Di berbagai media, akhir-akhir
ini diramaikan oleh berita penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil).
Setelah tiga tahun dilakukan moratorium, akhirmya keran untuk menjadi salah
satu profesi yang paling diminati ini dibuka kembali. Hal yang menggembirakan
adalah bahwa penerimaan kali ini sudah didukung dengan perangkat teknologi
seperti pendaftaran secara online,
dan juga test dengan CAT (computer
assisted test) yang bisa memberikan skor test tertulis secara cepat dan
akurat, hanya dalam hitungan menit setelah test selesai.
Terobosan-terobosan seperti ini
dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya KKN seperti jual beli
soal, janji untuk meloloskan, kesepakatan terselubung, dan sebagainya. KKN
dalam penerimaan CPNS sendiri selama ini relatif marak karena rendahnya
transparansi sejak penerimaan berkas hingga pengumuman akhir. Akuntabilitas
penyelenggara juga sangat lemah yang antara lain terbaca dari banyaknya
kasus-kasus penyimpangan di berbagai daerah dan instansi. Test masuk PNS seolah
menjadi sebuah judi karena tidak ada jaminan peserta seleksi yang pintar dan
berperilaku baik akan diterima, sementara yang kurang secara intektialitas dan
perilakunya akan tertolak. Oleh karena itu, meskipun sistem online dan CAT juga masih ada banyak
kekurangan, namun kita tetap pantas memberi apresiasi sebagai wujud adanya
inovasi dalam sistem kepegawaian khususnya dan sistem administrasi negara pada
umumnya.
Setiap instansi seperti berlomba
mendapatkan generasi muda terbaik melalui serangkaian test yang berat dan
kompetitif. Hal ini masuk akal mengingat merekrut pegawai adalah urusan jangka
panjang yang akan sangat menentukan prestasi dan prestise organisasi dimasa
depan. Kesalahan menemukan kader terbaik akan menimbulkan efek laksana salah
makan obat: penyakit lama tidak sembuh namun justru timbul banyak keluhan baru.
Atas dasar kehati-hatian agar tidak salah pilih itulah, kemudian diciptakan
instrumen seleksi yang sangat ketat. Bayangkan saja, seorang pelamar harus mengikuti
beragam jenis test mulai seleksi administrasi, TKD (Tes Kompetensi Dasar), TKB
(Tes Kompetensi Bidang), dan dilanjutkan dengan test Bahasa Inggris, Psikotest,
dan wawancara. Setiap instansi masih bisa menambahkan jenis test lain sesuai
kebutuhan, misalnya test karya tulis (essay),
praktek, dan sebagainya.
Bagi saya pribadi, aneka ragam
test tadi sah-sah saja dilakukan, namun tidak perlu didesain dengan tingkat
kesulitan yang tinggi. Sebab, instansi pemerintah tidak sedang mencari
seseorang yang sudah “jadi”, dalam arti telah memiliki kompetensi yang relatif
lengkap. Secara jujur harus kita akui bahwa sistem pendidikan kita belum mampu
menghasilkan manusia siap kerja (ready to
work), melainkan tenaga kerja siap latih dan siap berkebang (ready to grow). Bagi saya, yang harus
lebih dipentingkan adalah menjaring “potensi”, baik dari sisi intelektualitas
maupun kepribadian. Meski dalam rangkaian test tadi telah ada test psikologi untuk
memperoleh gambaran kepribadian seorang kandidat, namun secara umum saya masih
melihat bahwa test pengetahuan, intelektualitas, atau kognitif, cenderung masih
dominan. Artinya, berbagai bentuk ujian tadi lebih mengungkap explicit knowledge seseorang dibanding implicit atau tacit knowledge-nya.
Saya memiliki pandangan seperti
ini berdasarkan pengamatan bahwa banyak orang yang sebelum masuk menjadi PNS
begitu hebat yang ditunjukkan oleh raihan IPK mendekati 4, aktivis organisasi
kepemudaan dan kemahasiswaan, pengalaman kerja sebagai asisten dosen atau di
perusahaan, dan sebagainya, namun setelah menjadi pegawai justru tidak pernah
menjadi nomor satu. Sebaliknya, ada yang semasa mahasiswa biasa-biasa saja
namun setelah menjadi pegawai menunjukkan performa yang jauh lebih baik. Ini
berarti bahwa starting point seorang
pegawai tidak secara signifikan menentukan hasil akhir mereka di kemudian hari.
Aspek-aspek explicit intelligence sangat
mudah ditingkatkan sepanjang usia karir pegawai, namun aspek implicit intelligence seperti motivasi
untuk terus maju (need for achievement),
keteguhan terhadap prinsip dan tata nilai (istiqamah),
kesetiaan pada organisasi, kerelaan berkorban demi kebenaran (institutional patriotism),
kerendahhatian (humble), pemikiran
positif dalam segala hal (positive
thinking), dan sebagainya, jauh
lebih sulit dibangun. Itulah sebabnya, saya jauh lebih menyukai menjaring
“potensi” dari pada kepandaian dalam proses rekrutmen pegawai. Memang menjaring
potensi terpendam bahkan tidak terkenali (unidentified
potency) jauh lebih sulit dibanding memetakan kecerdasan seseorang. Namun,
sesuatu yang sulit bukan alasan untuk meminimalisir apalagi meniadakannya,
Terkait dengan upaya deep scanning terhadap potensi pelamar
CPNS tadi, saya menilai bahwa sistem gugur dalam seleksi tidaklah tepat.
Seperti kita ketahui, sistem penerimaan CPNS saat ini menggunakan sistem gugur
yang dimulai dari seleksi administrasi (kelengkapan berkas). Jika berkas tidak lengkap,
maka seseorang langsung gugur. Padahal, bisa jadi orang tadi adalah orang yang
sangat potensial namun terlambat melengkapi berkas hanya karena keterlambatan
informasi tentang pendaftaran CPNS tersebut. Setelah lolos seleksi
administratif, pelamar harus mengikuti TKD yang kurang lebih berisi tentang
test pengetahuan umum. Jika gagal di tahap ini, maka pelamar tidak dapat
melanjutkan ke tahap selanjutnya yakni test TKB. Padahal, bisa jadi seseorang
yang sangat ahli di bidangnya (misalnya akuntansi, hukum pidana khusus,
pertambangan, farmasi, dan lain-lain) namun kurang memiliki wawasan yang luas
sekitar tema sistem pemerintahan negara, kebijakan pelayanan publik, good governance, dan sejenisnya,
sehingga yang bersangkutan dinyatakan gugur. Ini jelas sebuah kesalahan
mendasar dalam sistem seleksi, karena lebih mengutamakan kompetensi dasar (generalis) dari pada kompetensi bidang (specialis). Pada tahap TKB-pun, seorang
pelamar dengan mudah bisa gugur jika tidak memiliki wawasan terkait tugas dan
fungsi instansi yang dilamar. Padahal, kompetensi bidang ini justru yang akan
terus dibangun dan ditingkatkan selama seseorang menjadi pegawai pada instansi
tersebut. Tidak fair rasanya seorang frsh graduate sudah dituntut memiliki
penguasaan substantif pada bidang tertentu, sementara kurikulum pendidikan
perguruan tinggi tidak mendukung hal tersebut. Dengan tiga tahap dengan sistem
gugur tadi, boleh jadi akan tersisa kader-kader terunggul. Namun boleh jadi
pula justru tersisa mereka-mereka yang sekedar beruntung, bukan yang terbaik.
Selanjutnya, dilakukan test
bahasa Inggris dan psikotest, kemudian diakhiri dengan Wawancara. Bagi saya,
test bahasa Inggris tidak begitu penting dengan alasan apapun seperti
globalisasi kek, siap untuk
melanjutkan studi ke luar negeri kek,
memperkuat daya tawar organisasi di era kompetisi kek, dan seterusnya. Sebab, jika bahasa Inggris menjadi
pertimbangan mendasar, maka alumni sastra Inggris-lah yang memiliki peluang
lebih besar untuk lolos, sementara formasi CPNS untuk pengajar dan penutur
bahasa Inggris sangatlah sedikit. Lagi pula, kemampuan berbahasa asing dapat
dilakukan secara terus menerus sepanjang karir seseorang (long-life career learning), sebagaimana kompetensi dasar dan
bidang.
Oleh karenanya, tahap wawancara
bagi saya adalah tahap terpenting yang harus diberi porsi waktu dan bobot
terbesar. Kontak langsung antara pewawancara dengan pelamar ini akan bisa
memberikan “sisi lain” dari sosok seorang pelamar CPNS. Saya masih sangat
percaya adanya feeling, instinct, naluri, atau kata hati adalah
perangkat Ilahiah yang dianugerahkan Tuhan YMK dan merupakan instrumen yang
jauh lebih akurat dalam menentukan sebuah pilihan. Dengan memperkuat utilisasi
piranti ruhaniah dalam menyeleksi CPNS ini, seorang pewawancara bisa membaca
sesuatu yang tidak terbaca dengan mata telanjang (read the unreadable), atau mendengar sesuatu yang tidak terkatakan (listen to the unspoken truth). Pertimbangan
rasional boleh saja digunakan, namun sebaiknya tidak menegasikan aspek qalbu atau kebatinan dan pertimbangan transendental ini. Tentu tidak ada
jaminan bahwa dimensi hati ini akan lebih baik dibanding dimensi rasionalitas.
Kuncinya adalah bahwa hati kita harus bersih, tidak ada kepentingan
terselubung, bersih dari syak wasangka, dan jujur dengan diri sendiri.
Dan hal ini jelas akan
memperbesar subyektivitas, yang justru ingin dikikis dengan seperangkat test
yang panjang dan berat tadi. Bagi saya, tidak ada yang salah dengan
subyektivitas. Subyektivitas seorang pewawancara yang hebat dan tangguh (well trained and experienced interviewers)
menurut saya adalah obyektivitas itu sendiri. Sesungguhnyalah bahwa pewawancara
merupakan instrumen utama dalam seleksi CPNS, yang tidak mudah begitu saja
diganti dengan instrumen test kognitif sesulit apapun. Hal ini dapat
dianalogikan dengan proses penelitian yang lebih mengandalkan peneliti sebagai
instrumen utamanya, bukan kuesioner, pedoman wawancara, atau instrumen
penelitian lainnya. Berbagai instrumen paper-based
tadi hanyalah pendukung terhadap instrumen utama yakni pelaku aktivitasnya (human instrument). Selain itu, jaminan
obyektivitas dari penilaian secara subyektif adalah kredibilitas dan integritas
seorang pewawancara. Tanpa adanya integritas, maka sehebat dan setangguh apapun
seorang pewawancara hanya akan menghasilkan sampah-sampah organisasi.
Ini hanyalah refleksi saya
terhadap sistem seleksi yang tengah berlangsung saat ini, semoga bisa menjadi
perenungan bagi otoritas kepegawaian di tingkat nasional, daerah, maupun
instansional untuk terus mencari model seleksi terbaik guna menemukan orang
terbaik untuk birokrasi Indonesia.
Jakarta,
11 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar