Sabtu, 01 Mei 2010

Sejarah dan Masyarakat


Sering tidak terpikirkan dengan sengaja oleh kita, bahwa sesungguhnya antara manusia dan atau masyarakat disatu pihak dengan sejarah dipihak lain, terdapat hubungan yang teramat erat. Sejarah selalu terjadi jika ada masyarakat. Dengan kata lain sejarah senantiasa terbentuk didalam lingkup gerak gerik anggota masyarakat, baik yang berupa aktivitas fisik, perkembangan pola pikir, maupun berbagai sistem nilai yang diterapkan sebagai pedoman kehidupannya. Ketiga jenis gerak gerik inilah yang menjadikan ilmu sejarah berkembang sangat luas dan meli­puti segala aspek yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Sejarah perang kemerdekaan, sejarah sosial ekonomi, sejarah kesenian/kebudayaan, sejarah menta­litas, sejarah ketatanegaraan, sejarah tokoh (biografi), dan sejarah pemikiran (intel­ectual history), adalah sebagian dari ilmu-ilmu yang tercipta karena mobah mosiking manungsa, karena dinamika dan kreativitas masyarakat.

Sebaliknya, masyarakat — terutama kelompok berpendidikan rendah — sering kali tidak menyadari bahwa apapun yang mereka perbuat sesungguhnya tercatat oleh tinta zaman serta memberi kontribusi yang tak terhingga bagi sejarah perada­ban. Siapa yang dapat meramalkan bahwa kehidupan sehari-hari rakyat jelata (wong cilik) seperti cara hidup dan mata pencahariannya, populasi dan tingkat kesejahteraannya, sistem kepercayaannya, sampai kepada sikap agresifnya dalam menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan, akhirnya menjadi primadona dalam studi sejarah dewasa ini?

Karya-karya Sartono Kartodirdjo (The Peasant Revolt in Banten 1888, Agrarian Radicalism), Scott (Moral Ekonomi Petani), Anne Booth (Sejarah Ekonomi Indonesia), Michael Adas (Ratu Adil), Suhartono (Apanage dan Bekel), Clifford Geertz (Priyayi, Santri dan Abangan), dan berpuluh-puluh tulisan ahli lainnya, menunjukkan bahwa keberadaan dan peran “arus bawah” tidak bisa dike­sampingkan begitu saja.

Sejarah tidak pernah membedakan antara kawula dan gusti, antara wong cilik dan wong gedhe, antara client dan patron. Kalaupun dalam prakteknya peran “arus atas” terlihat lebih menonjol, itu semata-mata karena adanya rekayasa dari golon­gan tertentu yang ingin melakukan self-legitimate.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap zaman akan melahirkan pemim­pin yang sesuai dengan karakteristik zaman tersebut. Jayabaya, Raden Wijaya, Senapati, Soekarno, dan Soeharto didalam negeri, serta Hitler, Gandhi, Mussolini, Willy Brandt, dan sebagainya diluar negeri, adalah anak-anak zaman dan anak-anak sejarah yang sangat hebat namun belum tentu bisa menunjukkan kehebat-annya seandainya dilahirkan pada zaman yang berbeda. Oleh karenanya, dalam membaca setiap peristiwa sejarah kita harus berpikir kontekstual.

Pemikiran kontekstual harus dibedakan dengan subyektivisme. Setiap orang akan mempunyai pandangan, interpretasi dan pendekatan yang berbeda-beda serta berbau subyektif dalam menyikapi suatu kejadian atau keadaan masa lampau. Dimensi-dimensi subyektivitas itu sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi seseor­ang terhadap masa lampau masyarakatnya. Setiap tulisan / karya historiografi beserta pengarangnya hanya dapat dipahami secara obyektif — baik sifat-sifat maupun hakikatnya — apabila ditempatkan kembali serta dihubungkan dengan lingkungan atau konteks kebudayaan (kulturgebundenheit) dan jiwa zamannya (Zeitgebundenheit).

Membaca sejarah kemanusiaan tanpa mengkaitkan kultur dan zeitgebunden­heitnya, akan melahirkan anakronisme. Salah satu contoh misalnya, sikap seseor­ang yang menyesalkan kesediaan R.A. Kartini diperistri sebagai madu oleh Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang, adalah anakronisme. Orang tersebut berarti hanya melihat suatu kejadian dari permukaannya saja tanpa diikuti dengan pemahaman arti dan kedala­man maksudnya. Dalam kasus diatas, adalah kesalahan besar jika diartikan bahwa kesediaan R.A. Kartini sebagai madu merupakan bukti dari sikapnya yang mendu­kung dominasi pria atas wanita. Penafsiran yang tepat bagi peristiwa tersebut adalah bahwa untuk memperjuangkan emansipasi dan kebebasan kaumnya, terlebih dahulu harus memiliki kebebasan bagi dirinya sendiri. Dan memang, sebagai istri Bupati, Kartini bebas untuk menuntut ilmu, mengadakan korespondensi dengan warga Belanda, dan kebebasan-kebebasan lain yang mendukung cita-citanya memajukan derajat wanita Indonesia. Bagaimana mungkin seseorang bisa menge­luarkan orang lain dari bui sementara dirinya sendiri juga terkurung dalam kerang­keng besi?

Itulah barangkali hubungan antara sejarah dan masyarakat. Keduanya ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tanpa adanya variabel pertama, tidak mungkin akan terwujud variabel kedua.  Atau, tidak terwujudnya variabel pertama, adalah akibat tidak adanya variabel kedua.

Itulah sebabnya, dalam berbagai buku dan/atau metodologi ilmu sejarah korelasi antar variabel dalam kehidupan masyara­kat lebih didekati dari perspektif sejarah masyarakat itu sendiri. Sebab, penglihatan dan pendekatan historis akan memberikan benang merah sejak asal mula (sangkan) hingga akhir atau tujuan (paran) suatu peristiwa.

Dalam konteks eksplanasi tentang hubungan sejarah dengan masyarakat ini, salah satu issu yang sangat menonjol adalah soal membangun jati diri manusia dalam koridor kelompoknya (masyarakat). Hal ini penting mengingat manusia atau masyarakat sebagai subyek sejarah — dalam kurun awal perkembangannya — masih belum menemukan konsep yang jelas untuk membangun dan memajukan peradabannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menyangkut manusia, kelihatannya masih menyisakan pertanyaan pada dirinya, Siapakah sebenarnya saya? Apa tujuan hakiki dari kehidupan saya?  Dan apa yang sebenarnya harus saya perbuat? Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu — meski kurang memuaskan — memang telah diupayakan jawabannya melalui berba­gai perbuatan historis mereka, meskipun seringkali justru menimbulkan keresahan dan pertikaian diantara mereka.

Adanya pertikaian yang secara langsung mengakibatkan disharmoni dan disintegrasi dalam hubungan-hubungan sosial, mengindikasikan bahwa masyarakat pada masa itu belum memiliki kesamaan pandangan, kesamaan langkah dan kesamaan cita-cita mengenai berbagai hal. Ketiganya memang bisa berbeda, tetapi agar perselisihan dapat ditekan sekecil mungkin, didalamnya harus terdapat kerjasama dan pengertian timbal balik antar pihak-pihak yang berselisih.

Didalam situasi yang demikian tadi, beberapa individu mencoba untuk mengasingkan diri, menjauhkan dari nafsu-nafsu duniawi, dan mengheningkan cipta guna memperoleh penerangan sejati mengenai hidup dan kehidupan. Mereka-mereka yang serius melakukan komtemplasi biasanya mampu melihat keadaan-keadaan yang bersifat supranatural dan menembus batas-batas transendensi alam semesta. Orang Jawa mengatakan, mereka adalah orang-orang yang weruh sadurunge winarah (mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi). Inilah agaknya yang menjadi cikal bakal suburnya dunia peramalan masyarakat Jawa, yang salah satunya adalah Ramalan Jayabaya.

Ramalan Jayabaya menurut para ahli sejarah merupakan suatu falsafah sejarah, dalam arti bahwa sebagai suatu paham mesianistis dengan gambaran jalannya sejarah dimasa depan, memberikan kekuatan sosio kultural yang menggerakkan proses historis. Jadi, dalam pralambang Jayabaya terdapat paham atau gambaran masa depan, atau tujuan yang hendak dicapai oleh kehidupan manusia. Berpangkal pada hal ini, ramalan Jayabaya sering teraktualisasi dan terimplementasi dalam gerakan-gerakan sosial yang bermotif Ratu Adil dan ide perang sabil.

Selain soal membangun jati diri, hal lain yang sangat penting dan bahkan menjadi pedoman bagi manusia (secara mikro) dan bagi masyarakat (secara makro) dalam menjawab problema, realita dan idealita kehidupannya adalah masalah nilai. Pengertian nilai disini dimaksudkan sebagai aturan-aturan dan norma-norma (seringkali bersumber pada sistem kepercayaan setempat) yang secara moral psikologis mampu mengendali­kan peri laku masyarakat, atau sebagai ideologi, falsafah dan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya serta diupayakan untuk dilaksanakan secara benar dan murni.

Dari pengertian ini nampaklah peran dan fungsi “nilai” bagi terciptanya keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan hidup masyarakat dalam perspektif kesejarahan. Inilah yang mendasari penulis untuk menguraikan beberapa ajaran mengenai nilai (pada bab IV), dimana — secara langsung maupun tidak — kenyataan berbicara bahwa semakin kuat masyarakat memegang teguh sistem nilai dan keper­cayaannya, semakin kuat pula motivasi, kepastian dan kemampuannya dalam menjawab 3 (tiga) pertanyaan besar diatas.

Dalam tataran empiris, pada masa modern saat ini bisa kita saksikan betapa besar pengaruh nilai (dalam kasus ini telah mengalami beberapa modifikasi) dalam merubah sikap dan menggerakkan agresivi­tas masyarakat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian, disamp­ing untuk tujuan keharmonisan, nilai ternyata bisa dimanipulir untuk menciptakan disintegrasi dan disharmoni masyarakat. Disini kelihatannya terjadi proses reinter­pretasi dalam pemahaman dan penggunaan nilai sebagai landasan untuk menye­lenggarakan suatu “gerakan”. Namun sebenarnya tidaklah demikian, mengingat perbedaan yang sangat menyolok dalam hal tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan ratu adil dengan gerakan atau mobilisasi pada tahun 1960-an.  Kita semua ditun­tut untuk membaca gejala dan peristiwa secara bijaksana, bukan sekedar dari kulit luarnya.

Selanjutnya, ketika filosofi mendasar tentang sistem nilai dan jati diri telah dapat ditumbuhkan, maka persoalan besar umat manusia dalam konteks kesejarahan adalah upaya memajukan peradaban.

Upaya membangun peradaban ini berkaitan erat bukan dengan pertanyaan apa yang sebenarnya harus saya perbuat?, melainkan bagaimana seharusnya saya berbuat? Jelaslah bahwa dalam pertanyaan ini terkandung suatu cara, teknik dan metode kehidupan yang semakin hari semakin sempurna (tentu saja menurut persepsi dan interpretasi masing-masing individu dan atau kelompok masyarakat). Penyempurnaan cara, teknik, dan metode kehidupan yang ditempuh guna terciptanya kesempurnaan hidup itu, tidak lain adalah sebuah peradaban.

Misalnya ketika bangsa Indonesia berada dibawah cengkeraman penjajah, fakta saat itu berbicara bahwa dalam keadaan seperti itu, muncullah sikap, pemikiran ataupun bentuk reaksi lainnya atas nasib yang dideritanya. Rakyat Indonesia tidak lagi bertanya apa yang harus saya perbuat, melainkan bagaimana seharusnya saya berbuat? Pertanyaan pertama jelas sekali hanya memerlukan satu jawaban yaitu bahwa saya harus ber-reaksi. Akan tetapi jawaban pertanyaan kedua bisa berbeda-beda tergantung kepada si subyek yang akan memberikan jawaban. Seorang patriot sejati barangkali akan menjawab dengan bambu runcing atau senapannya. Kaum cendekiawan mungkin sekali akan memilih jalan diplomasi atau kooperasi, sedang seorang penghianat tentu akan mengandalkan fitnah dan jila­tannya demi kepentingan pribadi.

Disinilah semakin kentara adanya perbedaan pilihan antar manusia, yang semuanya berpangkal pada perbedaan sikap dan pemikiran manusia atas peristiwa obyektif yang menyertainya. Dan karena hal tersebut telah melewati proses kreatif dari akal manusia, maka — terlepas dari nilai baik buruknya — perbedaan sikap dan pemikiran tadi dapat dikatakan sebagai perkembangan peradaban.

Begitu pula halnya dengan dimensi kehidupan yang lain, manusia selalu tidak pernah puas akan keadaan dan kemampuan yang sedang dimilikinya. Mereka terus berusaha meraih sesuatu yang menurut mereka lebih baik, lebih maju atau lebih beradab. Salah satu aspek penting dalam peradaban kehidupan manusia adalah perkawinan. Sebagai salah satu wujud dari peradaban, perkawinan manusia modern akan sangat membedakan dengan promesquitet (perkawinan manusia jaman dulu yang terlaksana secara instinctif).

Akhir kata, adalah tugas kita semua untuk selalu mencari jalan guna menutupi kekurangan-kekurangan dalam sistem peradaban, sekaligus mencip­takan kemajuan yang lebih bermakna bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Itulah esensi penting dari belajar sejarah!


Tidak ada komentar: