Hari ini, Kamis, 5 September
2013, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Timika, Papua. Pesawat
Garuda yang membawa saya ke Jayapura dari Jakarta, harus transit selama 1 jam lebih
di Timika. Kesempatan pertama di bumi berlimpah emas ini tentu saja tidak saya
lewatkan untuk sekedar melihat sekeliling saya, meski terbatas di lingkungan
bandara Mozes Kilangin.
Perlu diketahui bahwa Timika
adalah kota kabupaten dimana terdapat perusahaan tambang multinasional bernama
PT Freeport Indonesia, yang berafilisasi dengan Freeport-McMoRan Copper &
Gold di Amerika Serikat. Tepatnya, perusahaan ini terletak di kota Tembagapura,
yang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam dari pusat ibukota Timika. Konon, nilai
asset dari penambangan emas di perusahaan ini mencapai Rp. 1.500 trilyun/tahun,
atau kurang lebih sama dengan APBN Indonesia selama satu tahun. Jika negeri ini
bisa membiayai pembangunan seluruh sektor, seluruh lembaga negara, seluruh
pemerintah daerah, ratusan kota dan ribuan desa, dan sekaligus membayar gaji para
pegawainya sebanyak 4,5 juta PNS selama setahun hanya dengan Rp. 1.500 trilyun,
bayangkan dengan jumlah uang yang sama apa yang bisa dihasilkan oleh sebuah
perusahaan saja? Tentu saja, bukan hal sulit bagi Freeport (kalau mau) untuk
membangun Timika menjadi kota sekelas Singapura sekalipun.
Maka, ada benarnya juga banyaknya
tuntutan dari berbagai kalangan, termasuk yang paling getol adalah Amien Rais,
tentang perlunya neregosiasi kontrak karya antara Freeport dengan pemerintah
RI, agar proporsi kemanfaatan usaha tambang bisa lebih dinikmati oleh rakyat
banyak sebagai pengejawahtahan spirit konstitusi. Bahkan tidak aneh juga
desakan untuk melakukan nasionalisasi karena fakta rendahnya kemanfaatan
perusahaan bagi daerah dan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, kita juga
jangan menutup mata bahwa keberadaan perusahaan ini sedikit banyak ada
manfaatnya. Saya tidak bermaksud melakukan perbandingan antara manfaat dan
kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan ini. Saya hanya sekedar ingin
menuliskan kesan pertama (first
impression) tentang Timika (termasuk Freeport), dari perspektif yang sangat
sempit, karena hanya terpotret dari bandara, dalam waktu yang sangat singkat,
dan tanpa proses konfirmasi atau klarifikasi. Oleh karenanya, sangat mungkin
kesan saya ini kontras dengan fakta yang sesungguhnya. Dalam hal ini, kesan
yang hanya didasarkan pada fakta yang eksplisit atau peristiwa yang terlihat di
permukaaan saja, akan menghasilkan kesan positif karena sesuatu yang terlihat
pastilah menonjolkan yang baik-baik saja, sementara hal yang buruk cenderung
disembunyikan.
Untuk itu, kesan pertama sayapun
juga baik terhadap keberadaan Freeport. Bagaimana tidak? Di dinding-dinding
bandara banyak sekali informasi tentang aktivitas teknis maupun non-teknis dari
perusahaan ini. Dari segi teknis, saya melihat paling tidak ada tiga jenis usaha
Freeport yakni pengolahan bijih (ore
process), tambang terbuka Grasberg (Grasberg
surface mine), dan tambang bawah tanah (underground
mine). Sementara dari segi non-teknis (tidak terkait langsung usaha
penambangan), cukup banyak variasi program dari community health initiative (prakarsa masyarakat sehat), from will to skills (kesungguhan berbuah
keterampilan), preserving tradition
(melestarikan tradisi seni dan budaya), fostering
entrepreneurship (membina semangat kewirausahaan), environmental management (pengelolaan lingkungan), preserving the wealth of nature
(melestarikan kekayaan hayati), hingga tailings
reutilization (pemanfaatan pasir sisa tambang atau sirsat). Khusus yang
terakhir, pasir sisa tambang ternyata memiliki manfaat ekonomi yang cukup
tinggi karena bisa menjadi bahan cor dalam pembuatan beton. Bukan hanya
jalan-jalan di Timika yang sudah dibeton dengan bahan dasar sirsat ini, bahkan
bandara Mozes Kilangin sendiri dibangun dari sisa tambang ini. Bukankah hal-hal
seperti ini sangat bermanfaat bagi masyarakat?
Tidak berhenti sampai disitu. PT
Freeport juga membangun lapangan terbang Naramatei (Mulu) yang berlokasi di
puncak sebuah bukit. Sebelum ada bandara ini, pengiriman bahan-bahan kebutuhan
masyarakat hanya bisa disuplai sebanyak 2 kali dalam setahun, namun dengan
adanya lapangan terbang ini maka kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat
jelas semakin membaik.
Selama di bandara saya juga
melihat ada beberapa orang bule
bahkan ada yang membawa bayi. Terkesan oleh saya bahwa tidak sedikitpun
tersirat rasa kekhawatiran mereka terhadap keselamatan fisik maupun jiwa.
Situasi bandara begitu tenang, aman, dan damai, jauh dari kesan selama ini ketika
melihat Timika dari Jawa. Sangat boleh jadi, banyak orang Jawa menderita rabun
jauh dalam melihat fakta dan peristiwa di Timika khususnya dan Papua umumnya.
Tanah Papua ternyata begitu ramah, bersahabat, dan terbuka terhadap orang dari
suku/bangsa lain. Ulah oknum yang secara insidental melakukan tidakan
penembakan, pencegatan, atau tindakan lainnya, telah merusak citra dan wajah
Papua yang begitu cantik dan segar lagi menyegarkan.
Semoga kesan positif yang saya
dapatkan adalah cerminan realita kehidupan masyarakat Papua secara utuh. Semoga
pula, Freeport benar-benar memiliki komitmen untuk turut membangun Papua dan
manusia Papua sebaik mungkin sebagaimana brosur yang tertempel di
dinding-dinding bandara, tidak sekedar mengejar profit belaka. Semoga pula
oknum-oknum separatis atau pengacau keamanan yang selama ini kecewa dengan
kondisi yang ada dapat lebih membaur dengan komunitas yang lebih luas dan
diterima oleh seluruh kalangan. Proses pemaafan kolektif dan penerimaan kembali
“anak-anak nakal”dalam pelukan masyarakat, merupakan prakondisi yang penting
untuk membangun kohesi sosial yang lebih kuat berbasis rasa saling percaya dan
penghormatan secara timbal balik antar kelompok (trust and mutual respect). Bagi pemerintah sendiri (pusat maupun
daerah), komitmen untuk mengabdikan diri bagi masyarakat melalui langkah nyata
menekan inefisiensi, menghindari perilaku korup, mencegah penyalahgunaan
wewenang, dan terus menerus melakukan reformasi di berbagai bidang, harus
semakin ditingkatkan sekaligus dibuktikan. Jika setiap kelompok (perusahaan,
masyarakat, dan pemerintah) bisa mengambil peran secara tepat dan positif
seperti ini, betapa Tanah Papua akan menjadi taman surga bukan hanya bagi
penduduk Papua, namun juga bagi Indonesia bahkan dunia internasional.
Tentu menjadi harapan kita semua
bahwa limpahan karunia Tuhan YMK berupa kekayaan alam Papua yang begitu besar
tidak akan menjadi kutukan (resource
curse) bagi bangsa ini, seperti kasus yang terjadi misalnya di Irak. Kita
semua berdoa semoga sumber daya alam ini akan menjadi berkah (resource blessing) bagi kemajuan dan
kemakmuran bangsa Papua dan Indonesia. Aamiin.
Jayapura, 5 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar