Selasa, 03 September 2013

Mencari Senyum


Jika kita ingin menemukan tempat yang paling langka senyuman, barangkali itu bukan di ruang pengadilan, atau di ruang interogasi penyidik hukum, atau di meja operasi rumah sakit, atau di laboratorium penelitian nuklir, atau dalam sidang promosi doktor. Sangat boleh jadi tempat yang sama sekali tidak ada senyuman, sapaan, tatapan, dan ucapan terima kasih adalah gerbang tol, yakni saat kita melakukan pembayaran tol. Paling tidak itu adalah pengalaman pribadi saya. Sebagai pengguna jalan tol hampir setiap hari selama empat tahun terakhir, saya belum sekalipun menjumpai petugas kolektor yang mengucapkan “selamat pagi”, “apa kabar”, atau bahkan sekedar senyum-pun tidak pernah saya temukan. Yang banyak terjadi justru mereka seperti robot yang bekerja berdasar sistem mekanik yang telah disetel secara kaku, dingin, dan tidak ada sentuhan humanisme sama sekali.

Padahal, pintu-pintu pembayaran tol adalah ujung tombak atau front-line dari pelayanan jalan tol, sehingga sudah selayaknya ditempatkan petugas yang terbaik, tercantik, tersopan, dan mereka-mereka yang menjiwai spirit costumer first. Saya tidak tahu apakah PT Jasa Marga selaku operator jalan tol memang tidak memiliki orientasi kepuasan pelanggan, tidak memandang perlu adanya maklumat dan janji pelayanan, serta tidak memiliki program capacity building bagi karyawannya untuk membangun service excellence di perusahannya? Rasanya mustahil perusahaan sebesar PT Jasa Marga tidak memiliki budaya pelayanan yang baik serta membiarkan praktek-praktek pelayanan yang menurunkan kredibilitas perusahaan. Namun dari fakta dan realita di lapangan, pertanyaan-pertanyaan tadi memang tidak terhindarkan, yang ujung-ujungnya berubah menjadi keraguan terhadap komitmen perusahaan terhadap pelanggannya.

Selain tiadanya senyuman dan sapaan, saya pernah dua kali dikecewakan oleh petugas kolektor. Pertama terjadi di ruas tol Cileunyi. Waktu itu saya terburu-buru menuju Jakarta, dan sekitar pukul 05.30 saya sudah berada di pintu pembayaran tol. Saya menyodorkan uang Rp 20 ribu, dan menurut saya petugas tadi teramat lama menyiapkan pengembalian, sampai akhirnya saya tinggalkan tampat tersebut sambil mengutuk cara kerja orang tadi yang saya anggap sengaja mengulur waktu untuk mengambil keuntungan dengan cara yang tidak terhormat. Kasus kedua terjadi di ruas tol Jakarta-Tangerang. Di jam-jam padat (sekitar jam 07.00) saya lihat dengan mata kepala sendiri di tangan kirinya memegang HP dan hanya melayani dengan tangan kanan. Saya sudah ingatkan untuk tidak bermain HP saat bertugas, namun oknum berinisial AT tadi sepertu cuek dan tetap asyik dengan dirinya sendiri. Inipun membuat saya geram, mengapa manajemen perusahaan bisa meloloskan orang-orang seperti itu untuk menghadapi ribuan pelanggan?

Perusahaan ini menurut saya sudah mengalami pengeroposan dan pembusukan. Maka wajar jika Dahlan Iskan pernah begitu gemas hingga mengambil alih peran petugas pintu tol dan membebaskan ratusan kendaraan dari kewajiban berhenti dan membayar “setoran”. Faktanya, pintu-pintu tol adalah sumber kemacetan yang terparah dan menimbulkan situasi bottle-neck yang teramat kronis. Ketika Dahlan Iskan “beraaksi”, bisa dibayangkan betapa para pengguna jalan meresa terbebas dari “perangkap” harian yang sedikit banyak menaikkan kadar stress para pengendara. Saat menghadapi situasi yang saya ceritakan diatas, sayapun berharap ada Dahlan Iskan yang lain yang bisa seketika menggantikan peran petugas yang inkompeten tadi. Saat itu, pikiran saya sempat melayang ke masa lalu ketika di televisi ada iklan vitamin C yang diperankan oleh Elma Theana. Dia berperan sebagai petugas jalan tol yang menyapa secara sangat ramah disertai senyuman manisnya, bahkan kemudian menawarkan vitamin C tadi agar si pengendara tetap bisa fokus dan tidak mengantuk selama berkendara. Bagi saya, sosok seperti Elma Theana itulah yang diinginkan para pengendara, bukannya petugas yang terlihat suntuk penuh masalah, dan melayani hanya dengan tangannya, bukan dengan hatinya.

Saya bertanya dalam hati, mengapa otoritas jalan tol tidak bisa menjadikan iklan Elma Theana tadi sebagai inspirasi untuk memperbaiki service delivery perusahaan? Meski bukan inovasi yang orisinal atau hanya merupakan adopsi/replikasi dari ide pihak lain, tidak ada salahnya standar Elma Theana dalam melayani pengguna jalan tadi dijadikan sebagai standar baku (standar operationg procedure) pelayanan di seluruh pintu tol di Indonesia. Rasanya, tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan dan/ata mempertahankan standar pelayanan yang ada saat ini. Otoritas jalan tol harus segera melakukan transformasi perusahaan, bukan lagi semata-mata sebagai service provider untuk infrastruktur fisik, namun juga sebagai world class operator dalam pelayanan jalan tol lainnya.

Selaras dengan pembenahan sisi soft system berupa pemberian human touch dalam pelayanan, perlu pula dilakukan peningkatan profesionalisme manajerial, khususnya soal transparansi pengelolaan uang tol. Sebagai pengguna jalan tol, selama ini rasanya saya tidak pernah tahu berapa pemasukan total PT Jasa Marga setiap tahun dari pembayaran tariff tol. Memang secara pribadi ini tidak ada urusan dengan saya, namun berbagai peraturan perundangan seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, dan sejenisnya, memberi kewajiban kepada unit-unit pelayanan publik pemerintah maupun swasta untuk memberi akses yang luas bagi publik untuk mengetahui hal-hal terkait kepentingan publik. Maka, adalah hal yang normal jika setiap tahun ada laporan tentang jumlah pemasukan dan penggunaan dana hasil koleksi pungutan tol. Ini adalah wujud akuntabilitas pengelola tol, sehingga pada suatu ketika dapat diwujudkan prinsip good toll-road governance.

Balikpapan, 4 September 2013

Tidak ada komentar: