Minggu, 15 September 2013

Relevansi dan Urgensi Budaya Organisasi untuk Memperkuat Kinerja Organisasi Sektor Publik


Pola Pikir Pentingnya Budaya Organisasi

1.    Kondisi birokrasi / organisasi sektor publik saat ini masih dicirikan oleh adanya fenomena-fenomena empirik yang kurang menguntungkan seperti: rendahnya komitmen dan konsistensi terhadap visi dan misi; banyaknya kasus-kasus inefisiensi dan KKN; karakter / integritas dan mutu pelayanan yang masih rendah; kreativitas dan kepekaan dalam merespon perubahan lingkungan masih kurang optimal; kepemimpinan birokrasi belum dapat menjadi sumber inspirasi dan keteladanan; rendahnya kedisiplinan dan penggunaan kecerdasan emosional / kecerdasan spiritual dalam penyelenggaraan tupoksi; penggunaan teknologi yang masih minimal, dan sebagainya.

2.     Hasil kajian LAN (2005) menunjukkan bahwa budaya kerja instansi pemerintah berdasarkan 17 pasang nilai yang ditetapkan Kementerian PAN (Kepmenpan No. 25/2003) di wilayah Kalimantan, masih relatif lemah. Kondisi ini nampaknya juga terjadi di wilayah lain di Indonesia.

3.    Dalam kerangka reformasi birokrasi, saat ini telah muncul komitmen nasional untuk mewujudkan sosok aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa dan bebas KKN (good governance), salah satunya melalui peningkatan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja pegawai sekaligus penegakan supremasi hukum. Namun upaya ini dapat terhambat oleh adanya fenomena-fenomena sebagaimana dalam butir 1.

4.     Langkah-langkah membangun budaya birokrasi yang tertib, bersih, jujur, professional serta efektif dan efisien, sesungguhnya telah cukup banyak dilakukan sejak lama. Lahirnya PP No 30/1980 tentang Disiplin PNS, serta PP No 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS sebagai penjabaran UU Pokok Kepegawaian, adalah salah satu langkah yang masih sangat relevan dengan perkembangan lingkungan strategis bangsa Indonesia saat ini. Hanya saja, langkah-langkah tadi membutuhkan strategi penguatan dan penajaman. Itulah sebabnya, seiring dengan bergulirnya reformasi makro politik semenjak tahun 1998, reformasi birokrasi melalui pendekatan budaya juga menjadi prioritas yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dalam kaitan ini, kebijakan yang telah ditempuh antara lain pemberlakuan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 20/2001 jo UU No 31/1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR, UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya.

5.     Untuk menjamin keberhasilan agenda dan program pemerintah, diperlukan sosok aparatur pemerintah yang secara institusional mampu melaksanakan tugas secara profesional dengan dilandasi kaidah, nilai dan norma dalam rangka terciptanya etika kerja yang penuh tanggung jawab, sebagai suatu budaya kerja aparatur. Sedangkan secara individual, budaya organisasi merupakan instrumen manajemen yang sangat efektif guna mendorong terbangunnya nilai-nilai kebersamaan, keseimbangan, keterbukaan, dan saling menghargai diantara pegawai pada suatu organisasi, sekaligus merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan komitmen dari seluruh pegawai


Pengertian Budaya Kerja / Budaya Organisasi

1.   Pengelolaan administrasi pemerintah yang mencakup pengembangan, perencanaan, produksi & pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomis dan bermanfaat (Kep Menpan No 04/1991 tentang Pemasyarakatan Budaya Kerja).
2.     Sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari (Kep Menpan No 25/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara).
3.   Dalam sistem budaya kerja organisasi, terdapat sub-sistem KBK (Kelompok Budaya Kerja), yakni kelompok kecil yg bekerja secara terus menerus (berkelanjutan) berdasarkan prinsip kemandirian dan kesejajaran; saling ketergantungan, saling mengisi, dan saling percaya; mempergunakan teknik-teknik kualitas; serta menuntut partisipasi semua orang secara seimbang.


Landasan Konseptual Budaya Organisasi

1.   Salah satu paradigma yang dikandung dalam kebijakan desentralisasi adalah pemberdayaan aparat dan masyarakat daerah, sekaligus peningkatan kualitas pelayanan umum. Dengan kata lain, raison d’etrě (alasan utama) pemberian otonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik secara lebih baik. Meskipun demikian perlu disadari bahwa ada otonomi atau tidak, fungsi birorkasi pemerintahan dimanapun adalah untuk pelayanan dan pengayoman (to serve and to preserve). [1] Dalam hal ini, otonomi hanya merupakan alat/sarana, teknik/metode, serta cara untuk membangun indikator pelayanan yang prima; dan bukan tujuan (objective / ends) dari adanya birokrasi pemerintahan tersebut. Oleh karena merupakan fungsi dasar (basic functions), maka kebijakan pemerintah tentang pelayanan beserta seluruh dimensi yang terkait, perlu diperkokoh untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan secara sistemik dan komprehensif. Hal ini penting mengingat visi dan misi utama pemerintah daerah harus diarahkan pada penyediaan layanan umum (public service delivery) serta mengembangkan sektor-sektor dan potensi unggulan daerah (core competencies).

2.     Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat (faster) dan lebih baik (bettter) adalah dengan mengembangkan budaya kerja dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dan lebih khusus lagi dalam praktek pemberian layanan kepada masyarakat. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku (behavior) dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational culture). Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan manajerial harus diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja secara tepat dan optimal.[2]
                                                                                         
3.  Inti dari budaya organisasi sektor publik adalah penerapan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini, TAP MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa memberi dasar pada pengejawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan menyatakan bahwa ” Etika dalam kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka kelancaran penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara di mana dengan adanya etika yang dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan mengarah pada satu tatanan kenegaraan yang stabil, karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh masing-masing individu sebagai warga negara dapat teramalkan dengan baik”.

4.   Reformasi kultural / budaya merupakan salah satu pilar utama dalam reformasi birokrasi, disamping reformasi instrumental dan reformasi institusional.  Reformasi kultural sendiri menurut Jimly Assiddiqie (2004) adalah reformasi yang diarahkan untuk membangun tata-nilai dari suatu sistem yang mencakup institusi beserta instrumen pendukungnya seperti perangkat perundang-undangan, dan mempersiapkan orang-orang yang mempunyai tata-nilai yang kompatibel untuk melaksanakannya. [3]

5.   Sejalan dengan pendapat Prahalad dan Assiddiqie diatas, Feisal Tamin (2004) menyatakan bahwa reformasi politik tidak mungkin dapat berhasil tanpa diiringi dengan reformasi budaya. Dengan kata lain, reformasi manajemen kepegawaian (termasuk aspek penggajian dan kesejahteraan), restrukturisasi kelembagaan, deregulasi perijinan dan ketatalaksanaan, serta kebijakan reformasi lainnya tidak akan mampu mencapai hasil yang diinginkan jika tidak disertai dengan pembenahan aspek mentalitas pegawai seperti disiplin, meritokrasi, dan budaya malu.[4]


Arah Pengembangan Budaya Organisasi Sektor Publik

1.   Pengembangan budaya kerja aparatur negara pada prinsipnya diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggungjawab, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik, sekaligus untuk memantapkan dan memelihara persatuan bangsa dan menjaga integri­tas nasional secara lestari.

2.  Penerapan nilai-nilai budaya kerja di lingkungan organisasi pemerintahan diyakini dapat menjadi kekuatan pendorong dan pengungkit (leverage) untuk mencapai kinerja organisasi yang optimum. Sebab, budaya kerja merupakan pendekatan baru manajemen modern yang lebih mendasarkan diri pada nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan, keseimbangan dan kesejajaran, kejujuran dan keterbukaan, serta saling percaya dan saling menghargai. Disamping itu, penerapan budaya kerja diharapkan juga dapat merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan komitmen dari seluruh anggota suatu organisasi. Dengan demikian, pendekatan budaya (cultural approach) yang diusung dapat menjadi pelengkap dari pendekatan struktural kedinasan (structural approach) yang biasa diterapkan dalam organisasi mekanis seperti birokrasi pemerintahan (Weberian Bureaucracy).

3.   Implementasi budaya kerja pada akhirnya diarahkan untuk membangun kepekaan terhadap perubahan dan dinamika lingkungan, kreatif dan dinamis untuk memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan, sekaligus memperbaiki citra aparatur pemerintah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah (public trust).


Tujuan Pengembangan Budaya Organisasi

1.  Mendorong lahirnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan komitmen dari seluruh pegawai dalam suatu organisasi dalam mewujudkan Visi dan Misi.
2.    Membangun mimpi bersama (shared vision) serta menetapkan tujuan dan sasaran secara bersama-sama, antara lain melalui upaya mempererat kebersamaan, kekeluargaan, keterbukaan, dan saling kepercayaan antara pimpinan dan bawahan, serta antar pegawai.
3.  Memperkuat mekanisme kelompok dalam penyusunan program dan/atau pemecahan masalah yang menyangkut kepentingan sebagian besar pegawai.
4.  Meningkatkan kinerja individual, kinerja kelompok, dan kinerja organisasi secara progresif dan berkelanjutan.
5.  Organisasi yang tidak hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan formal, namun juga mendorong tumbuhnya proses inovasi (innovative organization) dan pembelajaran (learning organization) guna menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya kreativitas, ketajaman intuisi, daya imaginasi, kemampuan adaptasi, dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai organisasi yang telah menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja.


Metode Pengembangan Budaya Organisasi

1.  Proses internalisasi, yakni melakukan penanaman nilai-nilai dalam diri seseorang sehingga dapat menjelma menjadi perilaku yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur dan budaya unggul. Dengan demikian, proses ini merupakan sebuah pembentukan sikap dan perilaku yang tumbuh dari diri pribadi seseorang (inside out), bukan karena tekanan atau pengaruh dari luar (outside in).

2.     Proses institusionalisasi dalam sistem dan prosedur kerja, dengan memperhatikan: [a] nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila, Agama, Tradisi, Kebijakan yang berlaku; [b] penerapan nilai budaya kerja kedalam setiap individu maupun kelompok, harus disesuaikan dengan visi, misi dan tupoksi masing-masing instansi; [c] dilaksanakan secara simultan dalam suatu sistem; [d] lingkungan kerja yang kondusif terutama melalui keteladanan pimpinan dan penegakan peraturan perundangan secara konsisten.

3.     Mekanisme yang dapat ditempuh dalam rangka pencangkokan nilai-nilai budaya kerja dalam organisasi antara lain adalah:
  • Penyusunan logo, motto, semboyan dan tema ungkapan;
  • Penyelenggaraan dakwah dan khotbah;
  • Penyelenggaraan outbound atau family-day;
  • Pemantauan kondisi-kondisi tertentu seperti pelayanan kantor, tingkat disiplin, keadaan meja kerja, dan sebagainya dengan menggunakan instrumen tertentu;
  • Mengusulkan kepada pimpinan organisasi untuk menerapkan system reward and punishment, misalnya dalam bentuk pemilihan Pegawai Teladan;
  • Melakukan penilaian kondisi lingkungan kerja dan menyampaikan usulan perbaikan kepada pimpinan organisasi;
  • Penyelenggaraan forum diskusi dari, oleh, dan untuk anggota, mengenai topik-topik tertentu yang relevan dengan pengembangan nilai-nilai budaya kerja
  • Program / kegiatan lain yang dipandang perlu.

Agenda Kedepan

1.     Perlu adanya perubahan model birokrasi dari yang monopolistis menjadi partisipatif kompetitif, dari orientasi hirarkhis menjadi orientasi fungsional berbasis teamwork, dari pola kerja mekanis menjadi pola kerja organis, dari bureaucracy-driven menjadi customer-driven, dari spoil system menjadi reward merit system, serta dari kinerja yang diukur berdasar output menjadi kinerja yang diukur berdasar benefit and outcomes, adalah tantangan yang terbesar dan terberat bagi rezim pemerintahan baru saat ini. Tuntutan terhadap perubahan peran dan orientasi fungsi pemerintahan tersebut, pada dasarnya bertujuan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya. Atau dapat dikatakan pula bahwa program “reformasi sektor publik” pada akhirnya diharapkan dapat menghasilkan produk akhir berupa peningkatan kinerja dan mutu pelayanan umum (public service delivery).[5]

2.   Program reformasi birokrasi secara makro ditujukan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional bidang aparatur negara, yakni “Meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat yang tercermin dari: berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas; terciptanya sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa; terhapusnya aturan dan praktik kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara; meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik”. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka prioritas pembangunan sektor aparatur diarahkan pada penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa dengan kebijakan yang bermuara pada upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN melalui penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, peningkatan efektivitas pengawasan, dan peningkatan budaya kerja dan etika birokrasi; meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara melalui penataan kelembagaan, manajemen publik dan peningkatan kapasitas SDM aparatur; serta meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan melalui peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih baik.[6]


(Catatan: Ini adalah tulisan lama yang belum dipublikasi kecuali hanya untuk keperluan internal. Sayang untuk dibuang, sehingga saya tampilkan di Blog ini).



[1] Tentang trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and to Preserve: Improving Public Administration in a Competitive World.
[2] CK. Prahalad (1994), memperkenalkan konsep Strategy of Creating Change, dimana untuk menyehatkan organisasi sesuai dengan tantangan dan peluang Abad  ke-21, organisasi perlu memiliki dan melaksanakan tiga agenda perubahan (change agenda), bukan hanya Intelectual Agenda dan Managerial Agenda semata, namun juga Behavioural Agenda. Agenda perilaku ini berfokus pada nilai dan etika, mengembangkan gaya kepemimpinan, sistem belajar, peningkatan kompetensi dan keterampilan, serta memperkuat dan memberi penghargaan terhadap perilaku yang sesuai dengan visi bersama.
[3]  Jimly Assiddiqie, 2004, Tiga Agenda Reformasi Pada Masa Transisi, Jakarta: The Habibie Center, dapat dilihat di http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?fuseaction=artikel.detail&detailid=102&bhs=ina
[4]  Untuk paparan yang cukup komprehensif tentang budaya kerja aparatur, khususnya yang menyangkut dimensi disiplin, meritokrasi, dan budaya malu, lihat Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta: Belantika.
[5] Taufik Effendi, 2005, Reformasi Budaya Birokrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Akuntabel, Transparan, dan Berorientasi Kepada Pelayanan Publik, orasi dalam rangka Wisuda Sarjana STIA-LAN Bandung, 30 April 2005.
[6]  Ibid.

Tidak ada komentar: