Pola Pikir Pentingnya
Budaya Organisasi
1. Kondisi
birokrasi / organisasi sektor publik saat ini masih dicirikan oleh adanya fenomena-fenomena
empirik yang kurang menguntungkan seperti: rendahnya komitmen dan
konsistensi terhadap visi dan misi; banyaknya kasus-kasus inefisiensi dan KKN;
karakter / integritas dan mutu pelayanan yang masih rendah; kreativitas dan
kepekaan dalam merespon perubahan lingkungan masih kurang optimal; kepemimpinan
birokrasi belum dapat menjadi sumber inspirasi dan keteladanan; rendahnya
kedisiplinan dan penggunaan kecerdasan emosional / kecerdasan spiritual dalam
penyelenggaraan tupoksi; penggunaan teknologi yang masih minimal, dan
sebagainya.
2. Hasil
kajian LAN (2005) menunjukkan bahwa budaya kerja instansi pemerintah
berdasarkan 17 pasang nilai yang ditetapkan Kementerian PAN (Kepmenpan No. 25/2003)
di wilayah Kalimantan, masih relatif lemah. Kondisi ini
nampaknya juga terjadi di wilayah lain di Indonesia.
3. Dalam
kerangka reformasi birokrasi, saat ini telah muncul komitmen nasional untuk mewujudkan
sosok aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa dan bebas KKN (good
governance), salah satunya melalui peningkatan efektivitas, efisiensi dan
produktivitas kerja pegawai sekaligus penegakan supremasi hukum. Namun upaya
ini dapat terhambat oleh adanya fenomena-fenomena sebagaimana dalam butir 1.
4. Langkah-langkah
membangun budaya birokrasi yang tertib, bersih, jujur, professional
serta efektif dan efisien, sesungguhnya telah cukup banyak dilakukan sejak
lama. Lahirnya PP No 30/1980 tentang Disiplin PNS, serta PP No 42/2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS sebagai penjabaran UU Pokok Kepegawaian,
adalah salah satu langkah yang masih sangat relevan dengan perkembangan
lingkungan strategis bangsa Indonesia saat ini. Hanya saja, langkah-langkah
tadi membutuhkan strategi penguatan dan penajaman. Itulah sebabnya, seiring
dengan bergulirnya reformasi makro politik semenjak tahun 1998, reformasi birokrasi
melalui pendekatan budaya juga menjadi prioritas yang tidak dapat ditunda-tunda
lagi. Dalam kaitan ini, kebijakan yang telah ditempuh antara lain pemberlakuan
UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No
20/2001 jo UU No 31/1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR, UU No. 30/2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya.
5. Untuk
menjamin keberhasilan agenda dan program pemerintah, diperlukan sosok aparatur
pemerintah yang secara institusional mampu melaksanakan tugas secara profesional
dengan dilandasi kaidah, nilai dan norma dalam rangka terciptanya etika
kerja yang penuh tanggung jawab, sebagai suatu budaya kerja aparatur. Sedangkan secara individual, budaya organisasi merupakan instrumen manajemen yang sangat
efektif guna mendorong terbangunnya nilai-nilai kebersamaan,
keseimbangan, keterbukaan, dan saling menghargai diantara pegawai pada suatu
organisasi, sekaligus merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan
komitmen dari seluruh pegawai
Pengertian Budaya Kerja / Budaya Organisasi
1. Pengelolaan
administrasi pemerintah yang mencakup pengembangan, perencanaan, produksi & pelayanan suatu
produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomis dan bermanfaat (Kep Menpan
No 04/1991 tentang Pemasyarakatan Budaya Kerja).
2.
Sikap
dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari (Kep Menpan No 25/2002 tentang
Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara).
3. Dalam
sistem budaya kerja organisasi, terdapat sub-sistem KBK (Kelompok Budaya
Kerja), yakni kelompok kecil yg bekerja
secara terus menerus (berkelanjutan) berdasarkan prinsip kemandirian
dan kesejajaran; saling ketergantungan, saling mengisi, dan saling percaya;
mempergunakan teknik-teknik kualitas; serta menuntut partisipasi semua orang
secara seimbang.
Landasan Konseptual Budaya Organisasi
1. Salah
satu paradigma
yang dikandung dalam kebijakan desentralisasi adalah pemberdayaan
aparat dan masyarakat daerah, sekaligus peningkatan kualitas pelayanan umum.
Dengan kata lain, raison d’etrě (alasan utama) pemberian otonomi adalah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik secara lebih baik.
Meskipun demikian perlu disadari bahwa ada otonomi atau tidak, fungsi birorkasi
pemerintahan dimanapun adalah untuk pelayanan dan pengayoman (to serve and
to preserve). [1] Dalam hal ini, otonomi hanya merupakan
alat/sarana, teknik/metode, serta cara untuk membangun indikator
pelayanan yang prima; dan bukan tujuan (objective / ends) dari adanya
birokrasi pemerintahan tersebut. Oleh karena merupakan fungsi dasar (basic
functions), maka kebijakan pemerintah tentang pelayanan beserta seluruh
dimensi yang terkait, perlu diperkokoh untuk meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan secara sistemik dan komprehensif. Hal ini penting
mengingat visi dan misi utama pemerintah daerah harus diarahkan pada penyediaan
layanan umum (public service delivery) serta mengembangkan sektor-sektor
dan potensi unggulan daerah (core
competencies).
2.
Salah
satu upaya yang dapat ditempuh untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat (faster) dan lebih baik (bettter) adalah dengan mengembangkan
budaya kerja dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dan lebih
khusus lagi dalam praktek pemberian layanan kepada masyarakat. Hal ini didasari
oleh asumsi bahwa keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi
manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku (behavior)
dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational culture).
Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan manajerial harus
diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja secara tepat dan
optimal.[2]
3. Inti
dari budaya organisasi sektor publik adalah penerapan etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini, TAP MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
memberi dasar pada pengejawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan
bernegara, dengan menyatakan bahwa ” Etika dalam kehidupan berbangsa merupakan
satu wahana dalam rangka kelancaran penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara
di mana dengan adanya etika yang dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam
berbangsa dan bernegara akan mengarah pada satu tatanan kenegaraan yang stabil,
karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh masing-masing individu
sebagai warga negara dapat teramalkan dengan baik”.
4. Reformasi
kultural / budaya merupakan salah satu pilar utama dalam reformasi birokrasi, disamping reformasi instrumental dan
reformasi institusional. Reformasi
kultural sendiri menurut Jimly Assiddiqie (2004) adalah reformasi yang
diarahkan untuk membangun tata-nilai dari suatu sistem yang mencakup institusi
beserta instrumen pendukungnya seperti perangkat perundang-undangan, dan
mempersiapkan orang-orang yang mempunyai tata-nilai yang kompatibel untuk
melaksanakannya. [3]
5. Sejalan
dengan pendapat Prahalad dan Assiddiqie diatas, Feisal Tamin (2004) menyatakan
bahwa reformasi politik tidak mungkin dapat berhasil tanpa diiringi dengan
reformasi budaya. Dengan kata lain, reformasi manajemen kepegawaian
(termasuk aspek penggajian dan kesejahteraan), restrukturisasi kelembagaan,
deregulasi perijinan dan ketatalaksanaan, serta kebijakan reformasi lainnya
tidak akan mampu mencapai hasil yang diinginkan jika tidak disertai dengan
pembenahan aspek mentalitas pegawai seperti disiplin, meritokrasi, dan budaya
malu.[4]
Arah Pengembangan Budaya Organisasi Sektor Publik
1. Pengembangan budaya
kerja aparatur negara pada prinsipnya diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah
melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional,
produktif, dan bertanggungjawab, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang
baik, sekaligus untuk memantapkan dan memelihara persatuan bangsa dan menjaga
integritas nasional secara lestari.
2. Penerapan
nilai-nilai budaya kerja di lingkungan organisasi pemerintahan diyakini dapat
menjadi kekuatan pendorong dan pengungkit (leverage) untuk mencapai kinerja organisasi yang optimum.
Sebab, budaya kerja merupakan pendekatan baru manajemen modern yang lebih
mendasarkan diri pada nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan, keseimbangan
dan kesejajaran, kejujuran dan keterbukaan, serta saling percaya dan saling
menghargai. Disamping itu, penerapan budaya kerja diharapkan juga dapat
merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan komitmen dari seluruh
anggota suatu organisasi. Dengan demikian, pendekatan budaya (cultural
approach) yang diusung dapat menjadi pelengkap dari pendekatan
struktural kedinasan (structural approach) yang biasa diterapkan dalam
organisasi mekanis seperti birokrasi pemerintahan (Weberian Bureaucracy).
3. Implementasi
budaya kerja pada akhirnya diarahkan untuk membangun kepekaan terhadap perubahan dan
dinamika lingkungan, kreatif dan dinamis untuk memperbaiki kinerjanya
secara berkelanjutan, sekaligus memperbaiki citra aparatur pemerintah dalam
rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah (public trust).
Tujuan Pengembangan Budaya Organisasi
1. Mendorong lahirnya kreativitas, intuisi,
motivasi, dan komitmen dari seluruh pegawai dalam suatu organisasi dalam
mewujudkan Visi dan Misi.
2. Membangun
mimpi bersama (shared vision) serta menetapkan tujuan dan sasaran secara
bersama-sama, antara lain melalui upaya mempererat kebersamaan, kekeluargaan,
keterbukaan, dan saling kepercayaan antara pimpinan dan bawahan, serta antar
pegawai.
3. Memperkuat
mekanisme kelompok dalam penyusunan program dan/atau pemecahan masalah yang
menyangkut kepentingan sebagian besar pegawai.
4. Meningkatkan
kinerja individual, kinerja kelompok, dan kinerja organisasi secara progresif
dan berkelanjutan.
5. Organisasi
yang tidak hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan formal, namun juga
mendorong tumbuhnya proses inovasi (innovative organization) dan
pembelajaran (learning organization) guna menciptakan iklim yang
kondusif untuk tumbuhnya kreativitas, ketajaman intuisi, daya imaginasi, kemampuan
adaptasi, dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai organisasi yang telah
menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja.
Metode Pengembangan Budaya Organisasi
1. Proses
internalisasi,
yakni melakukan penanaman nilai-nilai dalam diri seseorang sehingga dapat
menjelma menjadi perilaku yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur dan
budaya unggul. Dengan demikian, proses ini merupakan sebuah pembentukan sikap
dan perilaku yang tumbuh dari diri pribadi seseorang (inside out), bukan karena tekanan atau pengaruh dari luar (outside in).
2. Proses institusionalisasi dalam
sistem dan prosedur kerja, dengan memperhatikan: [a] nilai-nilai yang
bersumber dari Pancasila, Agama, Tradisi, Kebijakan yang berlaku; [b] penerapan
nilai budaya kerja kedalam setiap individu maupun kelompok, harus disesuaikan
dengan visi, misi dan tupoksi masing-masing instansi; [c] dilaksanakan secara
simultan dalam suatu sistem; [d] lingkungan kerja yang kondusif terutama
melalui keteladanan pimpinan dan penegakan peraturan perundangan secara konsisten.
3. Mekanisme
yang dapat ditempuh dalam rangka pencangkokan nilai-nilai budaya kerja dalam
organisasi antara lain adalah:
- Penyusunan
logo, motto,
semboyan dan tema ungkapan;
- Penyelenggaraan dakwah dan khotbah;
- Penyelenggaraan outbound atau family-day;
- Pemantauan kondisi-kondisi tertentu seperti pelayanan kantor, tingkat disiplin, keadaan meja kerja, dan sebagainya dengan menggunakan instrumen tertentu;
- Mengusulkan kepada pimpinan
organisasi untuk menerapkan system reward and punishment, misalnya
dalam bentuk pemilihan Pegawai Teladan;
- Melakukan penilaian kondisi
lingkungan kerja dan menyampaikan usulan perbaikan kepada pimpinan
organisasi;
- Penyelenggaraan forum diskusi dari, oleh, dan
untuk anggota, mengenai topik-topik tertentu yang relevan dengan pengembangan
nilai-nilai budaya kerja
- Program / kegiatan lain yang dipandang perlu.
Agenda Kedepan
1.
Perlu
adanya perubahan model birokrasi dari yang monopolistis menjadi
partisipatif kompetitif, dari orientasi hirarkhis menjadi orientasi fungsional
berbasis teamwork, dari pola kerja mekanis menjadi pola kerja organis,
dari bureaucracy-driven menjadi customer-driven, dari spoil
system menjadi reward merit system, serta dari kinerja yang diukur
berdasar output menjadi kinerja yang diukur berdasar benefit
and outcomes, adalah tantangan yang terbesar dan terberat bagi rezim
pemerintahan baru saat ini. Tuntutan terhadap perubahan peran dan orientasi
fungsi pemerintahan tersebut, pada dasarnya bertujuan untuk menekan sekecil
mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan
kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya. Atau dapat dikatakan pula
bahwa program “reformasi sektor publik” pada akhirnya diharapkan dapat
menghasilkan produk akhir berupa peningkatan kinerja dan mutu pelayanan umum (public
service delivery).[5]
2. Program
reformasi birokrasi secara makro ditujukan untuk mencapai sasaran pembangunan
nasional bidang aparatur negara, yakni “Meningkatnya pelayanan birokrasi kepada
masyarakat yang tercermin dari: berkurangnya secara nyata praktik korupsi di
birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas; terciptanya
sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien
dan berwibawa; terhapusnya aturan dan praktik kebijakan yang bersifat
diskriminatif terhadap warga negara; meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan kebijakan publik”. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka prioritas
pembangunan sektor aparatur diarahkan pada penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan
berwibawa dengan kebijakan yang bermuara pada upaya menuntaskan
penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN melalui penerapan
prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, peningkatan efektivitas
pengawasan, dan peningkatan budaya kerja dan etika birokrasi; meningkatkan
kualitas penyelenggaraan administrasi negara melalui penataan kelembagaan,
manajemen publik dan peningkatan kapasitas SDM aparatur; serta meningkatkan
keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan melalui peningkatan
kualitas pelayanan publik yang lebih baik.[6]
(Catatan: Ini adalah tulisan lama yang belum
dipublikasi kecuali hanya untuk keperluan internal. Sayang untuk dibuang, sehingga saya tampilkan di Blog ini).
[1] Tentang
trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan
dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and to
Preserve: Improving Public Administration in a Competitive World.
[2] CK. Prahalad (1994), memperkenalkan konsep Strategy of Creating Change, dimana
untuk menyehatkan organisasi sesuai dengan tantangan dan peluang Abad ke-21, organisasi perlu memiliki dan
melaksanakan tiga agenda perubahan (change
agenda), bukan hanya Intelectual
Agenda dan Managerial Agenda
semata, namun juga Behavioural Agenda.
Agenda perilaku ini berfokus pada nilai dan etika, mengembangkan gaya
kepemimpinan, sistem belajar, peningkatan kompetensi dan keterampilan, serta
memperkuat dan memberi penghargaan terhadap perilaku yang sesuai dengan visi
bersama.
[3] Jimly
Assiddiqie, 2004, Tiga Agenda Reformasi Pada Masa Transisi, Jakarta: The
Habibie Center, dapat dilihat di http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?fuseaction=artikel.detail&detailid=102&bhs=ina
[4] Untuk
paparan yang cukup komprehensif tentang budaya kerja aparatur, khususnya yang
menyangkut dimensi disiplin, meritokrasi, dan budaya malu, lihat Feisal Tamin,
2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara,
Jakarta: Belantika.
[5] Taufik
Effendi, 2005, Reformasi Budaya Birokrasi
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Akuntabel, Transparan, dan Berorientasi
Kepada Pelayanan Publik, orasi dalam rangka Wisuda Sarjana STIA-LAN
Bandung, 30 April 2005.
[6] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar