Nah,
kali ini saya ingin menulis tentang Bus Trans BSD. Inipun adalah benda mati,
yang bisa berjalan karena dijalankan oleh mesin dan dikemudikan oleh seorang
sopir. Namun saya memandang dengan mata batin saya bahwa bus ini hidup dan
menjadi bagian dari hidup dan karir saya. Maka, tidak fair rasanya jika saya mengabadikan memori bersama Kamar B-315 melalui
tulisan, sementara saya tidak memberi perhatian yang sama dengan feeder bus-way ini.
Meski
terkesan agak lebay, namun harus saya
katakan bahwa bus yang setia menunggu dan mengantarkan saya dari rumah ke
kantor dan sebaliknya setiap hari ini telah menolong saya dalam banyak hal. Pertama, bus ini telah menghindarkan
saya dari gencetan ribuan orang yang berdesak-desakan secara paksa dan kurang
manusiawi di KRL Jabodetabek jurusan Serpong – Tanah Abang. Ya, sebelum
mengenal Bus Trans BSD, saya adalah pengguna jasa kereta eks densya (bahasa Jepang yang artinya
kereta api) ini. Meskipun keretanya bagus dan bersih, namun kapasitas yang
terlalu kecil dibanding jumlah penumpang yang selalu membeludak, membuat saya
tidak nyaman bahkan kadang seperti tersiksa. “Siksaan” kereta itu kini telah
hilang seiring hadirnya Bus Trans BSD, karena saya selalu dapat tempat duduk di
bus ini. Saya tidak pernah lagi mengeluh seperti dulu bahwa badan saya remuk
dan gepeng seperti dendeng karena gencetan kaum komuter yang tak terhingga jumlahnya.
Kedua, naik Bus Trans BSD ini memberi
saya waktu-waktu produktif yang bagi saya tidak dapat diukur atau diganti
dengan nilai nominal. Di awal-awal kenalan dengan bus ini saya berpikir akan
memanfaatkan waktu untuk tidur sebagai ganti jam tidur saya yang sangat kurang.
Namun ternyata, saya hampir tidak pernah ngantuk selama berada di dalam bus
ini. Ini saja sudah sebuah keanehan bagi saya karena biasanya saya selalu
ngantuk dan tidur ketika naik mobil. Menyetir bagi saya adalah satu-satunya
cara atau obat untuk tidak tertidur ketika berkendara. Nah, karena saya sangat
jarang mengantuk di bus, saya mencoba menyalakan laptop saya, dan akhirnya keluarlah tulisan-tulisan ringan saya,
termasuk tulisan tentang Bus Trans BSD ini. Paling tidak, satu tulisan pendek
dan santai bisa saya hasilkan dalam satu kali perjalanan bersama Bus Trans BSD
ini. Situasi seperti inilah yang saya sebut sebagai waktu-waktu produktif tadi.
Terus
terang, sudah sejak lama saya punya obsesi untuk menuliskan apapun yang
terlintas di benak saya, apapun isinya. Namun sejak lama pula saya tidak bisa
merealisasikan mimpi tersebut gara-gara ke kantor naik mobil pribadi atau
menggunakan KRL. Saya sadar bahwa selama ini saya kehilangan waktu produktif
antara 2 hingga 4 jam sehari, yang terbuang sia-sia di belantara macetnya lalu
linats Jakarta. Maka, Bus Trans BSD seolah menjadi dewa penolong atau “juru
selamat” bagi saya. Kemacetan sekarang bukan lagi momok yang menyebalkan, namun
justru situasi yang bersahabat bahkan saya pernah berharap lalu lintas lebih
macet agar saya bisa menulis lebih banyak.
Bagi
saya, produktivitas tidak harus terkait dengan tugas pokok di kantor. Menulis
lintasan ide, merekam pengalaman, memotret peristiwa kecil di sekitar kita,
mencatat banyak fenomena-fenomena tak terduga, kadang menjadi sebuah
“keajaiban”. Mengapa? Yang paling nyata, tanpa terasa tiba-tiba tulisan kita
sudah terkumpul cukup banyak, dan jika dikompilasi bisa mencapai ratusan
halaman. Jelas bukan hal sepele membuat tulisan ratusan halaman secara santai
dan “sambilan”. Tak terasa pula, ternyata ratusan ide pula yang pernah singgah
di kepala kita. Jelas ini sebuah rahmat teramat besar yang wajib disyukuri, dan
tidak mungkin kita ketahui jika tidak terpahat dalam tinta emas tulisan kita.
Ketiga, naik Bus Trans BSD juga sangat
menghemat biaya transportasi dan sangat convenience
(nyaman). Hemat, karena tarifnya hanya Rp. 14 ribu sekali jalan, atau Rp.
28 ribu pulang pergi. Ditambah ojek dari/ke rumah Rp. 16 ribu, maka total
ongkos yang saya keluarkan dalam 1 hari hanya Rp. 44 ribu. Dibanding dengan
moda KRL, total ongkos yang saya butuhkan dalam 1 hari adalah Rp. 69 ribu,
dengan perincian ojeg dari/ke rumah Rp. 16 ribu, angkot menuju/pulang dari
stasiun Serpong Rp. 8 ribu, tiket kereta pp Rp. 5 ribu, dan ojeg dari stasiun
Tanah Abang ke kantor pp Rp. 40 ribu. Artinya, saya berhemat Rp. 25 ribu setiap
harinya dengan naik bus dibanding jika saya naik KRL. Apalagi kalau harus pakai
jasa taxi argo setiap hari, wow …
bisa kacau urusan dapur. Selain hemat, saya juga merasa nyaman karena saya
cukup menunggu Bus Trans BSD di halte terdekat dari rumah saat berangkat, dan
turun di depan komplek perumahan saat pulang. Lebih nyaman lagi, bus ini
melewati persis depan kantor saya, LAN Jl. Veteran, Jakarta.
Satu
hal lagi yang terakhir, pergi dan
pulang kerja dengan kendaraan umum (Bus Trans BSD) membuat saya merasa lebih
merakyat dan mengikis arogansi. Pada awalnya saya merasa malu harus berdiri
berlama-lama menunggu bus, sementara teman-teman yang lain terkesan lebih
bergengsi dan “terhormat” dengan mengendarai mobilnya (pribadi maupun mobil
dinas). Pada saat mereka lewat di depan saya, seolah-olah saya berada satu atau
dua level dibawah kelas sosial mereka, apalagi jika mereka lewat begitu saja
seperti berjalan di ruang hampa. Saya kemudian berintrospeksi, ketika saya
mengendarai mobil dan ada kawan yang berdiri di pinggir jalan, mungkin mereka
akan punya pikiran yang sama seperti yang saya pikirkan. Maka saya berjanji
jika hal itu terjadi, saya akan datangi kawan tadi, saya tawarkan untuk
menumpang jika searah, dan saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya akan
pulang mendahului dia. Namun sekarang saya sudah terbiasa dengan situasi dan
perasaan seperti itu. Saya justru lebih bahagia hidup membaur dengan banyak
orang yang kadang harus berlarian mengejar pintu bus dibuka, dan berebut masuk
kedalamnya. Saya juga gembira bahwa ditengah “ketidaknyamanan” tadi saya tidak
mengeluh dan bahkan menemukan kenyamanan baru.
Ternyata,
banyak sekali yang bisa disyukuri dari situasi yang sekilas tidak menyenangkan.
Kemacetan, menunggu bus terlalu lama, berlari-lari dan berebut dengan penumpang
lain, kadang harus berdiri bahkan terjepit dibawah aroma keringat yang kurang
bersahabat, dan seterusnya. Itulah seni hidup yang sesungguhnya, yang tidak
pernah didapatkan oleh orang-orang yang telah memiliki kenyamanan dan
kenikmatan tersendiri: mobil ber-AC, diantar sopir, bensin-pun dari kantor
pula, hehe … Dalam seni hidup tadi,
kita dipaksa untuk mengubah cara pandang terhadap dinamika dan realita
kehidupan. Jika selama ini kita melihat kekurangan dalam satu sisi kehidupan lebih
sebagai manifestasi gelas setengah kosong,
maka sekarang kita melihat kesulitan, keterbatasan, dan ketidaknyamanan dalam
berbagai segi kehidupan justru dari perspektif yang positif atau gelas setengah isi.
Maka,
tidak ada yang pantas saya katakan kecuali berterima kasih secara tulus kepada
Bus Trans BSD, beserta seluruh crew-nya.
Jika suatu ketika saya menjadi orang penting di institusi saya, atau jika saya
mampu menciptakan prestasi penting dan fenomenal, atau jika saya mendapat
kesempatan besar berkontribusi kepada Republik, maka tidak mungkin saya lupa
jasa Bus Trans BSD, sebagaimana saya juga tidak akan pernah lupa jasa Kamar
B-315. Mengambil analogi pewayangan, Bus Trans BSD dan Kamar B-315 barangkali
adalah Kawah Candradimuka bagi saya.
Meskipnn “kawah”nya kecil dan tidak membakar, tetap saja adalah kawah yang
memaksa saya menjadi lebih kuat dari kondisi saat sebelumnya. Sekali lagi,
terima kasih Bus Trans BSD …
Jakarta,
25 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar