Kamis, 12 September 2013

Menulis itu Seperti ...

Ketika saya menyelesaikan tiga tulisan berjudul “Menulis itu Seperti BAB”, “Tulis Saja”, dan “Menulis ituSeperti Sedekah”, saya membayangkan mengajar dalam sebuah diklat teknis menulis artikel dan karya tulis ilmiah. Dalam diklat itu saya katakana bahwa menulis itu sangat mudah. Sebab, kesulitan mencari ide dapat terpecahkan dengan menulis, kesulitan menemukan kata atau kalimat pertama dalam sebuah tulisan juga terselesaikan dengan menulis. Pokoknya, segala kendala dan kesulitan menulis obatnya hanya satu, yakni menulis! Dengan demikian, menulis merupakan sebuah proses self healing atau mengobati penyakit yang ada pada dirinya oleh dirinya sendiri. Inilah dahsyatnya menulis.

Dalam diklat imajiner tadi saya juga menyampaikan bahwa menulis itu dapat dianalogikan dengan aktivitas manusia, apapun itu. Saya mencontohkan yang sudah saya tulis bahwa menulis itu analog dengan BAB dan sedekah. Saya kemudian menantang peserta untuk mencari aktivitas apapun dari kehidupan manusia. Ada seorang peserta yang nyeletuk bahwa menulis itu seperti mencangkul, maka saya benarkan celetukannya tadi. Ya, menulis itu seperti mencangkul. Dengan mencangkul, maka semakin suburlah tanah tadi karena masuknya oksigen kedalam rongga-rongga tanah. Tanah yang sudah dicangkul juga lebih siap untuk ditanami dengan berbagai tanaman pangan. Mencangkulpun merupakan aktivitas yang wajib dilakukan petani sebagai bagian dari mata pencahariannya mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu, mencangkul adalah aktivitas fisik yang menyehatkan dan menjadikan otot-otot kita lebih terlatih.

Demikian pula dengan menulis. Aktivitas ini mampu membongkar kebekuan dalam pikiran kita, mengaduk-aduk otak yang idle, dan membolak-balik struktur berpikir kita. Akibatnya, otak kita menjadi lebih segar penuh dengan oksigen baru, ide abru, dan energi baru. Menulis juga merupakan olah mental untuk membangun paradigma berpikir yang lebih runtut, sistematis, dan logis. Dengan memiliki kerangka berpikir runtut, sistematis, dan logis tadi, maka kita akan lebih siap untuk berdiskusi tentang banyak hal secara lebih efektif dan argumentatif. Dan, menulis juga dapat menjadi “mata pencaharian” secara langsung maupun tidak langsung. Bagi penulis lepas atau freelance, menulis di berbagai media koran atau majalah akan memberi efek finansial secara langsung berupa honorarium. Sedangkan bagi profesi peneliti, dosen, dan profesi lain yang berbasis knowledge, menulis juga sebuah prasyarat wajib (condition sine qua non) bagi profesi tersebut.

Selanjutnya, dari sudut lain diklat imajiner tadi terdengar bahwa menulis ibarat makan. Ya, benar. Saya sangat setuju dengan pendapat itu. Dengan makan, kita akan kenyang dan tumbuh. Dengan makan pula kebutuhan paling mendasar manusia terpenuhi, yakni hidup. Makan yang dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya menjadi kebiasaan yang melekat dalam ritme hidup manusia selama 24 jam sehari. Makan juga menjadi ajang lobby, negosiasi, bertukar pikiran dan pengalaman, sekaligus menggali inspirasi dari interaksi dengan orang-orang yang makan bersama kita. Itulah sebabnya, café dan restoran dimanapun dan kapanpun selalu dipenuhi dengan sekelompok orang yang tidak semata-mata ingin memenuhi kebutuhan primernya, namun lebih menjadikan momentum makan tadi sebagai kesempatan experience sharing, knowledge exchange, maupun trust building. Begitu pentingnya forum pertemuan yang dikemas dalam sebuah “makan bersama”, konon Universitas Manchester di Inggris sampai mewajibkan setiap gedung dan setiap lantai untuk memiliki coffee shop, serta mewajibkan setiap orang dalam gedung itu untuk berkumpul di  coffee shop tadi pada pukul 10 pagi dan 3 sore. Tujuannya agak diluar akal sehat, yakni untuk menumbuhkan inovasi-inovasi baru di universitas tersebut. Hal ini diyakini oleh sebuah asumsi bahwa inovasi sulit sekali lahir dibalik meja kerja. Inovasi dan ide-ide besar lebih mungkin lahir dari obrolan-obrolan santai di coffee shop tadi. Mereka juga berpikir bahwa mengelola inovasi adalah sebuah kemustahilan; yang lebih mungkin adalah mengelola lingkungan untuk tumbuhnya inovasi (enabling environment for innovation).

Nah, menulis-pun sama seperti itu. Untuk sesaat, menulis akan mengenyangkan kita dari lapar dan dahaga intelektual. Namun karena kita akan kembali lapar dan haus, maka menulis akan memberi kita kepuasan kembali meski sesaat. Begitu seterusnya menjadi sebuah siklus hidup yang tak terhindarkan. Maka, jika kita tidak menulis, itu sama artinya kita berpuasa dari aktivitas intelektual. Ini jelas bukan puasa yang dianjurkan. Selain itu, hobby menulis juga akan mengantarkan kita pada komunitas penulis, yang interaksi diantara anggotanya akan menjadi “pupuk organik” bagi berkembangnya tulisan-tulisan mereka dikemudian hari. Artikel, buku, jurnal, atau tulisan yang tidak terpublikasikan sekalipun pada dasarnya adalah juga media lobby atau negosiasi. Bayangkan sebuah sidang di gedung parlemen yang membahas RUU (rancangan undang-udang) tertentu, dapatkah para politisi mengambil kesepakatan dan keputusan tanpa adanya dokumen-dokumen tertulis yang mereka baca dan pelajari? Tulisan begitu ampuh untuk menyakinkan seseorang, mempengaruhi orang lain, bahkan mengubah keputusan politik penguasa. Tokoh besar sekaliber Napoleon Bonaparte bahkan pernah berucap “Saya lebih takut pada sebuah pena dari pada 100 meriam”. Demikian pula, seorang Winston Churchill sampai berujar, “The pen is mightier than the sword”, untuk mengilustrasikan hebatnya menulis.

Lantas, banyak peserta pada diklat imajiner saya yang kemudian tunjuk jari ingin mengungkapkan pandangan masing-masing. Akhirnya saya hanya mengkompilasikan seluruh pernyataan mereka yang menyebutkan bahwa menulis itu seperti bersepeda, menulis itu seperti meditasi, menulis itu seperti mengemudi, menulis itu seperti berjual-beli, menulis itu seperti menggambar pola, menulis itu seperti bermain-main, menulis itu seperti berenang, menulis itu seperti menggali sumur, menulis itu seperti membangun gedung bertingkat, dan seterusnya. Saya hanya mengiyakan dan membenarkan semua pendapat tadi.

Akhirnya saya menyimpulkan sekaligus menganjurkan peserta untuk terus berpikir bebas dan merdeka. Hilangkan belenggu apapun dan alasan apapun saat hendak memulai memulis. Berpikirkan se-ekstrim mungkin, bukan hanya out of the box tapi out of the horizon, bahkan kalai perlu berpikir secara liar dan gila! Pikirkan dan temukan hal-hal yang tidak mungkin, dan yakinlah bahwa semua itu adalah sebuah kemungkinan! Dengan demikian, maka menulis pada hakekatnya adalah proses menyibak tabir misteri dan rahasia alam semesta, mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, mengubah yang gelap menjadi terang, dan mengubah kebodohan menjadi kecerahan. Untuk itu, ayo kita menulis, dari sekarang, dan jangan pernah engkau hentikan !!

Jakarta, 13 September 2013

Tidak ada komentar: