Ketika saya menyelesaikan tiga
tulisan berjudul “Menulis itu Seperti BAB”, “Tulis Saja”, dan “Menulis ituSeperti Sedekah”, saya membayangkan mengajar dalam sebuah diklat teknis menulis
artikel dan karya tulis ilmiah. Dalam diklat itu saya katakana bahwa menulis
itu sangat mudah. Sebab, kesulitan mencari ide dapat terpecahkan dengan
menulis, kesulitan menemukan kata atau kalimat pertama dalam sebuah tulisan
juga terselesaikan dengan menulis. Pokoknya, segala kendala dan kesulitan
menulis obatnya hanya satu, yakni menulis! Dengan demikian, menulis merupakan
sebuah proses self healing atau
mengobati penyakit yang ada pada dirinya oleh dirinya sendiri. Inilah
dahsyatnya menulis.
Dalam diklat imajiner tadi saya
juga menyampaikan bahwa menulis itu dapat dianalogikan dengan aktivitas
manusia, apapun itu. Saya mencontohkan yang sudah saya tulis bahwa menulis itu
analog dengan BAB dan sedekah. Saya kemudian menantang peserta untuk mencari
aktivitas apapun dari kehidupan manusia. Ada seorang peserta yang nyeletuk bahwa menulis itu seperti
mencangkul, maka saya benarkan celetukannya tadi. Ya, menulis itu seperti
mencangkul. Dengan mencangkul, maka semakin suburlah tanah tadi karena masuknya
oksigen kedalam rongga-rongga tanah. Tanah yang sudah dicangkul juga lebih siap
untuk ditanami dengan berbagai tanaman pangan. Mencangkulpun merupakan
aktivitas yang wajib dilakukan petani sebagai bagian dari mata pencahariannya
mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu, mencangkul adalah aktivitas fisik
yang menyehatkan dan menjadikan otot-otot kita lebih terlatih.
Demikian pula dengan menulis.
Aktivitas ini mampu membongkar kebekuan dalam pikiran kita, mengaduk-aduk otak
yang idle, dan membolak-balik
struktur berpikir kita. Akibatnya, otak kita menjadi lebih segar penuh dengan
oksigen baru, ide abru, dan energi baru. Menulis juga merupakan olah mental
untuk membangun paradigma berpikir yang lebih runtut, sistematis, dan logis.
Dengan memiliki kerangka berpikir runtut, sistematis, dan logis tadi, maka kita
akan lebih siap untuk berdiskusi tentang banyak hal secara lebih efektif dan
argumentatif. Dan, menulis juga dapat menjadi “mata pencaharian” secara
langsung maupun tidak langsung. Bagi penulis lepas atau freelance, menulis di berbagai media koran atau majalah akan
memberi efek finansial secara langsung berupa honorarium. Sedangkan bagi
profesi peneliti, dosen, dan profesi lain yang berbasis knowledge, menulis juga sebuah prasyarat wajib (condition sine qua non) bagi profesi
tersebut.
Selanjutnya, dari sudut lain
diklat imajiner tadi terdengar bahwa menulis ibarat makan. Ya, benar. Saya
sangat setuju dengan pendapat itu. Dengan makan, kita akan kenyang dan tumbuh.
Dengan makan pula kebutuhan paling mendasar manusia terpenuhi, yakni hidup.
Makan yang dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya menjadi kebiasaan yang
melekat dalam ritme hidup manusia selama 24 jam sehari. Makan juga menjadi
ajang lobby, negosiasi, bertukar
pikiran dan pengalaman, sekaligus menggali inspirasi dari interaksi dengan
orang-orang yang makan bersama kita. Itulah sebabnya, café dan restoran
dimanapun dan kapanpun selalu dipenuhi dengan sekelompok orang yang tidak
semata-mata ingin memenuhi kebutuhan primernya, namun lebih menjadikan momentum
makan tadi sebagai kesempatan experience
sharing, knowledge exchange, maupun trust
building. Begitu pentingnya forum pertemuan yang dikemas dalam sebuah “makan bersama”, konon Universitas Manchester di Inggris sampai
mewajibkan setiap gedung dan setiap lantai untuk memiliki coffee shop, serta mewajibkan setiap orang dalam gedung itu untuk
berkumpul di coffee shop tadi pada pukul 10 pagi dan 3 sore. Tujuannya agak
diluar akal sehat, yakni untuk menumbuhkan inovasi-inovasi baru di universitas
tersebut. Hal ini diyakini oleh sebuah asumsi bahwa inovasi sulit sekali lahir
dibalik meja kerja. Inovasi dan ide-ide besar lebih mungkin lahir dari
obrolan-obrolan santai di coffee shop
tadi. Mereka juga berpikir bahwa mengelola inovasi adalah sebuah kemustahilan;
yang lebih mungkin adalah mengelola lingkungan untuk tumbuhnya inovasi (enabling environment for innovation).
Nah,
menulis-pun sama seperti itu. Untuk sesaat, menulis akan mengenyangkan kita
dari lapar dan dahaga intelektual. Namun karena kita akan kembali lapar dan
haus, maka menulis akan memberi kita kepuasan kembali meski sesaat. Begitu
seterusnya menjadi sebuah siklus hidup yang tak terhindarkan. Maka, jika kita
tidak menulis, itu sama artinya kita berpuasa dari aktivitas intelektual. Ini
jelas bukan puasa yang dianjurkan. Selain itu, hobby menulis juga akan mengantarkan kita pada komunitas penulis,
yang interaksi diantara anggotanya akan menjadi “pupuk organik” bagi
berkembangnya tulisan-tulisan mereka dikemudian hari. Artikel, buku, jurnal,
atau tulisan yang tidak terpublikasikan sekalipun pada dasarnya adalah juga
media lobby atau negosiasi. Bayangkan
sebuah sidang di gedung parlemen yang membahas RUU (rancangan undang-udang)
tertentu, dapatkah para politisi mengambil kesepakatan dan keputusan tanpa
adanya dokumen-dokumen tertulis yang mereka baca dan pelajari? Tulisan begitu
ampuh untuk menyakinkan seseorang, mempengaruhi orang lain, bahkan mengubah
keputusan politik penguasa. Tokoh besar sekaliber Napoleon Bonaparte bahkan pernah berucap “Saya lebih takut pada sebuah pena dari pada 100 meriam”. Demikian
pula, seorang Winston Churchill sampai
berujar, “The pen is mightier than the sword”, untuk mengilustrasikan hebatnya menulis.
Lantas, banyak peserta pada diklat imajiner saya
yang kemudian tunjuk jari ingin mengungkapkan pandangan masing-masing. Akhirnya
saya hanya mengkompilasikan seluruh pernyataan mereka yang menyebutkan bahwa
menulis itu seperti bersepeda, menulis itu seperti meditasi, menulis itu
seperti mengemudi, menulis itu seperti berjual-beli, menulis itu seperti
menggambar pola, menulis itu seperti bermain-main, menulis itu seperti
berenang, menulis itu seperti menggali sumur, menulis itu seperti membangun
gedung bertingkat, dan seterusnya. Saya hanya mengiyakan dan membenarkan semua
pendapat tadi.
Akhirnya
saya menyimpulkan sekaligus menganjurkan peserta untuk terus berpikir bebas dan
merdeka. Hilangkan belenggu apapun dan alasan apapun saat hendak memulai
memulis. Berpikirkan se-ekstrim mungkin, bukan hanya out of the box tapi out of
the horizon, bahkan kalai perlu berpikir secara liar dan gila! Pikirkan dan
temukan hal-hal yang tidak mungkin, dan yakinlah bahwa semua itu adalah sebuah
kemungkinan! Dengan demikian, maka menulis pada hakekatnya adalah proses
menyibak tabir misteri dan rahasia alam semesta, mengubah yang tidak mungkin
menjadi mungkin, mengubah yang gelap menjadi terang, dan mengubah kebodohan
menjadi kecerahan. Untuk itu, ayo kita menulis, dari sekarang, dan jangan
pernah engkau hentikan !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar