Sabtu, 01 Mei 2010

Falsafah Sejarah Dalam Pralambang Jayabaya


Latar Belakang Sosiologis

Pada umumnya, orang Jawa percaya dan memegang teguh dogma yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi dibumi berjalan menurut garis yang telah ditentukan jauh sebelum bumi itu sendiri terbentuk. Kejayaan dan kehancuran, kemakmuran dan kesengsaraan, kedamaian dan peperangan, adalah pernik-pernik kehidupan yang kelihatannya tidak mungkin ditolak oleh manusia. Semuanya merupakan skenario yang telah ditetapkan oleh Sang Dalang Agung, yakni Tuhan, sedang manusia hanyalah wayang-wayang yang nyaris tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

Lalu, cukupkah manusia hanya menjadi makhluk penunggu waktu yang diam dan menggantungkan hidup dari rejeki yang turun cuma-cuma dari langit?  Tidak adakah kewenangan manusia untuk berbuat sesuatu atau untuk mengukir sejarah-nya?  Tidakkah Tuhan mendelegasikan sebagian kekuasaan-Nya kepada manusia?  Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang merangsang akal budi manusia untuk menegaskan jati dirinya, sehingga timbullah kesadarannya bahwa manusia adalah subyek dari alam semesta.

Meski dalam dirinya terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, tetapi pengembaraan pemikiran serta kontemplasi manusia terhadap fenomena-fenomena alami, secara nyata dan bertahap telah memberikan kontribusi yang sangat penting bagi terciptanya peradaban. Sayangnya, tidak semua manusia memiliki interpretasi dan pendirian yang sama tentang makna peradaban itu, sehingga perbuatan manu­sia sering kali bukannya memajukan kebudayaan dan meningkatkan moralitas, tetapi justru menghancurkan peradaban masyarakat pada umumnya.

Barangkali begitulah yang ingin dikemukakan oleh Jayabaya — Raja Kediri yang memerintah pada tahun 800-an  — dalam kitab ramalannya. Keinginan manu­sia untuk menciptakan zaman keemasan selalu terbentur oleh beradunya berbagai kepentingan dan ambisi manusia satu sama lain, sehingga masa kekacauan selalu merupakan prasyarat bagi masa keemasan.  Menurut Jayabaya, sebelum tujuan (telos) manusia tercapai, akan didahului dengan keadaan-keadaan dekadensi, demoralisasi, degenerasi dan korupsi, keadaan mana akan berakhir setelah keda-tangan Juru Selamat atau Ratu Adil.

Isi Pralambang Jayabaya

Ramalan Jayabaya atau lebih dikenal dengan Pralambang Jayabaya pada pokoknya berisi cerita-cerita sebagai berikut. Prabu Jayabaya dikunjungi oleh Maulana Ali Syamsudin, pandita dari Rum yang menguraikan ramalan Kitab Musar­ar, mengenai keadaan Nusa Jawa.

Setelah mendapat ilham, Sultan Rum memerintahkan untuk menduduki tanah-tanah yang kosong. Pemukiman gelombang pertama gagal karena binasa, sedang sisanya kembali ke Rum. Kemudian didatangkan lagi 2 (dua) laksa keluarga untuk menetap di Jawa. 170 tahun setelah itu tidak ada raja, dan baru pada tahun 270 berdiri Kerajaan Wirata, disusul oleh Kerajaan Ngastina (tahun 300), Madura, Dwara Wati, dan Madaraka. Tahun 400 muncul Kerajaan Pamenang dan Metaun. Baka Pengging tahun 500, Medang Kawit tahun 600, dan pada tahun 700 muncul Kerajaan Jenggala, Ngurawan, Kediri dan Singasari.

Dari Maulana Ali Syamsudin, Jayabaya mendapat bermacam-macam ilmu termasuk ilmu gaib, sehingga menjadi tahu hal-hal yang terjadi dimasa depan dan raja-raja dari kerajaan yang akan datang serta segala perbuatannya (weruh sadur­unge winarah).

Sewaktu mengunjungi Ki Ajar Subrata, pandita Gunung Padang, Jayabaya dihidangi 7 (tujuh) macam sajian. Melihat hal ini, marahlah Jayabaya sehingga Ki Ajar dibunuhnya. Atas pertanyaan putranya, Prabu Anom Pagedongan, Jayabaya menjelaskan bahwa Ki Ajar telah membuka rahasia Kitab Musarar. Tujuh macam hidangan tadi adalah lambang tujuh Kerajaan yang berdiri berturut-turut, yaitu :

1.    Sajian Kunyit menunjukkan zaman Kala Wisesa, Raja bersemayam di Pajajaran.
2.    Sajian Juwadah berarti zaman Srikala, Raja berkedudukan di Majapahit selama 1 (satu) abad.
3.    Sajian Geti adalah lambang zaman Kala Wisaya, pusat kerajaan di Demak selama 8 (delapan) windu. Pada masa ini terjadi perubahan agama.
4.    Sajian Kajar berarti zaman Kala Jangga dengan Kerajaan Pajang selama 35 tahun.
5.    Sajian Bawang Putih melambangkan zaman Kala Sakti yaitu zaman Kerajaan Mataram yang berusia 100 tahun. Tiga keturunan Prabu Nyakra Buwana masih akan memerintah, dan setelah itu kerajaan runtuh.
6.    Sajian Bunga Melati berarti zaman Kali Jaya, dengan pusat Kerajaan Kartasura.  Pada masa ini datang para pedagang asing yang ikut campur tangan dalam masalah kerajaan. Rakyat melarat dan pedagang asing makin berkuasa.
7.    Sajian Bunga Seruni melambangkan zaman Kala Bendhu dengan rajanya Tan­jung Putih.  Mula-mula rakyat hidup tenteram dan bahagia, tetapi pada akhir zaman timbul perebutan kekuasaan sehingga rakyat menderita. Kemudian diangkatlah Eru Cakra yang menghilangkan segala kemelaratan dan kejahatan.  Setelah satu abad, terjadi lagi perpecahan. Pada zaman Madya Mulya itu pusat kerajaan ada di Pegunungan Palwa dan Madura. Seratus tahun kemudian pindah ke Kepanasan dan delapan puluh sesudah-nya muncul Kerajaan Tembelang yang berusia 30 (tigapuluh) tahun. Kerajaan berikutnya adalah Waringin Rubuh dengan ibukota Martalaya. Setelah 4 (empat) keturunan memerintah, timbul lagi kekacauan. Jawa ditaklukkan oleh kaum Peringgi. Sultan Rum yang mendengar hal ini memerintahkan untuk menghancurkan kaum Peringgi. Sesudah itu Prabu Asmarengkung dinobatkan sebagai Raja. Sebagai penutup disebutkan bahwa Pulau Jawa telah berusia 2100 tahun dan tibalah Kiamat Kubra, terjadi perang antara Iblis Jamajuja melawan Imam Mahdi dengan kemenangan pada pihak yang terakhir.

Kalau kita perhatikan kandungan isinya, akan nampak bahwa pralambang Jayabaya adalah sebuah falsafah sejarah. Pralambang Jayabaya dalam sejarah Indonesia — khususnya sejarah Jawa — merupakan kekuatan praktis yang hidup dalam masyarakat, yang dimanifestasikan dalam bentuk kerusuhan atau huru-hara.

Fakta yang bermotif kepada kedatangan Ratu Adil ini merupakan kausalitas historis, artinya bahwa sebagai suatu paham mesianistis dengan gambaran jalannya sejarah dimasa depan, memberikan kekuatan sosio kultural yang menggerakkan proses historis. Jadi, dalam pralambang Jayabaya terdapat paham atau gambaran masa depan, suatu falsafah sejarah.

Falsafah sejarah selain memberi jawaban mengenai makna dari proses sejarah (makna yang menguasai kejadian-kejadian sejarah), juga tentang hubungan antara fakta-fakta untuk sampai kepada asal dan tujuannya, kekuatan yang menggerakkan sejarah kearah tujuannya, serta akhir sebuah proses sejarah. Pendeknya, sejarah akan memperoleh makna jika berbagai kejadian ditinjau dengan pandangan kemasa depan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah mengenai Denkvorm (bentuk pikiran), karena hal ini merupakan hal yang terkait atau yang tidak bisa dipisahkan dengan pralambang itu sendiri. Struktur pikiran yang dikristalisir dalam pralambang dapat diketahui dengan menguraikan unsur-unsurnya. Struktur pikiran ini hanya bisa ditelusuri dalam keadaan konkrit dari situasi historis kultural, karena suatu pola pikir tidak mungkin dapat diketahui tanpa mengembalikannya kepada kebudayaan yang mewujudkan. Dengan kata lain, falsafah sejarah akan mengikuti pola pikir yang berkuasa dalam kebudayaan dan merupakan bentuk pikiran dari kebudayaan.

Pralambang Jayabaya memuat unsur-unsur mitologi Melayu Polinesia, Hindu, dan Islam yang tercampur menjadi satu kesatuan (sinkretis). Hal yang sama menim­pa pula historiografi tradisional seperti babad, hikayat, atau silsilah/kronik. Perbe­daannya ialah dalam pralambang ada konsepsi mengenai masa depan (eskhaton), sedang dalam karya lama yang lain tidak ditemui konsepsi tersebut. Unsur eskha­tologis itulah yang bersama-sama dengan unsur profetis mesianistis menentukan pralambang Jayabaya sebagai falsafah sejarah.

Secara garis besar, unsur-unsur Pralambang Jayabaya dapat dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama adalah mitologi masa purba nusa Jawa yang berisi tentang kolonisasi orang Rum dan perang melawan roh, sehingga menurut Hollander semua serta tradisional merupakan mythe yang tidak memuat kenyataan historis. Dalam mitologi yang menunjukkan pengaruh Hindu, zaman dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu Kretayuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan  Kaliyuga. Bagian terakhir kemungkinan adalah masa yang penuh kekacauan dan bencana alam sebagai tanda awal datangnya Ratu Adil.

Bagian kedua berwujud kronologi atau prophetic chronology (istilah Raffles). Ini berarti, pralambang mewujudkan gambaran sejarah di Jawa, mulai dari pemuki­man pertama sampai akhir zaman yang meliputi 2100 tahun, diuraikan menurut urutan waktu. Keistimewaan kronologi ialah kecenderungan ke pembulatan menurut abad, sehingga penyusunannya tidak berdasar pada realitas sejarah dan dianggap fiktif belaka.

Fungsi dari kronologi adalah memperkuat bagian profetis, karena kronologi sebagai ramalan post eventum, konform dengan realitas historis. Fungsi lainnya adalah menghubungkan 2 (dua) bagian mitis, yaitu masa purba dan masa depan.

Bagian ketiga atau terakhir dari Pralambang Jayabaya adalah unsur mesianis­tis eskhatologis. Harapan kemasa depan ditujukan kepada raja-raja yang akan melenyapkan segala kekacauan dan kejahatan serta akan memerintah dengan adil. Kedatangan raja-raja itu sudah ditentukan dalam kronologi, misalnya Raja Tanjung Putih pada tahun 1700 (menurut serat Jayabaya versi Hollander) atau tahun 1800 dalam redaksi pralambang yang lain. 

Dalam Pralambang Jayabaya versi serat Jayabaya, mesianisme tercampur dengan eskhatologi Islam, sedang dalam versi Brandes belum terdapat unsur eskha­tologis, meskipun pengaruh Islam sudah nampak. Dengan demikian dalam Pralam­bang Jayabaya terdapat proses Islamisasi, misalnya digantinya pengertian pralaya pada akhir Kaliyuga dengan kiamat kubra. Juga tentang tokoh Imam Mahdi yang oleh umat Islam dipercaya akan muncul pada akhir zaman dan mengalahkan Dajjal sertamenegakkan hukum Islam. Dalam mesianisme di Jawa, tokoh itu diasimilasikan dengan tokoh Ratu Adil. Jadi disini ada korespondensi antara eskhatologis Islam dengan segi-segi Ratu Adilisme.

Kosmosentris dan Antroposentris

Diatas telah disebutkan bahwa dalam falsafah sejarah ingin dicari pengertian mengenai proses sejarah.  Ini berarti ingin diketahui bagaimana awal dan akhir sebuah proses sejarah. Mengenai hal ini terdapat 2 (dua) sudut pandangan.

Pertama, sejarah sebagai segi pandang kosmosentris yang berarti bahwa manusia dan segala kejadian dipandang dari sudut alam semesta. Pandangan kosmosentris mengembalikan proses sejarah sebagai proses alam yang siklis dan berulang meliputi waktu yang abadi, tidak ada akhir dan tujuannya (jadi merupakan ewige wiederkehr). Tidak ada hal yang baru, yang ada hanya kejadian purba yang berulang. Dalam suasana pikiran kosmosentris tidak ada arti bagi tindakan manusia yang hanya menjalankan sesuatu yang senantiasa terjadi dalam peredaran kejadian. Oleh karenanya tidak dikenal historisitas manusia, dan kejadian sejarah direduksikan menjadi kejadian alam. Antara manusia dan dunia sekitarnya disatukan dan tidak ada pemisahan sama sekali.

Dilain pihak ada pandangan yang membedakan manusia dan alam dunia ini. Manusia dipandang sebagai pusat kejadian, sehingga pandangan ini dinamakan antroposentris atau perkembangan kearah kesadaran historis. Kesadaran ini tidak akan berkembang selama manusia dan kosmos dipandang sebagai satu totalitas, yang dengan demikian manusia adalah identik dengan alam; sebab dalam pandan­gan kosmosentris manusia hanya diberi sifat pasif sehingga dalam melakukan parti­sipasi dengan proses kosmis manusia tidak membuat sejarah.

Namun akhirnya manusia meninggalkan pandangan ini dan cenderung untuk menguasai alam. Ia tidak menyerah kepada fatum (nasib) saja, tetapi ingin mengha­dapi kekuatan alam dengan kekuatannya. Disini manusia berperan aktif. Kejadian dianggap bukan lagi akibat tindakan supernatural, melainkan akibat perbuatan manusia. Kejadian siklis berubah menjadi kronologis dan alam pikiran siklisme berubah menjadi historisme. Dengan demikian apabila dikatakan oleh Huizinga bahwa sejarah adalah pertanggungjawaban masa silam, maka dalam pertanggung­jawaban tersebut manusialah yang menentukan arti masa silam melalui tindakan-tindakannya secara aktif.

Bukti Pralambang Jayabaya sebagai falsafah sejarah dapat ditunjukkan dengan adanya perkembangan siklisme ke historisme, dan dari mitologi ke kronologi seperti diuraikan diatas. Namun yang lebih penting adalah unsur mesianisme dan dan eskhatologi. Pralambang Jayabaya dengan mesianismenya mengarahkan pandangan kemasa depan, serta dengan eskhatologinya ke akhir zaman.

Sejarah tidak mempunyai makna jika kejadian-kejadian tidak ditujukan kemasa depan. Dengan mengarahkan sejarah kepada kedatangan Ratu Adil dimasa depan — jadi adanya tujuan/telos dalam proses sejarah — maka lebih tampak corak einmaligkeit-nya, dan alam pikiran tidak lagi siklisme tetapi linier.

Hal ini diperkuat pula oleh eskhatologi yang memberi tujuan bagi proses sejarah. Tujuan perkembangan sejarah terletak pada suatu akhir (eskhaton), atau dalam eskhaton itulah proses sejarah mencapai tujuannya. Dalam Pralambang Jayabaya, tujuan akhir ini mempunyai bentuk konkrit yaitu apokalips atau akhir dunia dan umat manusia, yakni hari kiamat.

Tinjauan Kasus

Pada tahun 1935, di Wanagiri timbul satu peistiwa yang meresahkan, yang lebih dikenal dengan peristiwa Tambakmerang. Pada waktu itu Kyai Wirasenjaya mengangkat dirinya sebagai Ratu Adil. Dia mengajarkan bahwa pada bulan Sura tahun itu akan terjadi banjir besar. Banjir itu mendahului kedatangan zaman mak­mur, sehingga dengan diam saja orang dapat memperoleh emas dan permata, dan orang-orang akan tinggal dirumah batu. Itulah sebabnya, makin lama muridnya semakin bertambah banyak.

Ketika Bupati Wanagiri meninjaunya dan menyuruh agar gerakan itu dibu­barkan karena dianggap berbahaya, para muridnya menjadi marah dan melempari dengan batu. Akan tetapi, setelah Wirasenjaya ditahan, gerakan Ratu Adil tersebut berakhir.

Ditinjau secara ekonomis, gerakan ini timbul karena Wanagiri adalah daerah minus, kering dan gersang, sehingga rakyat hidup dalam kemelaratan yang sangat parah. Dalam konteks ini, benarlah apa yang dikatakan Bung Karno bahwa keseng­saraan rakyat merupakan sebab mengapa rakyat mudah percaya dan selalu mengharapkan pertolongan seorang Kyai atau Dukun yang mengaku sebagai Ratu Adil, Imam Mahdi atau Wali.

Adapun secara sosial, gerakan semacam itu muncul sebagai reaksi terhadap penetrasi Barat dalam kehidupan masyarakat. Mereka tetap ingin memiliki institusi/lembaga tradisional yang telah didisfungsionalisasikan oleh pemerintah kolonial, dimana sebenarnya eksistensi lembaga bagi mereka merupakan conditio sine qua non. Reaksi-reaksi tersebut muncul karena dalam menerima pengaruh kebudayaan Barat, mereka tidak bersikap selektif, melainkan selalu menolak karena dianggap berbahaya, destruktif serta merusak akidah. Untuk itulah mereka menga­dakan perlawanan. Dan agar perlawanan itu lebih efektif, maka dibuatlah cerita tentang Ratu Adil.

Yang perlu dicatat disini adalah bahwa selain disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, gerakan Ratu Adil seringkali dipengaruhi/bertendensi politik, seperti peris­tiwa perjuangan Pangeran Diponegoro yaitu tentang pendirian kerajaan disebelah timur Gunung Lawu, peristiwa Malangyuda yang ingin mendirikan 3 (tiga) kerajaan di Jawa, gerakan Nurhakim yang akan mendirikan kesultanan Jawa, dan sebagain­ya. Namun tidak dapat diingkari pula bahwa semua gerakan itu mempunyai unsur lain yang sangat dominan dan melekat dihati pendukungnya, yaitu unsur religius.

Daftar Referensi

Jafar, Hasan, Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Direktorat PPPM Dirjen. Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1978
Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, Jakarta, 1984
______________ , Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional, Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta, 1986
______________ ,  Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Gramedia, Jakarta, 1986.

Tidak ada komentar: