Mendapat kesempatan menempuh
pendidikan master (S2) di negara maju seperti Jepang, adalah sebuah
keberuntungan yang luar biasa bagi seorang PNS yang kebetulan berprofesi
sebagai peneliti seperti saya. Sejak menempuh Restorasi Meiji, Jepang
menerapkan kewajiban belajar bagi seluruh warganya, yang pada gilirannya
menjadikan Jepang sebagai bangsa yang sangat dihormati, terutama dalam hal
kemajuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern.
Itulah sebabnya, ketika pertama kali
menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit tanggal 27 Februari 2002, saya
menatap masa depan dengan sangat optimis. Tekad terbesar dalam benak saya
adalah belajar keras demi menguasai ilmu sebanyak mungkin. Adalah sebuah
kesia-siaan jika dunia akademik di Jepang tidak kita manfaatkan sebagai “kawah
candradimuka” dalam membangun kapasitas intelektual dan daya saing individual
yang mumpuni.
Namun, tekad seperti itu tidaklah mudah untuk
diwujudkan. Perbedaan budaya dan penguasaan bahasa Jepang yang minim, menjadi
kendala terberat pada masa-masa awal. Meski saya menempuh studi di kelas
internasional yang menggunakan bahasa Inggris, namun kebutuhan terhadap bahasa
Jepang tetap tidak terelakkan. Disamping banyak sekali publikasi berbahasa Jepang,
komunikasi diluar kampus seperti mencari apartemen, berbelanja dan negosiasi
harga, memilih menu makanan halal di restoran, menanyakan arah jalan, atau
hanya sekedar bertegur sapa dengan tetangga, mutlak harus dilakukan dalam
bahasa Jepang. Selain itu, rambu-rambu di jalanan, pertokoan atau gedung-gedung
pemerintah lebih dominan menggunakan huruf Hiragana,
Katakana, atau bahkan Kanji. Pola-pola interaksi sosial antar
individu dan nilai-nilai yang melingkupinya, juga relatif berbeda dibanding
pola perkawanan, kekerabatan, atau hubungan kedinasan di Indonesia . Jika
kita tidak siap menghadapi berbagai perbedaan kultur tadi, akan terbuka peluang
terjadinya kegamangan psikologis, bahkan goncangan budaya (cultural shock).
Meskipun ancaman cultural shock cukup besar, namun hampir tidak ada mahasiswa Indonesia yang
gagal studi karena alasan ini. Mayoritas mahasiswa Indonesia di Jepang justru
sangat menikmati kehidupan di lingkungan barunya. Beberapa faktor dapat
menjelaskan hal ini. Pertama,
lingkungan kampus menyodorkan iklim kompetisi yang sehat dan menantang.
Berkawan dan berdiskusi dengan mahasiswa dari berbagai negara, sering
merangsang adrenalin kita untuk membuktikan bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang
pantas dilihat dengan mata sebelah. Dan nyatanya, prestasi anak-anak “tempe ” justru sering
melampaui generasi “chip” Eropa, Amerika, dan Jepang sendiri. Kedua, sikap dan dukungan para Sensei (guru, professor, pembimbing)
sangat positif dan egaliter. Meskipun mereka diposisikan pada tempat yang
terhormat oleh mahasiswanya, namun “birokrasi kampus” yang menjadi salah satu
momok bagi mahasiswa pascasarjana di Indonesia, tidak nampak di kehidupan para
pendekar ilmu di Jepang. Pembimbing akademik saya, Prof. Dr. Kimura Hirotsune,
salah seorang Indonesianist terkemuka, adalah seorang yang memperlakukan
mahasiswanya sebagai partner dan sahabat. Di waktu-waktu libur, saya dan
mahasiswa dibawah supervisi beliau, sering diajak untuk jalan-jalan menelusuri
sisi-sisi lain Jepang. Bahkan setelah tidak lagi menjadi mahasiswanya, beliau
masih terus memberikan info-info penting tentang perkembangan teori-teori
kontemporer. Ketiga, fasilitas
perpustakaan yang sedemikian lengkap dan canggih, membuat kita betah duduk
hingga larut malam menelusuri dunia filsafat keilmuan.
Diluar kampus, kami juga mendapati suasana
kehidupan yang sangat natural dan nyaman. Hubungan dengan international colleague adalah salah satu yang terpenting. Baik di
lingkungan kampus maupun asrama, interaksi dan komunikasi lintas budaya adalah
keniscayaan harian. Hal ini menjadi jalur informal bagi mahasiswa untuk berbagi
pengalaman, bertukar pikiran, dan menjalin persahabatan. Sementara hubungan
antar mahasiswa Indonesia di Jepang juga terjalin intensif. Forum pertemuan
rutin seperti pengajian, arisan, atau rapat-rapat membahas kepetingan bersama,
terlaksana melalui wadah organisasi KMI (Keluarga Muslim Indonesia), PPI
(Perhimpunan Pelajar Indonesia ),
kelompok olahraga, atau wadah organisasi lainnya. Saking intensifnya pertemuan dengan sesama perantauan, sering tidak
terasa bahwa kami sedang berada di belahan bumi lainnya. Satu hal yang patut
diacungi dua jempol untuk mahasiswa Indonesia di Jepang, mereka tidak hanya
berpikir bagaimana menyelesaikan studi, namun juga turut melakukan promosi
terhadap kekayaan budaya Indonesia melalui ajang Festival Indonesia setiap
tahun, serta promosi hasil riset melalui Scientific
Meeting baik pada level komisariat (wilayah kerja PPI) maupun level
nasional (seluruh komisariat). Keluarga Indonesia juga sering menyelenggarakan bazaar
makanan dan souvenir khas Indonesia, mengikuti program home-stay (tinggal beberapa hari di rumah keluarga Jepang),
memberikan ceramah tentang Indonesia kepada murud-murid SD, SMP dan SMA di
Jepang, dan sebagainya.
Dinamika kehidupan dalam dan luar kampus
seperti diatas telah menjadi prasyarat terpenting bagi keberhasilan dan
kenyamanan duta-duta bangsa dalam prosesi ngangsu
kawruh di sumur ilmu bernama Jepang. Ilmu yang diperoleh, tentu saja
diharapkan dapat dikontribusikan bagi pembangunan bangsa guna memperkecil gap /
ketertinggalan dari negara maju. Artinya, setelah “turun gunung” dari padepokan
modern di Jepang, para cantrik atau alumni justru memikul tanggungjawab yang
lebih besar untuk mendarmabaktikan ilmunya.
Bekal ilmu dari Negeri Sakura sendiri
sebenarnya tidak cukup. Selain masa studi yang terbatas, perkembangan ilmu juga
sangat cepat dan progresif, sementara persoalan di tengah masyarakat selalu
bergerak dinamis. Oleh karena itu, hal-hal yang bersifat non-akademik juga
harus dioptimalkan sebagai leverage
factor transformasi perubahan dan pembangunan nasional. Salah satu hal yang
dapat dijadikan sebagai leverage factor
adalah semangat kebatinan bangsa Jepang terhadap nilai-nilai kedisiplinan,
kerja keras, loyalitas bulat, totalitas pengabdian, pantang menyerah dan rela
berkorban. Sayangnya, nilai filosofis yang tertuang dalam istilah nihon kokoro ini sudah relatif berkurang
di kalangan generasi muda. Gejala hedonisme mulai merebak seiring dengan
lunturnya semangat kebangsaan sebagai sebuah nation-state. Westernisasi dewasa ini merupakan fenomena yang amat
kental dan mudah diamati di Jepang.
Ditengah redupnya semangat nihon kokoro, Jepang tetaplah sebuah bangsa yang memiliki obsesi
amat kuat untuk menjadi yang terbaik. Hal ini antara lain dapat dilihat dari
pencanangan proyek-proyek ambisius seperti kereta api magnetik tercepat di
dunia (Shinkansen), program ruang
angkasa, dan sebagainya. Bahkan tanpa ragu-ragu, di beberapa gerbong Shinkansen terpampang dengan jelas
kalimat “Ambitious Japan”. Tentu hal
ini tidak dimaksudkan untuk menyombong, namun lebih sebagai upaya memotivasi
seluruh lapisan masyarakat Jepang agar selalu menjadi bangsa Ichiban (nomor 1).
Satu hal lagi yang patut kita kembangkan dari
budaya Jepang adalah tradisi inovasi dalam lingkungan pekerjaan. Tradisi
inovasi sudah lama diterapkan di berbagai
perusahaan multi nasional (MNCs) seperti Toyota
dan NipponExpress. Disini, inovasi ditempuh melalui upaya pemberdayaan karyawan
yang disebut Teian Seido. NipponExpress sendiri sudah menerapkan Teian Seido sejak
tahun 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990. Sementara di Toyota, setiap tahun
ada sekitar 60.000-an “teian”
(ide/gagasan) dari pegawai untuk perbaikan dari setiap unit kerja seperti
produksi dan sebagainya. Setiap “teian”
yang diterima akan dihargai dengan reward antara ¥ 500 hingga ¥ 200.000,
tergantung dari nilai gagasan tersebut.
Paparan diatas
menggambarkan betapa banyak pelajaran yang dapat diperoleh selama era menempuh
studi di Jepang. Bukan hanya ilmu-ilmu formal dan teori-teori terbaru saja yang
dapat kita rengkuh, namun juga basis filosofis yang telah mengantarkan Jepang
sebagai negara Asia paling modern dan disegani. Dalam konteks hubungan
diplomasi RI – Jepang yang ke-50 tahun, sudah sepantasnya jika kita semua
berusaha untuk terus-menerus meningkatkan kualitas hubungan kedua bangsa demi
kemajuan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar