Minggu, 02 Mei 2010

Tim dalam Praktik Administrasi Publik


KETIKA masyarakat Kota Bandung mengeluhkan adanya pasar tumpah (pedagang pasar yang menutupi badan jalan) di daerah Andir, Kepala Dinas Pasar menyatakan akan membentuk tim bersama instansi terkait untuk menangani masalah (Pikiran Rakyat, 30-5-2002). Pada edisi yang sama, PR juga memberitahukan bahwa khawatir makin merebaknya peredaran VCD porno, Pemda Kota Sukabumi, segera membentuk Tim Pembantu Pembina Perfilman Kota Sukabumi (Tippika). Demikian pula saat kinerja PT Kereta Api menurun yang diindikasikan oleh banyaknya kecelakaan, Menteri Perhubungan segera membentuk tim auditor independen yang bertugas mengaudit seluruh unsur yang berhubungan dengan perkeretaapian (Tempo, 27-12-2001). Di bidang politik, pemerintah Pusat akan membentuk tim untuk menangani kasus Ambon dengan menganalisis tindakan-tindakan atau perbuatan yang sebelumnya terjadi. Tim analisis ini akan memperkuat tim asistensi yang sudah dikirimkan ke Ambon (Detik.com, 1-5-2002).

Lembaga judikatif seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung juga tidak luput dari kebiasaan membentuk tim untuk mencari solusi atas suatu perkara. PR tanggal 11-4-2002 memberitakan bahwa Pengadilan Negeri (PN) Kab Ciamis bisa saja membentuk tim guna memberikan pertimbangan-pertimbangan atau nasihat menyangkut masalah hukum, termasuk dalam kaitan kontroversi laporan pertanggungjawaban (LPJ) Bupati Ciamis Oma Sasmita. Sementara Kompas (5-3-2002) menyoroti tentang janji pimpinan MA membentuk Tim Klarifikasi atas putusan kasasi Joko Tjandra tanggal 28 Juni 2001. Bahkan lembaga perwakilan (MPR/DPR/DPRD) paling dikenal latah dan senang membentuk beragam tim / panitia khusus dalam hal terjadi sesuatu yang dianggap menyimpang.

Beberapa tim yang telah, sedang, dan akan dibentuk sebagaimana dikutip diatas, hanyalah sedikit dari ratusan tim yang dibentuk oleh institusi publik di Indonesia. Keberadaan sebuah “tim” dewasa ini seolah-olah telah menjadi ujung tombak tunggal yang paling manjur guna menghadapi masalah atau peristiwa tertentu. Maka, jadilah “tim” sebagai pilihan pertama bagi instansi Pusat maupun Daerah, baik kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif, untuk menganalisis masalah sehari-hari yang sederhana hingga problem kenegaraan yang kompleks, baik dibidang poitik, ekonomi maupun sosial budaya. Singkatnya, manajemen pemerintahan kita adalah “manajemen tim”, dan praktek administrasi publik di Indonesia tidaklah lebih dari praktek sebuah “tim”.

PADA dasarnya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan keberadaan tim atau meragukan efektivitas tim. Model tim atau kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa “tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan efisien dari pada lembaga induk yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari sistem birokrasi publik.

Namun jika tradisi membentuk satu tim untuk satu kasus (one team one case) ini berkelanjutan dan berlebihan, dalam kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk dari kegagalan birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-administrasi. Ada beberapa alasan kuat bahwa terlalu banyaknya tim yang dibentuk merupakan bukti empiris terjadinya “kegagalan birokrasi”.

Pertama, hal itu menunjukkan tidak efektifnya kelembagaan dan fungsi manajemen yang telah ada, sehingga perlu dibentuk lembaga yang bersifat ekstra struktural. Pembentukan lembaga pemerintahan baik di Pusat (Kementerian, Lembaga setingkat Menteri, LPND, BUMN dsb), maupun di Daerah (Dinas, Lembaga Teknis, BUMD, UPTD dsb), seharusnya sudah cukup efektif untuk menjalankan semua kewenangan yang ada, termasuk berbagai implikasi yang mungkin timbul dari penyelenggaraan kewenangan tersebut. Pada hakekatnya, birokrasi administrasi publik didesain untuk jangka panjang / permanen dengan penggunaan sumber daya yang relatif bersifat tetap. Sedangkan “tim” adalah lembaga yang bersifat temporer dengan alokasi sumber daya yang disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Dikaitkan dengan berbagai latar belakang pembentukan tim sebagaimana disebutkan diatas, sesungguhnya pembentukan tim tidaklah terlalu dibutuhkan karena permasalahan tersebut merupakan bagian integral dari kewenangan dari lembaga induk. Justru adanya “tim” akan menyebabkan terjadinya overlapping dalam hal kewenangan dan sumber daya, yang secara yuridis maupun administratif jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Yang lebih tidak masuk akal adalah jika “tim” memiliki kewenangan yang jauh lebih besar dari pada kewenangan organisasi yang membentuknya (over excessive), sehingga keputusan “tim” memiliki kekuatan yang jauh lebih mengikat. Hal ini ibarat orang tua yang “tunduk” kepada kemauan dan segala tindak tanduk anaknya.

Kedua, pembentukan “tim” yang terkesan bersifat mendadak dan temporer, menggambarkan dengan jelas kurang adanya sense of recognition pejabat birokrasi terhadap suatu permasalahan yang tengah dihadapi atau terhadap suatu kebijakan / keadaan yang mengandung potensi permasalahan. Akibatnya, setiap kasus tidak diselesaikan secara preventive melainkan curative. Dengan kata lain, “tim” semata-mata merupakan respon dan jawaban pemerintah terhadap suatu kasus atau kejadian tertentu yang telah terjadi. Kondisi ini sekaligus menunjukkan kelemahan manajerial dari sistem administrasi publik yang sangat parsial, piecemeal, dan tidak komprehensif dalam menyikapi persoalan.

Ketiga, tidak dapat dihindari bahwa “tim” cenderung menggunakan sumber daya yang terpisah dari sumber daya yang telah ada di instansi induk. Khususnya dalam aspek finansial, sebuah “tim” biasanya tidak dibiayai dari anggaran rutin yang sudah dialokasikan pada awal tahun anggaran, tetapi darii anggaran lain yang sifatnya “proyek”. Oleh karenanya, keberadaan “tim” akan menyebabkan timbulnya pembiayaan ganda (double financing), sehingga mendorong terjadinya pemborosan atau inefisiensi dalam pemakaian sumber-sumber daya.

Akhirnya, adanya tumpang tindih kewenangan dan sumber daya, pemborosan, serta kekurangakuratan dalam antisipasi dampak kebijakan, mengantarkan kita pada satu kesimpulan masih sangat rendahnya akuntabilitas sektor publik. Dilihat secara parsial, kemampuan “tim” dalam menyelesaikan satu persoalan barangkali bisa dibilang sebagai kinerja yang membanggakan. Namun dilihat secara sistemik, kesimpulan seperti itu jelas sangat tergesa-gesa karena tidak jarang “tim” justru menimbulkan masalah lain yang lebih luas (trade off). Dan birokrasi atau administrasi publik adalah sebuah sistem besar yang tidak dapat diukur / digeneralisir semata-mata oleh keberhasilan kecil yang tidak simultan.

MENGINGAT lebih banyaknya cost yang harus ditanggung dari pada benefit yang didapat dari pembentukan “tim”, maka perlu dicari model dan mekanisme kelembagaan yang lain untuk mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat sporadis, temporer, atau dalam skala kecil. Pilihan pertama tentu saja mengefektifkan lembaga yang telah ada dan membatasi kebiasaan membentuk tim. Kedua, membentuk “tim” lintas sektoral dengan prinsip “amalgamasi”. Artinya, pembentukan “tim” yang berimplikasi pengembangan struktur dapat dimungkinkan sepanjang diikuti dengan perampingan struktur dari organisasi yang membentuk “tim” tersebut. Dan ketiga, dapat dipikirkan mekanisme outsourcing atau contract kepada pihak ketiga yang benar-benar kapabel dalam aspek tertentu. Apapun alternatif yang akan dipilih, efisiensi birokrasi dan pelayanan prima kepada masyarakat tetap harus ditempatkan dalam prioritas pertama dalam praktek administrasi publik di Indonesia © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar: