Jika kita ingin menemukan tempat
yang paling langka senyuman, barangkali itu bukan di ruang pengadilan, atau di
ruang interogasi penyidik hukum, atau di meja operasi rumah sakit, atau di
laboratorium penelitian nuklir, atau dalam sidang promosi doktor. Sangat boleh
jadi tempat yang sama sekali tidak ada senyuman, sapaan, tatapan, dan ucapan
terima kasih adalah gerbang tol, yakni saat kita melakukan pembayaran tol.
Paling tidak itu adalah pengalaman pribadi saya. Sebagai pengguna jalan tol
hampir setiap hari selama empat tahun terakhir, saya belum sekalipun menjumpai
petugas kolektor yang mengucapkan “selamat pagi”, “apa kabar”, atau bahkan
sekedar senyum-pun tidak pernah saya temukan. Yang banyak terjadi justru mereka
seperti robot yang bekerja berdasar sistem mekanik yang telah disetel secara
kaku, dingin, dan tidak ada sentuhan humanisme sama sekali.
Padahal, pintu-pintu pembayaran
tol adalah ujung tombak atau front-line dari
pelayanan jalan tol, sehingga sudah selayaknya ditempatkan petugas yang
terbaik, tercantik, tersopan, dan mereka-mereka yang menjiwai spirit costumer first. Saya tidak tahu apakah
PT Jasa Marga selaku operator jalan tol memang tidak memiliki orientasi
kepuasan pelanggan, tidak memandang perlu adanya maklumat dan janji pelayanan,
serta tidak memiliki program capacity
building bagi karyawannya untuk membangun service excellence di perusahannya? Rasanya mustahil perusahaan
sebesar PT Jasa Marga tidak memiliki budaya pelayanan yang baik serta
membiarkan praktek-praktek pelayanan yang menurunkan kredibilitas perusahaan.
Namun dari fakta dan realita di lapangan, pertanyaan-pertanyaan tadi memang
tidak terhindarkan, yang ujung-ujungnya berubah menjadi keraguan terhadap
komitmen perusahaan terhadap pelanggannya.
Selain tiadanya senyuman dan
sapaan, saya pernah dua kali dikecewakan oleh petugas kolektor. Pertama terjadi
di ruas tol Cileunyi. Waktu itu saya terburu-buru menuju Jakarta, dan sekitar
pukul 05.30 saya sudah berada di pintu pembayaran tol. Saya menyodorkan uang Rp
20 ribu, dan menurut saya petugas tadi teramat lama menyiapkan pengembalian,
sampai akhirnya saya tinggalkan tampat tersebut sambil mengutuk cara kerja
orang tadi yang saya anggap sengaja mengulur waktu untuk mengambil keuntungan
dengan cara yang tidak terhormat. Kasus kedua terjadi di ruas tol
Jakarta-Tangerang. Di jam-jam padat (sekitar jam 07.00) saya lihat dengan mata
kepala sendiri di tangan kirinya memegang HP dan hanya melayani dengan tangan
kanan. Saya sudah ingatkan untuk tidak bermain HP saat bertugas, namun oknum
berinisial AT tadi sepertu cuek dan tetap asyik dengan dirinya sendiri. Inipun
membuat saya geram, mengapa manajemen perusahaan bisa meloloskan orang-orang
seperti itu untuk menghadapi ribuan pelanggan?
Perusahaan ini menurut saya sudah
mengalami pengeroposan dan pembusukan. Maka wajar jika Dahlan Iskan pernah
begitu gemas hingga mengambil alih peran petugas pintu tol dan membebaskan
ratusan kendaraan dari kewajiban berhenti dan membayar “setoran”. Faktanya,
pintu-pintu tol adalah sumber kemacetan yang terparah dan menimbulkan situasi bottle-neck yang teramat kronis. Ketika
Dahlan Iskan “beraaksi”, bisa dibayangkan betapa para pengguna jalan meresa
terbebas dari “perangkap” harian yang sedikit banyak menaikkan kadar stress
para pengendara. Saat menghadapi situasi yang saya ceritakan diatas, sayapun
berharap ada Dahlan Iskan yang lain yang bisa seketika menggantikan peran
petugas yang inkompeten tadi. Saat itu, pikiran saya sempat melayang ke masa
lalu ketika di televisi ada iklan vitamin C yang diperankan oleh Elma Theana.
Dia berperan sebagai petugas jalan tol yang menyapa secara sangat ramah
disertai senyuman manisnya, bahkan kemudian menawarkan vitamin C tadi agar si
pengendara tetap bisa fokus dan tidak mengantuk selama berkendara. Bagi saya,
sosok seperti Elma Theana itulah yang diinginkan para pengendara, bukannya
petugas yang terlihat suntuk penuh masalah, dan melayani hanya dengan
tangannya, bukan dengan hatinya.
Saya bertanya dalam hati, mengapa
otoritas jalan tol tidak bisa menjadikan iklan Elma Theana tadi sebagai
inspirasi untuk memperbaiki service
delivery perusahaan? Meski bukan inovasi yang orisinal atau hanya merupakan
adopsi/replikasi dari ide pihak lain, tidak ada salahnya standar Elma Theana
dalam melayani pengguna jalan tadi dijadikan sebagai standar baku (standar operationg procedure) pelayanan
di seluruh pintu tol di Indonesia. Rasanya, tidak ada satupun alasan yang bisa
membenarkan dan/ata mempertahankan standar pelayanan yang ada saat ini.
Otoritas jalan tol harus segera melakukan transformasi perusahaan, bukan lagi
semata-mata sebagai service provider untuk
infrastruktur fisik, namun juga sebagai world
class operator dalam pelayanan jalan tol lainnya.
Selaras dengan pembenahan sisi soft system berupa pemberian human touch dalam pelayanan, perlu pula
dilakukan peningkatan profesionalisme manajerial, khususnya soal transparansi
pengelolaan uang tol. Sebagai pengguna jalan tol, selama ini rasanya saya tidak
pernah tahu berapa pemasukan total PT Jasa Marga setiap tahun dari pembayaran
tariff tol. Memang secara pribadi ini tidak ada urusan dengan saya, namun
berbagai peraturan perundangan seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, UU
Pelayanan Publik, dan sejenisnya, memberi kewajiban kepada unit-unit pelayanan
publik pemerintah maupun swasta untuk memberi akses yang luas bagi publik untuk
mengetahui hal-hal terkait kepentingan publik. Maka, adalah hal yang normal
jika setiap tahun ada laporan tentang jumlah pemasukan dan penggunaan dana hasil
koleksi pungutan tol. Ini adalah wujud akuntabilitas pengelola tol, sehingga
pada suatu ketika dapat diwujudkan prinsip good
toll-road governance.
Balikpapan, 4 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar