, tidak perlu lagi menggunakan kategorisasi besaran OPD dan kuota pembentukan SKPD di kabupaten/kota. Justru seluruh urusan sektoral berskala lokal harus diwadahi dalam satuan kerja tertentu, meski tidak harus satu urusan dijalankan satu lembaga. Prinsip efisiensi tetap harus mendapat perhatian, sehingga penggabungan beberapa urusan dalam satu lembaga tetap menjadi nilai tambah, terutama dalam kerangka reformasi birokrasi. Sementara untuk provinsi yang menjalankan asas dekonsentrasi, maka dinas daerah dan lembata teknis daerah yang ada saat ini harus berubah menjadi field administration, yakni instansi vertikal. Namun mengingat fungsinya yang hanya bersifat koordinasi, pengawasan, pembinaan, dan pengendalian (korwasbindal), maka tidak perlu dibentuk secara sektoral, melainkan cukup dalam bentuk perumpunan, mirip dengan Asisten Sekda saat ini. Dalam hal ini, pemerintah pusat juga harus menghilangkan ego sektoralnya dengan tidak memaksakan provinsi membentuk instansi vertikal sebanyak kementerian di pusat ditambah fungsi-fungsi lainnya.

Apa yang saya sampaikan disini hanyalah sebuah ide spontan yang masih membutuhkan pendalaman dan penajaman. Oleh karenanya, sangat boleh jadi ide ini masih sangat prematur dan memiliki feasibility yang rendah. Namun sebagai sebuah alternatif dalam mengurai permasalahan menahun di daerah, saya yakin ide ini dapat dijadikan pijakan logis untuk diangkat ke level pembahasan yang lebih tinggi dan lebih formal. Mumpung draft revisi UU No. 32/2004 belum final, ada baiknya para legislator, penentu kebijakan, akademisi, juga kalangan LSM, memikirkan lagi terobosan dan inovasi pemerintahan daerah, agar bangsa ini tidak terjebak pada kegemaran baru membuat UU untuk kemudian merevisinya dalam jangka waktu relatif singkat. UU yang berkualitas, tentunya memiliki umur yang relatif panjang, dan seminimal mungkin menghadapi gugatan dan perlawanan dari publik. Semoga UU Pemda yang baru dapat bertahan lama seperti UU No. 5/1974 namun memiliki nuansa reform seperti UU No. 22/1999.

Jakarta, 13 September 2013

Tidak ada komentar: