Senin, 03 Mei 2010

Implikasi Yuridis Daerah Otonom dan Daerah Istimewa: Sebuah Perbandingan


A.  Latar Belakang dan Tujuan Pemberian Otonomi Kepada Daerah


Dalam bab Pendahuluan sudah disinggung sedikit tentang fungsi dan tujuan negara, yakni bahwa pada jaman dahulu negara semata-mata hanya berfungsi sebagai penjaga malam, sedang pada jaman modern ini negara tidak sekedar menciptakan keamanan, tetapi juga bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan keamanan dan kesejahteraan rakyat inilah Pemerintah melakukan pemerintahan dalam suatu negara.

Pengertian "pemerintah" dan "pemerintahan" disini dipakai dalam arti luas sesuai dengan ajaran Trias Politika Montesquieu yang membagi pemerintahan atas legislative power, executive power dan judicial power, atau ajaran Catur Praja van Vollenhovenyang menambahkan bagian ke-4 yaitu Kepolisian. Selama ini, negara Indonesia dalam praktek kenegaraan masih banyak berorientasi kepada kedua ajaran tersebut.

Dalam melakukan pemerintahan secara luas, Pemerintah berpegang pada 2 (dua) macam asas, yaitu asas keahlian dan asas kedaerahan.[1] Asas keahlian terli­hat pada susunan pemerintahan di Pusat, dimana semua soal-soal diolah oleh ahli-ahli, misalnya dalam susunan Kementerian. Pimpinan kementerian itu -- berdasarkan asas keahlian --seharusnya adalah ahli-ahli urusan-urusan yang menjadi kompeten­sinya. Sedangkan asas kedaerahan mutlak harus diberlakukan manakala Pemerintah tidak lagi dapat mengurus semua kepentingannya dikarenakan semakin berkem­bangnya masyarakat.

Dalam asas kedaerahan inilah terkandung 2 (dua) macam prinsip pemerinta­han, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi.[2] Dekonsentrasi ialah pelimpahan sebagian dari kewenangan Pemerintah Pusat kepada alat-alat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah. Alat pemerintah pusat ini berkewajiban melaksanakan pemerin­tahan sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu berdasarkan kewenangannya, serta bertanggung jawab langsung kepada Pemerintah Pusat.

Adapun desentralisasi ialah penyerahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut Amrah Muslimin, paling tidak ada 3 (tiga) macam desentralisasi, yaitu:

·        Desentralisasi politik ialah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di Daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah itu.
·        Desentralisasi fungsionil ialah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan untuk mengurus suatu macam kepentingan dalam masyarakat, misal-nya Subak di Bali.
·        Desentralisasi kebudayaan ialah pemberian hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaannya sendiri, misalnya kewenangan yang diberikan kepada kedutaan asing demi pendidikan warga negaranya.[3]

Kewajiban pemerintah melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan ini pada dasarnya adalah dalam rangka menjalankan amanat yang terkandung dalam jiwa pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya, yang antara lain berbunyi:

Pasal 18
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang .....”

Penjelasan Pasal 18
“Oleh karena Negara Indonesia itu adalah "eenheidstaat", maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam ..... daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang .....”

Undang-undang yang dimaksud dalam pasal diatas adalah UU No. 22 Tahun 1948 diperbarui dengan UU No. 1 Tahun 1957 diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 1965 dan diperbarui lagi dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dimana secara tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom (atas dasar asas desentralisasi) dan Wilayah Administratif (atas dasar asas dekon­sentrasi).

Disamping asas desentralisasi dan dekonsentrasi, UU No. 5 Tahun 1974 juga memberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di Daerah menurut asas tugas pembantuan (medebewind) yang mengandung arti kewenangan Pemerintah Daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatnya, atas biaya dan tang­gung jawab terakhir dari pemerintah tingkat atasan.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk memungkin­kan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangu­nan (Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 bagian I angka 4 huruf a).

Senada dengan tujuan diatas, Dr. Solly Lubis mengemukakan bahwa di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebaiknya pelaksanaan sistem desentralisasi diabdikan kepada tujuan melaksanakan pembangunan ekonomi dan sosial secara nasional, membina dan memelihara kesatuan dan persatuan nasional, menegakkan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah yang mampu bekerja secara efektif dan efisien.[4]

B. Isi / Luas Otonomi Daerah


Sejarah ketatanegaraan di Indonesia menunjukkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah dari waktu ke waktu menggunakan prinsip yang berbeda-beda. Perundang-undangan sebelum tahun 1974 memuat prinsip "otonomi riil dan seluas-luasnya", sedang UU No. 5 Tahun 1974 memuat prinsip "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab".

Istilah "seluas-luasnya" tidak lagi dipergunakan dalam undang-undang yang baru karena berdasarkan pengalaman, istilah tersebut dapat menimbulkan kecen­derungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN. Itulah sebabnya prinsip "se­luas-luasnya" diganti dengan "nyata dan bertanggung jawab". Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan diselu-ruh pelosok negara, serasi dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa masalah utama yang ditimbulkan oleh geopolitik Indonesia yang berbentuk kepulauan dalam kaitannya dengan pemberian otonomi kepada Daerah adalah usaha mencari keseimbangan antara kecenderungan sentralisme dengan usaha desentralisasi. Kalau sentralisme terlalu kuat, maka seringkali timbul reaksi di daerah-daerah dalam bentuk pemberontakan seperti pada tahun 1950-an, disebabkan adanya anggapan bahwa perluasan birokrasi nasional merupakan usaha mensentralisasi daerah. Sebaliknya, bila desentrali­sasi untuk daerah terlalu besar, dikhawatirkan timbul "provinsialisme" yang sempit dan menuntun kepada bentuk negara federasi.[5]

Oleh karena Negara Indonesia adalah negara kesatuan, maka pokok pangkal masalah otonomi adalah prinsip bahwa Pemerintah Pusat berwenang mempunyai campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di Daerah, dan kewenangan Pemerintah Pusat ini terdapat pada suatu perumusan umum dalam UUD. Pada hakekatnya Pemerintah Pusat dapat mencampuri urusan apapun juga, asal dapat dikatakan berkenaan dengan kepentingan umum.

Mengenai luasnya otonomi, hal ini tergantung dari sejarah pembentukan tiap-tiap negara, apakah otonomi itu diberikan dari atas (Pemerintah Pusat) ataukah otonomi itu berkembang dari bawah dan oleh Pemerintah Pusat atas dasar permu­syawaratan diberi dasar formil yuridis. Menurut Amrah Muslimin, berlandaskan ajaran Catur Praja van Vollenhoven, otonomi mencakupi aktivitas membentuk perundangan sendiri (zelfwetgeving), melaksanakan sendiri (zelfuitvoering), melaku­kan peradilan sendiri (zelfrechtspraak) dan melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf-politie).[6] Hanya saja, aktivitas dalam lapangan peradilan dan kepolisian, sangat terbatas.

Kalau kita perhatikan, pada umumnya kewenangan otonom daerah-daerah di Indonesia berasal dari pemberian Pemerintah Pusat yang dituangkan secara formal dalam Undang-undang Pembentukan suatu Propinsi, seperti UU No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur, UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah, UU No. 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 dan No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Sumatera Selatan dan Sumatera Utara, dan lain-lain.

Perlu diketahui bahwa penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Daerah dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian maka isi otonomi itu berbeda antara Daerah yang satu dengan lainnya. Tetapi biasanya, urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban yang termuat dalam UU Pembentukan Propinsi maupun Daerah dibawahnya yang keluar berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 meliputi bidang-bidang: umum, pemerintahan umum, agraria, pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung, pertanian dan perikanan, kehewanan, kerajinan, perdagangan dalam negeri, perindustrian dan koperasi, perburuhan dan sosial, pengumpulan bahan makanan dan distribusinya, penerangan, pendidikan dan kebudayaan, kese­hatan, lalu lintas dan angkutan bermotor, dan perusahaan.

Menurut penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 bagian I 3b, urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini, prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perenca­naan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksananya adalah perangkat Daerah itu sendiri, yaitu terutama dinas-dinas Daerah.

Akan tetapi, meskipun berbagai urusan telah diserahkan kepada Daerah, tanggung jawab terakhir terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada ditangan Pemerintah. Oleh karena itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah itu apabila perlu dapat ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah. Misalnya apabila urusan tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas dan lebih tepat diurus langsung oleh Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya.

Bahkan, sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung­jawab, UU No. 5 Tahun 1974 membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom, yaitu apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tang­ganya sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah (Penje­lasan UU No. 5 Tahun 1974 bagian I angka 4a, poin 4 dan 5).

Untuk memperoleh pengertian yang lebih lengkap mengenai isi urusan rumah tangga Daerah, ada baiknya kita menengok kepada UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No.18 Tahun 1965.

Pasal 39 UU No. 18 Tahun 1965 ayat (1) dengan tegas menentukan bahwa Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Tetapi ketentuan yang kelihatannya mudah dimengerti itu mengandung banyak kesulitan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain, apakah sebetulnya yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu ? Dan apa isi urusan rumah tangga Daerah itu ?

Terhadap permasalahan diatas, Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1957 yang dimuat kembali dalam penjelasan UU No. 18 Tahun 1965 menjelaskan:

·        Dalam negara hukum seperti negara kita ini, maka kebijaksanaan mengenai pembahagian kekuasaan perlu disalurkan dalam peraturan perundangan, sehing­ga yang tidak dimasukkan dalam peraturan perundangan itulah yang menjadi lapangan kebijaksanaan Daerah.
·        Jika kita telah mengerti apa yang dimaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya dan apa yang disebut kepentingan umum, yaitu urusan dan kepentingan Pusat yang tidak diatur secara tertulis, maka nyatalah bahwa yang selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan masyarakat dalam negara itu.

Dengan demikian pembagian kekuasaan yang demikian itu bukan pembagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu, hal mana terutama disebabkan karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat daerah itu sendiri yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri (penjelasan UU No. 18 Tahun 1965 dan penjelasan UU No. 1 Tahun 1957 bagian Umum Ad. 1).

Akan tetapi untuk memberi tuntunan kepada daerah-daerah yang baru diben­tuk, agar daerah-daerah itu sudah dapat mengetahui urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga daerahnya, maka dalam UU Pembentukannya sebagai pangkal harus ditetapkan urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga daerah, dengan disertai alat perlengkapan, belanja dan pendapatan daerah yang dibentuk itu.[7]

Akhirnya, UU No. 18 Tahun 1965 memberikan batas-batas kewenangan daerah sebagai berikut:

·        Dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya, Daerah tidak dapat menjalankan kekuasaan diluar batas wilayahnya.
·        Tidak diperbolehkan mencampuri urusan rumah tangga Daerah lain yang secara positif enumeratif telah ditentukan dalam UU Pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkal, atau urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah atau Pemerintah Daerah lainnya.
·        Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan memasuki hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang ada di bawahnya.
·        Bilamana keputusan daerah bertentangan dengan kepentingan umum, UU, Peraturan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi, maka keputu­san itu dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh penguasa yang berwenang.

C. Implikasi Daerah Istimewa (Yogyakarta)

Salah satu faktor terpenting dalam Daerah Istimewa (c.q. DIY), dan merupa­kan alasan yang membedakannya dengan daerah lain adalah kenyataan bahwa sejak semula DIY yang terbentuk dari gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Paku Alaman, sudah merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, sedang daerah-daerah otonom lainnya bukan merupakan badan-badan kesatuan pemerintahan yang kita warisi dari jaman yang lampau, tetapi adalah badan-badan pemerintahan yang diciptakan dengan undang-undang nasional sesudah berdirinya Negara RI pada tahun 1945.

Dengan kata lain, urusan-urusan rumah tangga diluar DIY adalah otonomi berdasar pemberian dari Pemerintah Pusat (top-down), sedang urusan-urusan rumah tangga DIY adalah otonomi yang sejak semula telah dimiliki (otonomi bawaan) dan melanjutkannya pada jaman RI.

Sedikit uraian dibawah ini akan memberi gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan Kasultanan sebagai negara yang berdaulat.

Karena Kasultanan Yogyakarta diperlakukan sebagai negara kecil, maka kedudukannya tidak diatur secara sepihak oleh Pemerintah Jajahan Belanda dengan ordonantie, melainkan diatur dalam sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal sebagai wakil Pemerintah Hindia Belanda dan Sri Sultan sebagai wakil Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian yang harus diperbaharui setiap kali terjadi pergantian Sultan ini disebut politiek contract.

Menurut politiek contract terakhir antara Sri Sultan Hamengku Buwana IX dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Maret 1940 (Stb. 1941 No. 47), Kasultanan Yogyakarta sebagai suatu negara kecil di dalam lingkungan Hindia Belanda masih mempunyai kekuasaan-kekuasaan yang banyak.

Pada saat itu Kasultanan Yogyakarta masih mempunyai peradilan sendiri sebagai badan yudikatif meskipun hanya berwenang mengadili perkara-perkara dari keturunan Sultan Yogyakarta mulai graad satu sampai dengan graad empat, baik meliputi perkara sipil maupun kriminal. Bahkan sebelum keluarnya Petunjuk Gunsei­kan tanggal 1 Agustus 1942, Kasultanan Yogyakarta memiliki beberapa kelompok prajurit bersenjata sebanyak hampir 1000 orang. Berdasar pasal 4 dan 5 petunjuk Gunseikan itu, maka prajurit hanya diperkenankan untuk menjaga Ko (Sultan) dan Keraton.

Dibidang perindustrian, jika daerah diluar DIY berlaku peraturan Hinder Ordonantie (HO) yaitu setiap usaha yang menimbulkan kebisingan atau menggang­gu masyarakat sekitarnya harus mendapat ijin HO, maka di DIY terdapat peraturan yang disebut Pranatan Reridhu yang tertuang dalam Rijksblad Kasultanan. Dibidang pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung, DIY sudah memiliki dinas PDG (Pengair­an, Djalan dan Gedung), sedang diluar DIY berlaku aturan Algemene Water Regle­ment (AWR) tahun 1934.

Kewenangan-kewenangan otonom seperti inilah yang dimaksud dengan hak asal-usul atau hak yang bersifat autochtoon, yang merupakan awal mula timbulnya hak istimewa dalam Negara Kesatuan RI (hal. 11)

Mengingat hal-hal tersebut diatas, kiranya dapat dimengerti apabila dalam UU Pembentukan DIY yakni UU No. 3 Tahun 1950 tepatnya pasal 4 ayat (4) dinyata­kan bahwa: ”Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat (1) diatas, yang dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogya­karta sebelum dibentuk menurut UU ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang.

Agaknya dapat dimengerti pula bahwa ketentuan seperti pasal 4 (4) ini tidak terdapat pada UU Pembentukan Propinsi lain. Ini merupakan hal yang logis, sebab pada waktu pembentukannya propinsi-propinsi itu belum mempunyai kekuasaan apa-apa, sehingga kekuasaannya harus diisi oleh Pemerintah Pusat. Dan karena sebelumnya tidak memiliki kekuasaan / kewenangan dalam urusan tertentu, maka dalam UU Pembentukannyapun tidak diperlukan adanya ketentuan peralihan seperti tersebut diatas.

Meskipun kewenangan DIY sangat besar, tetapi lambat laun ada sebagian dari wewenang itu yang diserahkan kepada Pemerintah RI sebelum UU No. 3 Tahun 1950 dikeluarkan. Wewenang yang diserahkan itu adalah:

·        Kantor penerangan DIY menjadi Jawatan Penerangan DIY (Japendi) yang berada langsung dibawah Kementrian Penerangan.
·        SMP dan yang setingkat, SMA dan yang setingkat, diserahkan kepada Kemen­trian P dan K.
·        Dihapuskannya Pengadilan Keraton Darah Dalem oleh Pemerintah Pusat karena menghilangkan forum privilegiatum bagi Sri Sultan dan keturunannya sampai dengan graad keempat.

Membicarakan mengenai implikasi yuridis DIY setelah tahun 1950, terdapat kenyataan bahwa masalah yang paling aktual adalah dalam bidang agraria dan dalam hal kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Untuk diskusi masalah agraria, mula-mula harus dikembalikan kepada keten­tuan pasal 4 ayat (1) UU No.3 tahun 1950 yang secara eksplisit mencantumkan urusan agraris sebagai salah satu urusan rumah tangga DIY. Kemudian dalam lam­piran UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan DIY, menurut pasal 4 ayat (2) angka III, dijelaskan bahwa urusan agraria (tanah) meliputi:

1.                 Penerimaan penyerahan hak "eigendom" atas tanah "eigendom" kepada negeri (medebewind).
2.                  Penyerahan tanah negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan atau Kementrian lain atau kepada daerah otonom (medebewind).
3.                  Pemberian ijin membalik nama hak "eigendom" dan "opstal" atas tanah, jika salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing (medebewind).
4.                  Pengawasan pekerjaan daerah otonam dibawahnya tentang agraris (sebagian ada yang medebewind).

Dalam prakteknya, dapat kita lihat bahwa kewenangan DIY dibidang agraris tidak terbatas meliputi 4 hal tersebut, tetapi juga dalam pemberian bukti hak atas tanah berdasar Perda DIY No. 5 Tahun 1954, dan penyeragaman policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non pribumi berdasar Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta no. K.898/I/A/75.

Jika pada Bab I telah disebutkan bahwa hak asal-usul terbagi menjadi 3 kelompok yaitu hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan; hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pember­hentian pimpinan; dan hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraan urusan pemerintah terutama yang berhubungan dengan pelayanan dan pembebanan kepada masyarakat (baca hal. 20), maka hak asal-usul dalam bidang agraria ini -- termasuk juga bidang perindustrian dengan Pranatan Reridunya serta bidang pen­gairan, jalan dan gedung (PDG) -- kiranya dapat dimasukkan dalam kelompok ke-3. Sedang hak asal-usul dalam bidang pengadilan, keprajuritan, kantor penerangan dan lembaga pendidikan, dapat dimasukkan dalam kelompok pertama.

Mengenai kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah Istimewa Yogyakarta, pasal 91 b UU No. 5 Tahun 1974 mengatur: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.”

Terhadap ketentuan ini, terdapat 2 (dua) penafsiran yang berbeda. Soedaris­man berpendapat bahwa jika dikemudian hari ada pergantian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang baru harus diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan DPRD dan terikat pada masa masa jabatan seperti yang ditentukan pasal 17 ayat (1) yaitu 5 tahun. Seba­liknya Sujamto berpendapat bahwa ketentuan tentang pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, tetap dipertahankan terus dengan alasan bahwa dalam pasal 91 b diatas tidak terdapat kalimat yang berbunyi "untuk pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya".

Berdasarkan ide penyeragaman pemerintah Daerah (lihat konsideran Menim­bang huruf c jo. penjelasan UU No. 5 tahun 1974 bagian I angka 4 a6), pengangka­tan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tentunya juga hendak diseragamkan dengan tata cara dan syarat-syarat sebagaimana Daerah lain. Akan tetapi sebelum penyeragaman itu diberlakukan, sebaiknya dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

·        Masyarakat asli Yogyakarta khususnya yang tinggal dipedesaan, masih menganggap penguasa Kraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sebagai raja atau pemimpin mereka. Dengan demikian apabila orang yang diangkat sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari luar lingkungan kerajaan, seolah-olah akan timbul dualisme kepemimpinan, disatu pihak terda­pat penguasa Keraton sebagai pemimpin non formal dan dilain pihak terdapat Kepala Daerah yang diangkat Presiden sebagai pemimpin formal -- yang kedua-duanya sama-sama diakui dan dihormati masyarakat.

·        Apabila penyeragaman itu terpaksa dilakukan, masih perlu dikaji lebih jauh apakah hal ini tidak berarti menyimpang dari pasal 18 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan akan "memandang dan memperingati hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa" ? Jika dipandang tidak menyimpang, tidak timbul permasalahan. Akan tetapi jika hal ini dianggap menyimpang, maka terle­bih dahulu harus harus diadakan perubahan pasal 18 UUD 1945, sehingga pelak­sanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tetap dapat dilestarikan. Dan perubahan (penambahan atau pengurangan) terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945, harus dilaksanakan dengan Referendum (TAP MPR No. IV/MPR/1983).

Disisi lain, apabila cara dan syarat pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lama dipertahankan apakah tidak menimbulkan kesan adanya "negara dalam negara" ? Untuk menghindari pandangan yang tidak selaras dengan isi penjelasan pasal 18 ini, harus dipahami makna pasal 18 dan penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 bagian I 4 a3 jo. b 1.

Sekali lagi ditekankan bahwa dalam pasal 18 terkandung pengakuan adanya hak asal-usul, salah satunya menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengang­katan dan pemberhentian pimpinan (hak asal-usul kelompok ke-2). Sedangkan penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 menyebutkan: "Isi otonomi itu berbeda antara daerah yang satu dengan lainnya ... urusan otonomi daerah tidaklah statis, ... terutama disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri". Dengan demikian pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbeda dengan Daerah lain, memiliki dasar hukum pasal 18 UUD 1945 dan pasal 91 b UU NO. 5 Tahun 1974 (menurut penaf­siran Sujamto). Dan selama sistem ini sesuai dengan dinamika kehidupan masyara­kat Yogyakarta, maka kurang tepat jika dikatakan ada "negara dalam negara", oleh karena Pemerintah Pusat sendiri telah memungkinkan terjadinya perbedaan terse­but.

Terlepas dari gagasan penyeragaman diatas, pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta seyogyanya dikembalikan kepada kehendak dan kemauan politik warga DIY sebagai subyek dan obyek utama dalam pembangunan di DIY, apakah masih menginginkan Kepala Daerahnya dari Kasulta­nan/Paku Alaman atau tidak. Jika ya, hal ini bisa ditempuh dengan cara mencalon­kannya melalui prosedur sebagaimana di Daerah lain.

(tulisan ini adalah salah satu Bab dalam Buku saya berjudul: ”Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Navilla Yogyakarta, 2000).



[1].    Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1978, hal. 14.
[2].      ibid., hal. 15.
[3].      ibid., hal. 16.
[4].      M. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni Bandung, 1983, hal. 44.
[5].      ibid., hal. 44.
[6].      Amrah Muslimin, op.cit., hal. 17.
[7].      Dann Sugandha, Masalah Otonomi Serta Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun, hal. 77.

Tidak ada komentar: