Senin, 03 Mei 2010

Gejolak Agraria Dalam Lintasan Sejarah


Hubungan antara manusia dan tanah tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena tanah dalam kehidupan manusia mempunyai peran yang sangat vital, artinya dalam hampir semua segi kehidupannya, manusia selalu menggantungkan diri pada tanah.

Dinegara-negara yang bercorak agraris pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dibidang pertanian/perkebunan, tanah merupakan modal terbesar yang menghidupi mereka. Dalam skala yang lebih luas berarti pula bahwa tanah (baca: sumber-sumber kekayaan alam) merupakan modal yang menghidupi Bangsa dan Negara Indonesia.[1]

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang berarti pula semakin sempitnya lahan yang tersedia, dalam kehidupan sehari-hari kita lihat adanya kecenderungan orang menginvestasikan kekayaannya dalam bentuk tanah. Mereka tahu pasti bahwa tanah adalah harta yang bersifat kekal dan aman, yang semakin lama semakin tinggi nilainya.

Fenomena seperti ini merupakan persaingan yang tidak sehat antara pemilik modaldengan petani-petani atau buruh-buruh kecil. Para petani atau buruh tersebut akhirnya hanya menjadi penggarap tanah milik para bangsawan yang kaya raya (dulu disebut tuan tanah atau land lord).

Dalam kedudukannya yang demikian tadi, para buruh tani yang semakin lama semakin banyak jumlahnya, saling berebut untuk bisa menggarap tanah milik para pemodal, yang dilain pihak, si-pemodal dengan mudahnya menentukan upah yang serendah-rendahnya. Inipun barangkali masih lebih baik dibanding tanah yang jauh dari pemiliknya (tanah absentee) serta tidak dimanfaatkan sama sekali.

Selama ini memang telah ada peraturan mengenai pembatasan luas tanah maksimal dan minimal (land reform), akan tetapi dalam prakteknya sering dijumpai adanya penyelundupan hukum dibidang keagrariaan, misalnya dengan mengatas­namakan tanah yang melebihi batas maksimal kepada istri, anak-anak atau saudaranya.

Penyelundupan hukum semacam ini sudah muncul sejak dikeluarkannya larangan mengasingkan tanah (Vervreemdings verbod Stb. 1875 No. 179). Maksud pelarangan pengasingan (pelepasan atau pengoperan baik secara langsung maupun tidak langsung) tanah adalah untuk melindungi bangsa Indonesia yang kedudukan ekonomisnya lebih lemah dibanding bukan bangsa Indonesia, disamping untuk kepentingan Belanda sendiri, yakni mencegah hilangnya hasil kopi di daerah Pasuruan. Namun dalam prakteknya, pengasingan itutak bisa dihindarkan dengan adanya sistem strooman atau sistem kedok atau sistem ali baba.[2] Sebagai contoh misaln­ya seorang Tionghoa (si Baba) membeli tanah dari orang Indonesia (si Ali), tetapi jual beli itu dilakukan atas nama istrinya yang tidak dikawin secara resmi.

Kemungkinan lain adalah munculnya pialang (perantara atau broker) tanah yang rakus. Mereka berupaya mendapatkan tanah dengan menekan harganya jauh dibawah kewajaran, kemudian dijual kepada developer atau perusahaan swastayang akan mendirikan suatu proyek. Jadi dalam hal ini tanah dipandang sebagai komoditi yang teramat menguntungkan secara ekonomis.

Jauh sebelum berkembangnya masalah pertanahan yang begitu rumit dan kompleks, pada masyarakat Jawa telah tertanam suatu paham atau keyakinan, dan sekaligus keberanian untuk mempertahankan tanah meski hanya sejengkal dari gangguan orang lain. Keberanian itu dirumuskan dengan ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi tumekaning pati, yang kira-kira arti harfiahnya adalah dipe­gangnya kening oleh orang lain dan diganggunya sejengkal tanah oleh orang lain, akan dibela sampai mati. Ungkapan ini saja sudah mengingatkan kepada kita agar lebih berhati-hati dalam menghadapi persoalan tanah.

Sejarah telah secara arif memperlihatkan bagaimana keresahan yang terjadi dikalangan petani dan kawula alit (wong cilik) pada umumnya, telah mengakibatkan pertentangan, pertikaian bahkan pertempuran yang secara potensial mampu menggoncangkan tertib tradisional. Sartono Kartodirdjo secara panjang lebar dan mendalam mengungkapkan gerakan-gerakan petani yang dalam realisasinya hampir selalu dipengaruhi oleh paham-paham keagamaan (ide perang sabil) dengan perpa­duan konflik-konflik duniawi (sosial ekonomi) itu.[3]

Setelah Indonesia merdeka-pun, kerawanan sosial yang diakibatkan oleh peraturan pertanahan yang dirasakan kurang adil, masih sering timbul, dan memun­cak pada peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI.

Sebagaimana kita ketahui, struktur agraria pada waktu itu terbagi menjadi tiga strata. Dipuncak struktur terdapat kelas tuan tanah besar (pemilik sawah dengan luas 5 ha keatas), petani sedang (0,6 ha-5 ha), dan petani kecil (kurang dari 0,5 ha). Disamping ketiga golongan itu, terdapat sebuah komponen penting lainnya dalam struktur agraria di Jawa, yaitu kelas pekerja tak bertanah atau buruh tani.[4]

Ketimpangan sosial ini dimanfaatkan oleh PKI untukmenarik massa sebanyak-banyaknya dengan alasan membela kepentingan mereka. Dalam program PKI yang dirumuskan menjelang Kongres Nasional Barisan Tani Indonesia (BTI) ke VI dinyata­kan bahwa semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing dan Indonesia akan disita tanpa ganti rugi, dan kepada petani tak bertanah dan petani miskin akan dibagikan tanah secara cuma-cuma. Kemudian ditetapkan semboyan baru seperti "tanah untuk kaum tani", "hak milik perseorangan untuk kaum tani", dan sebagainya, sehingga dalam satu dasawarsa keanggotaan PKI/BTI meningkat dari 400 ribu menjadi 7 juta.[5]

Pada tahun 1960 Pemerintah berusaha mengatur batas tertinggi pemilikan tanah dan sewa tanah dengan mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Bagi Hasil. Akan tetapi kedua peraturan ini tidak mendapat dukun­gan penuh dari semua partai, sehingga proses perubahan agraria yang diharapkan, berjalan tidak begitu lancar. BTI dan PKI beranggapan bahwa hal ini merupakan tindakan sengaja dari para tuan tanah dan para pejabat yang bekerjasama dengan mereka, sehingga pada tahun-tahun 1963-1964 mereka melancarkan "gerakan aksi sepihak" yakni menyerbu tanah kosong dan menduduki tanah perkebunan secara tidak sah. Puncak dari semua aksi-aksi ini adalah gagalnya Pemberontakan Komunis 30 September 1965.

Dalam konteks ini benarlah kata Lenin bahwa rakyat jelata adalah "orang tolol berguna". Tolol, karena tidak mengetahui diri mereka ditipu, dan berguna karena mereka menguntungkan kaum komunis.[6]

Dan setelah lebih 30 tahun berlakunya UUPA dan UUBH, persoalan-persoalan itu bukannya semakin reda, sebaliknya justru semakin bertambah pelik. A.P. Par­lindungan mencatat banyaknya benturan tersebut, yakni:

"Adanya percaloan, penggusuran, tidak memadainya biaya ganti rugi yang dianggap terlalu besar, penyalahgunaan jabatan, pungli, sertifikat aspal, serti­fikat ganda, penjualan tanah yang dikuasai Negara oleh oknum yang tidak berhak atau tidak dikuasakan, ekses-ekses dari pemindahan penduduk, larin­ya para transmigran, dipusokannya sejumlah rumah di daerah transmigrasi, terjadinya fragmentasi tanah yang berkelanjutan, terjadinya tanah-tanah absenti, pelanggaran atas luas penguasaan tanah (larangan latifundia), tidak berjalannya usaha pencetakan sawah, tidak berjalannya Undang-Undang Bagi Hasil, adanya tanah-tanah terlantar dari sejumlah perkebunan, penyerobotan oleh rakyat yang lapar tanah terhadap tanah-tanah tidak produktif, tidak berjalannya landreform yang sudah diperintahkan GBHN dan Repelita terma­suk tidak jelasnya siapa yang harus menangani petani ladang berpindah, peraturan-peraturan yang tumpang tindih dan saling bertentangan, peraturan-peraturan yang sebenarnya diadakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sudah timbul namun tidak berorientasi kedepan, pasifnya aparat agraria dalam gejolak keagrariaan, tidak jelasnya siapa yang harus menangani satu bidang keagrariaan (BPN atau Menteri Pertanian), buruknya pelayanan di kantor-kantor agraria, dan sebagainya."[7]

(tulisan ini adalah salah satu Bagian dalam Buku saya berjudul: ”Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Navilla Yogyakarta, 2000).



[1].    Dalam Ilmu Negara, bahkan dinyatakan bahwa tanah atau wilayah merupa­kan salah satu syarat terbentuknya negara, disamping adanya pemerintahan, penduduk dan kemampuan negara itu dalam melakukan hubungan internasional (pasal 1 Konvensi Montevideo Tahun 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara).
[2].      Soedikno Mertokoesoemo, Perundang-Undangan Agraria, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, tanpa tahun, hal. 14.
[3].      Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Sinar Harapan Jakarta, 1984. Dalam his­toriografi tradisional, gerakan-gerakan semacam itu dikenal sebagai paham Ratu Adil (Millenarianisme) atau Juru Selamat (Messianisme). Ratu Adil adalah suatu harapan yang sangat dinanti-nantikan kedatangannya oleh rakyat Jawa pada awal abad 20 dan sebelumnya, untuk menciptakan suatu kedamaian serta mengakhiri kekacauan-kekacauan serta kerusuhan-kerusuhan. Jayabaya, raja Kediri yang memerintah pada tahun 800, telah meramalkan dunia ini dari awal hingga akhirnya. Sebelum akhir (tujuan/telos) tercapai, akan didahului oleh keadaan-keadaan deka­densi, demoralisasi, degenerasi dan korupsi, keadaan mana akan berakhir setelah kedatangan si Juru Selamat atau Ratu Adil. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, Pemikir­an dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif, Gramedia Jakarta, 1982, terutama Bab IX, Catatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah Indonesia (hal. 171 -203).
[4].      Sartono Kartodirdjo, Ratu ... op.cit., hal. 113.
[5].      ibid., hal. 127.
[6].      A.Z. Abidin dan Baharudin Lopa, Bahaya Komunisme", Bulan Bintang Jakarta, 1971.
[7].      A.P. Parlindungan, Politik dan Hukum Agraria di Jaman Orde Baru, dalam Prisma No. 4 tahun 1989, hal. 3-4.

Tidak ada komentar: