DALAM wacana ilmiah – khususnya disiplin administrasi, manajemen dan organisasi – terdapat perdebatan klasik yang tidak kunjung henti. Disatu sisi, sekelompok pakar mengatakan bahwa organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari administrasi dan manajemen. Dari proses perencanaan pembentukan kelembagaan hingga hingga evaluasi terhadap kinerjanya, merupakan aktivitas administratif dan atau manajerial. Sementara sekelompok pakar lain, meyakini bahwa administrasi dan manajemen hanya dapat berlangsung dalam konteks keorganisasian. Dengan kata lain, tidak akan pernah ada organisasi dan manajemen jika tidak ada wadah kelembagaannya.
Dalam dimensi akademik, perdebatan itu memang diperlukan. Bahkan tidak ada salahnya jika pakar yang berbeda pendapat tersebut bertemu dalam satu meja untuk menentukan mana yang lebih dahulu ada : telor atau ayam; serta mana yang lebih luas: organisasi/kelembagaan atau organisasi/manajemen. Namun dalam dimensi empirik, jika perdebatan tadi diperpanjang, tidak menutup kemungkinan menjadi satu faktor kontra produktif. Sebab, secara praktis setiap organisasi (publik maupun privat) hanya memiliki satu tujuan, yaitu bagaimana menciptakan produktivitas sebesar-besarnya serta dalam arti seluas-luasnya. Dengan demikian, berbagai konsep organisasi dan konsep administrasi/manajemen, tidak akan berarti jika tidak mampu memberi kontribusi positif bagi tercapainya produktivitas organisasi tersebut.
Atas dasar pemahaman tersebut, maka yang lebih dibutuhkan oleh suatu organisasi adalah upaya penataan seluruh aspek terkait, yakni tujuan, tugas pokok dan fungsi, wewenang, struktur, hubungan kerja, formalitas, sumber-sumber daya, serta aspek personil/sumber daya manusia. Dengan melakukan penataan pada delapan aspek organisasional inilah, produktivitas kerja individual maupun kelembagaan diharapkan dapat diwujudkan secara lebih baik.
Dalam perspektif tentang teori transformasi organisasi, keberadaan organisasi yang maju dan modern merupakan sintesa dari dialektika organisasional tentang kegagalan dan langkah-langkah pembenahan. Dengan kata lain, proses penataan ini menjadi strategi yang tidak boleh dilupakan jika ingin membentuk organisasi yang handal, mandiri serta "berkelas dunia". Disamping hal-hal tersebut diatas, tentu saja lingkungan ekternal organisasi tiidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab, organisasi manapun selalu terikat dengan lingkungannya, berinteraksi dan saling mempengaruhi (ecological entity).
Dalam jangka waktu kedepan, setiap organisasi akan dihadapkan pada persaingan yang makin tajam, dan ini membutuhkan daya kompetisi yang mumpuni. Oleh karenanya, penataan kelembagaan adalah salah satu jawabannya.
* * *
Pada bagian lain, kitapun sering mendengar cerita tentang Robinson Crusoe yang hidup seorang diri di tengah pulau terpencil dan dihuni oleh berbagai binatang liar. Namun dengan kekuatan, keteguhan dan keterampilan yang dimiliki, si Robinson ini tetap dapat bertahan hidup (survive) sebagaimana wajarnya manusia yang membutuhan pangan, papan serta kebutuhan lainnya.
Cerita-cerita diatas mengilustrasikan kepada kita bahwa seseorang, sekelompok masyarakat, maupun suatu bangsa, selalu mengalami interaksi dengan keadaan-keadaan di sekelilingnya. Manusia dan organisasi, selalu terkait dan atau merupakan satu kesatuan dengan ekologi dan atau lingkungannya (ecological entity). Dan yang kerap kali terjadi adalah bahwa interaksi tersebut lebih banyak mengandung potensi ancaman dari pada peluang.
Untuk menghindari, mengatasi serta mengalahkan ancaman tadi, maka setiap orang, setiap organisasi dan setiap negara mutlak harus memiliki kekuatan yang dapat diandalkan. Dan kekuatan inilah yang sering disebut dengan daya saing (competitiveness). Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang.
Dalam kaitan ini, beberapa strategi yang disarankan untuk memperkuat daya saing sekaligus memenangkan persaingan adalah perlunya dilakukan reformasi manajemen, yang menyangkut perubahan dalam tiga dimensinya, yakni dimensi struktur, sistem dan kultur. Dalam dimensi struktur, organisasi yang rigid dengan prinsip big is beautiful perlu diubah menjadi fleksibel dengan prinsip small is beautiful. Dalam dimensi sistem, siklus pengawasan dengan model quality control circle menjadi total quality management. Sedangkan dalam dimensi kultur, prinsip competition harus berubah menjadi prinsip coopetition.
Disini jelaslah bahwa era globalisasi yang ditandai oleh perdagangan bebas antar negara (international trade) merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi dengan waspada dan hati-hati disertai dengan kesiapan sumber daya manusianya, baik dari kalangan aparatur dan pelaku ekonomi maupun lapisan masyarakat seluruhnya. © Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar