Sabtu, 01 Mei 2010

Pengaruh Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial


Hukum Tanah dan Struktur Sosial di Vorstenlanden

Pada pembahasan yang terdahulu — secara terpisah namun korelatif — telah dikemukakan variabel-variabel yang akan menjadi topik pembahasan dalam bab ini, yakni masalah pertanahan dan struktur sosial. Dengan mengambil ruang pembaha­san di daerah vorstenlanden (wilayah-wilayah kerajaan Mataram), ulasan berikut mencoba mencari hubungan antara sistem pemilikan tanah dengan struktur sosial (social structure) atau pelapisan sosial (social stratification), dan implikasi-implikasi yang menyertai hubungan tersebut.

Pada tahun 1918-an, di wilayah Kerajaan Ngayogyakarta dan Surakarta dilancarkan Reorganisasi Agraria, yaitu kebijaksanaan penataan kembali sistem pemilikan tanah, yang menghasilkan aturan-aturan baru berupa penghapusan sistem apanage (lungguh); pembentukan kelurahan-kelurahan baru; dan dibagikannya persil-persil tanah untuk penduduk desa. Sebelum kebijaksanaan itu dilakukan, hukum pertanahan menentukan bahwa tanah di seluruh wilayah kerajaan adalah “milik mutlak Raja”. Akan tetapi sesungguhnya, pernyataan yang tidak tertulis ini semata-mata ditujukan untuk menghormati dan menjunjung raja. Raja sendiri tidak menganggap dirinya sebagai tuan tanah dalam arti luas, melainkan hanya meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak.

Tentang mulai berlakunya anggapan diatas, memang belum ada kesamaan pendapat diantara para sarjana, sebagaimana ditulis oleh Werner Roll dalam bukun­ya Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia, studi kasus Daerah Surakarta Jawa Tengah, sebagai berikut :

“Mengenai apakah hak milik para penguasa tersebut sudah berlaku sejak jaman Jawa Kuno ataukah baru berlaku setelah pengalihan atau penyingkiran hukum adat dari daerah-daerah tersebut, hal ini masih dipertanyakan”.

Dengan kedatangan dan campur tangan Belanda di Indonesia khususnya di Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, maka konsep hak milik atas tanah menjadi kacau. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda mengenal dan mener­apkan asas domein verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan dengan hak milik (eigendom), menjadi milik negara. Mubyarto berpendapat bahwa karena pada jaman feodal semua tanah adalah milik raja, maka pemerintah penjajah tinggal meneruskan asumsi demikian dan menganggap seluruh hak milik raja jatuh ketangan penakluknya, yaitu Belanda.

Meskipun demikian, ketentuan tersebut tidak berlaku sepenuhnya untuk daerah vorstenlanden. Menurut Soedarisman Poerwokoesoemo, Kerajaan memang milik Gubernemen, tetapi karena sejak dahulu diperintah berdasarkan Undang-Undang dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku disana dan langsung dibawah rajan­ya sendiri, Gubernemen ingin mempertahankan keadaan ini. Akan tetapi Guberne­men sebagai pemilik berhak memilih raja baru yang harus memberikan janji-janji tertentu. Dengan kata lain, kekuasaan kerajaan dikurangi tanpa sama sekali menghapuskan kelembagaannya. Lagi pula jika kerajaan dianeksasi, kemungkinan besar akan terjadi gejolak hebat yang tidak diharapkan oleh pihak Belanda.

Kalau diperhatikan lebih seksama, terdapat satu gejala unik dalam sistem pemilikan tanah model lama ini, yakni bahwa sebuah lembaga — baik kerajaan maupun pemerintah kolonial Belanda — atau seseorang yang menguasai/memiliki sebidang tanah, secara otomatis juga akan menguasai/memiliki penduduk atau orang-orang yang bertempat tinggal di tanah tersebut, dalam arti para penghuninya wajib memberikan sesuatu (bisa berupa pajak/upeti atau tenaga untuk mengusaha­kan tanah itu) sebagi tanda bulu bekti atau tunduk diri kepada tuannya.

Hal ini bisa diterangkan sebagai berikut. Berdasarkan penguasaanya, tanah-tanah yang ada diseluruh wilayah kerajaan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah tanah-tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja. Tanah yang disebut bumi narawita atau siti pamahosan atau siti ampilan ini terdiri dari bumi pamajegan yang menghasilkan pajak uang; bumi pangrembe yang khusus ditanami padi dan tanaman lain untuk keperluan istana; dan bumi gladhag yaitu tanah-tanah yang penduduknya diberi diberi tugas transportasi.

Adapun golongan kedua adalah tanah-tanah yang diberikan atau digadhuhake kepada sentana dan narapraja. Tanah semacam ini disebut bumi lungguh, bengkok atau apanage yang berfungsi sebagai gaji, serta bersifat sementara; sedang orang yang diberi tanah disebut patuh, lurah patuh atau apanage houlder.  Tanah-tanah itu diberikan kepada sentana selama mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan kepada narapraja selama mereka masih menduduki jabatan dalam kerajaan. Dengan demikian, manakala hubungan kekerabatan mereka terputus serta tidak lagi menjabat sebagai “birokrat”, maka tanah yang dikuasainya akan kembali kepada Raja.  Meskipun demikian, selama dalam penguasaanya, kepada mereka diberikan pula hak untuk memungut sebagian hasil apanagenya, dengan catatan sebagian lagi harus diserahkan ke istana sebagai upeti.

Karena para patuh bertempat tinggal di Kuthagara (ibukota kerajaan), sedang tanah lungguhnya berada di manca negara (bagian terluar dari wilayah kerajaan), maka agar tanahnya dapat terorganisir dengan baik diangkatlah seorang Bekel dengan tugas memungut dan mengumpulkan hasil bumi dan pajak dari petani, termasuk menyediakan tanah dan tenaga kerja. Oleh sebab itu meskipun patuh membebani bekel dengan berbagai tugas dan kewajiban, hal itu dikerjakan dengan baik karena bekel dengan mudah mengerahkan petani di Kabekelannya. Pengertian petani disini identik dengan tenaga kerja dan merupakan kesatuan yang tidak terpi­sahkan dengan tanah apanage.

Dari uraian diatas terlihat adanya dikhotomi struktur sosial di Vorstenlanden. Pada struktur atas terdapat golongan bangsawan (sentana) dan priyayi (narapraja). Mereka adalah golongan elite tradisional yang berada diatas struktur bawah, yaitu golongan rakyat jelata (wong cilik) yang terdiri dari para sikep, kuli-kuli serta buruh, tukang, pedagang kecil, para pengemis dan lain-lain. Hubungan antara priyayi sebagai atasan dengan para sikep sebagai bawahan adalah hubungan pengawasan kebawah dan hubungan kewajiban keatas.

Sebagai puncak struktur adalah Raja. Birokrat tertinggi dibawah diduduki oleh Patih yang diangkat oleh Gubernemen. Di daerah Kasunanan, seorang patih menda­pat apanage 375 jung (ukuran luas tanah) dan gaki f sebulan, dan seorang nayaka mendapat apanage 50 jung dan gaji f 50, sedangkan kliwon, panewu, panatus, paneket dan panglawe, masing-masing mendapat apanage 2000, 1000, 100, 50 dan 25 cacah (cacah menunjukkan jumlah penduduk yang tinggal di tanah apanage).

Diantara para sentana, yang mendapat apanage terbesar adalah Putra Mahkota yakni 4000 cacah, disusul Tumenggung Joyonagoro 1027 cacah, Panger­an Buminoto 1000 cacah, R.M. Duksono 250 cacah, R. Ayu Sekar Kedhaton 100 cacah,  R.A. Sosrodiningrat 50 cacah, dan masih banyak sentana yang mendapat apanage jauh lebih sempit.

Golongan bawah atau kawula alit juga terbagi dalam beberapa lapisan. Menurut Jaarlijksch Verslag tahun 1852, penduduk desa terbagi menjadi 4 (empat) lapisan:

1.      Kuli kenceng atau kuli ngarep, kuli kuwat, kuli gogol, kuli sikep, ialah warga desa inti yang telah menerima bagian tanah milik desa atau tanah milik komun­al, dengan kewajiban membayar pajak tanah dan kerja wajib pada patuh atau raja.
2.      Kuli kendho atau kuli mburi, kuli setengah kenceng, yang memiliki pekarangan dan rumah, serta termasuk dalam daftar warga desa yang pada suatu saat akan menjadi golongan penerima bagian tanah desa.
3.      Tumpang, indhung atau pondhok karang, yaitu mereka yang hanya memiliki rumah yang menumpang di halaman atau pekarangan orang lain.
4.      Tumpang tlosor atau pondhok tlosor, yaitu yang sama sekali tidak memiliki rumah dan menumpang dirumah orang lain.
Dua golongan terakhir ini tidak dikenakan pajak, tetapi tenaga kerjanya diman­faatkan oleh kuli kenceng  yang menanggung makan dan tempat tinggal mere­ka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilikan tanah sangat menentu­kan sekali status seseorang dalam masyarakat. Disini terdapat hubungan lurus antara pemilikan tanah dengan struktur sosial, yaitu semakin luas tanah yang dimil­iki, semakin tinggi status sosial yang disandangnya. Atau, seseorang yang mem­punyai kedudukan atau jabatan yang tinggi, dapat dipastikan memiliki tanah yang lebih luas dibanding orang lain yang jabatan atau kedudukannya lebih rendah.

Implikasi dari sistem pelapisan sosial semacam itu adalah menguatnya hubungan kawula-gusti atau patron-client, dimana sang patron atau gusti berhak mengatur, memerintahkan bahkan menjatuhkan sanksi tertentu kepada kawula atau client-nya. Sebaliknya, si kawula atau client hanya memiliki kepatuhan dan rasa hormat (tercermin dalam sikap pasrah bongkokan dan sendika dhawuh) kepada gusti atau patronnya. Secara politis psikologis, kelompok kawula atau client adalah kelompok pecundang, atau yang kalah,  takluk kepada kelompok lainnya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya terlihat bahwa sikap patuh dan tunduk ternyata tidak hanya diberikan kepada kelompok pemenang (the winner), tetapi juga kepada kelompok yang bisa menjanjikan suatu “kemenangan”.

Untuk memberikan suatu konklusi yang jelas atas permasalahan diatas, ada baiknya dikutipkan pernyataan Werner Roll sebagai berikut:

“Ciri khas struktur pemilikan tanah pertanian di banyak negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara ialah adanya hubungan yang sangat erat dengan keadaan sosial ekonomi dari masyarakat pedesaan. Karena itu dalam susunan masyara­kat agraris yang yang kurang dinamis dan tradisional di Jawa Tengah hak-hak penggunaan tanah yang berbeda-beda menentukan keadaan ekonomi seseor­ang, yang sejak dahulu merupakan ukuran tingkat kedudukan sosial seseor­ang. Dengan demikian hal ini menimbulkan adanya berbagai tingkat sosial dilingkungan masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu pendapat H. Wilhelmy bahwa masyarakat di Jawa merupakan masyarakat yang homogen dan berla­pisan sosial yang merata, tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya”.

Mobilisasi Petani Dalam Peristiwa G 30 S/PKI

Diatas telah dijelaskan bahwa struktur pemilikan tanah sangat berpengaruh terhadap lapisan sosial, yang pada akhirnya menumbuhkan suatu “kewajiban moral” masyarakat struktur bawah untuk tunduk dan patuh secara mutlak kepada elite struktur atas. Telah disebutkan pula bahwa dalam perkembangannya kewajiban moral itu bisa diberikan kepada pihak yang sanggup melambungkan angan-angan dan impian wong cilik ke alam  “kemegahan dan kemenangan”. Ulasan berikut — dengan pendekatan sosioekonomis — mencoba menelaah perkembangan dan keadaan sosial ekonomi rakyat dalam hal pemilikan tanah, kemudian mencari hubungannya dengan partisipasi dan sikap politik mereka dalam mendukung pro­gram dan gerakan PKI.

Dalam kenyataannya, pembicaraan dan pembahasan sekitar peristiwa G 30 S/PKI memang lebih banyak memakai pendekatan politis. Artinya, latar belakang sejarah, jalan peristiwa, implikasi gerakan dan tokoh-tokoh yang terlibat, seringkali dilihat dan dikaitkan dengan keadaan politik seperti struktur pemerintahan dengan sistem multi partai, paham-paham besar yang berkembang waktu itu, serta masalah ideologi yang dianut oleh golongan tertentu dan diperjuangkan untuk dijadikan ideologi nasional. Sementara variabel lain seperti taraf pendidikan, kondisi pereko­nomian rakyat sebagai pendukung utama gerakan, maupun situasi kesenjangan sosial antara bangsawan/priyayi dengan wong cilik, kurang mendapat penekanan dan analisa yang mendalam. Itulah sebabnya, kupasan ini berusaha “menampak­kan” riak, gejolak, atau arus yang terjadi dibawah permukaan, yang nyatanya mampu menggoyahkan kemapanan diatas permukaan.

Para sarjana ilmu sosial di Indonesia kiranya sepakat untuk mengatakan bahwa masyarakat Indonesia lama adalah masyarakat yang bercorak kolektif (gemeinschaft) dengan ciri utama gotong royong dan toleransi antar warganya. Hal ini mengandung pengertian bahwa individu-individu yang tergabung dalam suatu komunitas, akan lebih mendahulukan kepentingan kelompoknya dibanding kepen­tingan pribadi, sehingga setiap tindakan anggota kelompok tersebut diarahkan kepada terciptanya keharmonisan dan keserasian bersama.

Dengan kata lain, manusia Indonesia hanya akan berarti jika berada dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat, yaitu sebagai warga masyarakat. Secara perorangan, manusia Indonesia tidak mempunyai hak-hak yang tidak dapat digang­gu gugat, sebaliknya justru memiliki kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, Raja, keluarga, masyarakat dan sesamanya.

Konsekuensi dari sistem sosial yang demikian adalah tidak diakuinya hak-hak individu, termasuk hak milik atas tanah. Perkataan-perkataan negeri dalem, keraton dalem, pepatih dalem dan sebagainya menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terdapat diwilayah kerajaan adalah milik Raja.

Kalau keadaan ini dibandingkan dengan keadaan di negara-negara Barat yang bercorak liberal-kapitalis, sangat jauh sekali perbedaannya. Didalam masyarakat industri Eropa, terutama yang tercermin dalam Code Civil Perancis, hak milik memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menikmati benda yang meru­pakan obyek dari hak milik itu, dan memberi penguasaan yang semutlak-mutlaknya atas benda tersebut. Hanya saja, kebebasan berusaha dan tidak adanya pembata­san terhadap hak milik akhirnya menimbulkan jurang (gap) yang semakinlebar antara pemilik modal dengan buruhnya. Fakta inilah yang menimbulkan pemikiran untuk membatasi penikmatan dan penguasaan suatu benda, yakni dengan men­syaratkan bahwa hak milik harus berfungsi sosial, dalam arti harus memenuhi satu atau lebih kepentingan masyarakat.

Karl Marx berpendapat lain. Menurutnya, untuk mengimbangi atau bahkan menghilangkan individualisme dan liberalisme yang merupakan akibat logis dari sistem kapitalisme, maka harus dilawankan dengan sosialisme. Pertemuan antara kapitalisme sebagai thesa dan sosialisme sebagai antithesa, diharapkan Marx akan memunculkan komunisme sebagai sinthesa. Masyarakat yang menganut paham komunis adalah masyarakat dalam mana tidak ada pemilikan perseorangan (private ownership) atau alat-alat produksi, yang ada hanya pemilikan sosial secara kolektif. Disamping itu juga tidak ada kelas, bahkan tidak ada negara (teori perjuangan kelas).

Bagaimana halnya dengan Indonesia khususnya Jawa?  Menurut pendapat penulis, meskipun secara yuridis formal masyarakat Jawa lama tidak memiliki hak milik atas tanah, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa masyarakat Jawa berpaham komunis. Hal ini bisa diterangkan berdasarkan alasan-alasan berikut:

1.      Secara de facto, rakyat tetap menguasai tanah bahkan bisa menjual atau menggadaikannya. Raja sendiri tidak menganggap dirinya sebagai tuan tanah dalam ari luas, melainkan hanya meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak (baca kembali sub bab Hukum Tanah dan Struktur Sosial di Vorstenlanden).
2.      Pelapisan sosial dengan dikotomi “priyayi - wong cilik” justru diusahakan untuk dilestarikan. Ini berlawanan sekali dengan cita-cita komunisme untuk mencipta­kan masyarakat tanpa kelas. Pemisahan struktur “atas - bawah” menunjukkan adanya negara yang terdiri dari kelas atas (pemerintah atau birokrat tradisional) dan kelas bawah atau yang diperintah (kawula alit).

Dalam sejarah ketatanegaraan di Jawa tidak pernah dijumpai gagasan untuk menghapus menghapus negara/kerajaan, malah sebaliknya dicari usaha-usaha legit­imasi untuk meyakinkan rakyat bahwa negara beserta seluruh aparat dan institusin­ya adalah kehendak Tuhan (ingat teori Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Raja), yang oleh karenanya wajib dijunjung tinggi.

Tahun 1870 dan khususnya tahun 1918 dalam sejarah perkebunan dan keagrariaan di Jawa, merupakan tahun-tahun yang sangat penting artinya bagi perkembangan individalisme. Lahirnya Agrarische Wet 1970 yang membuka kesempatan bagi swasta untuk menanamkan modalnya dalam industri perkebunan, dianggap lebih menjamin kebebasan individu dan emansipasi politik. Sedangkan reformasi agraria tahun 1918-an sangat berperan dalam mengha­silkan aturan-aturan baru seperti:

1.      Penghapusan sistem feodal beserta tindakan sewenang-wenang yang sudah membudaya.
2.     Beberapa kesatuan tempat tinggal (desa, dukuh, kabekelan) digabung menjadi kesatuan administrasi baru seperti kelurahan atau desa praja.
3.     Raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayah kesatuan administrasinya, dan kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa.
4.     Diadakan pembagian baru dari persil-persil tanah dan tanah garapan untuk penduduk desa dan disesuaikan pada kebutuhan tertentu dari usaha pertanian Belanda.

Proses perubahan sosial yang pada dasarnya adalah proses kearah kapitalis­me dan individualisme tersebut, berlangsung terus  sampai menjelang meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI, sehingga pada waktu itu telah muncul sekelompok orang yang memiliki tanah pertanian sangat luas.

Sebagaimana ditulis Sartono, struktur agraria waktu itu terbagi menjadi 3 (tiga) strata. Dipuncak struktur, terdapat kelas tuan tanah besar (pemilik sawah dengan luas 5 Ha keatas), petani sedang (0,6 Ha - 5 Ha), dan petani kecil (kurang dari 0.5 Ha). Disamping ketiga golongan itu terdapat sebuah komponen penting dalam struktur agraria di Jawa, yaitu kelas pekerja tak bertanah atau buruh tani.

Sayangnya, sebelum individualisme mencapai tahap yang lebih tinggi, ma­syarakat Indonesia sejak tahun 1930-an telah mengalami pengaruh-pengaruh ajaran komunis dan diarahkan kembali kepada masyarakat sosialistis dengan ajaran-ajaran mengenai fungsi sosial, kepentingan umum, dan ajaran komunis itu sendiri.

Alasan utama bagi Partai Komunis Indonesia — yang merupakan bagian dari Komunisme Internasional dan hendak mendirikan negara dengan ideologi komunis — untuk membelokkan “cita-cita liberal” adalah karena ketakutannya terhadap paham liberalisme dan individualisme, yang mana kedua paham ini merupakan penangkal yang sangat ampuh bagi perkembangan komunisme. Oleh karenanya PKI segera menempuh segala daya upaya untuk menyebarkan dan memaksakan dogma-dogmanya. Salah satu usaha PKI yang sangat berhasil adalah dalam hal memobili­sasi kaum tani.

Motivasi yang digunakan PKI untuk menarik simpati rakyat (dalam definisi Lenin, rakyat adalah orang tolol berguna) adalah masalah keadilan.  Mereka menghasut kaum tani untuk melenyapkan segala penghisapan dan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum ningrat, setengah feodal dan kelas-kelas yang ada. Bahkan dalam program PKI yang dirumuskan menjelang Konggres Nasional Barisan Tani Indonesia (BTI) VI dinyatakan bahwa semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah Asing dan Indonesia akan disita tanpa ganti rugi, dan kepada petani tak bertanah atau petani miskin akan dibagikan tanah secara cuma-cuma. Kemudian ditetapkanlah semboyan baru seperti “tanah untuk kaum tani”,  “hak milik perseor­angan atas tanah untuk kaum tani”, dan sebagainya, sehingga dalam satu dasa warsa keanggotaan PKI/BTI meningkat dari 400 ribu menjadi 7 juta orang.

Dengan menunggang pada situasi sosial ekonomi dan politik yang belum mapan, PKI menawarkan program-program yang sangat utopis yang kelihatannya memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat banyak. Akan tetapi sebenarnya, apabila tujuan kaum komunis dalam merebut kekuasaan berhasil, janji itu tidak akan pernah dipenuhi, karena tujuan komunisme yang hakiki adalah memiskinkan dan memecah belah rakyat, kemudian menguasai dan menteror.

Dari paparan diatas, kiranya dapat ditarik suatu pelajaran bahwa pemenuhan kepentingan individu dan kelompok harus berjalan seimbang, sehingga tidak menimbulkan gejolak disatu pihak. Kolektivisme yang terlalu kental hingga menga­baikan hak-hak perseorangan, sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Akan tetapi individualisme yang berlebihan juga akan menimbulkan kekecewaan dan keresahan pada kelompok yang tidak bisa turut serta dalam persaingan liberal. Oleh karena itu, kedua paham tersebut harus “dikawinkan” sehingga menghasilkan masyarakat sosial (bukan dalam pengertian Marx) yang hak-hak individunya terja­min dan dihormati oleh individu yang lain.

Sebelum peristiwa G 30 S/PKI pecah, masalah distribusi tanah yang kurang merata dan dianggap sebagai sumber ketidakadilan, sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah, yakni sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hanya saja, dalam pelaksanaannya peraturan tersebut masih banyak menemui hambatan, termasuk usaha-usaha PKI untuk menggagalkan implementasinya.

Dan untuk waktu sekarang, disaat individualisme mulai bangkit, berkembang dan bersemayam dalam hati masyarakat, ketentuan bahwa hak atas tanah mem­punyai fungsi sosial (pasal 6 UUPA), harus lebih ditegakkan lagi. Ini berarti, peng­gunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan pemiliknya dan bagi masyarakat maupun bagi ne­gara. Meskipun demikian, ketentuan ini tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali. Keduanya harus berimbang, karena keadaan berim­bangnya kedua kepentingan tersebut akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (baca pasal 2 ayat 3 UUPA dan penjelasannya).

Daftar Referensi

Abidin, A.Z., dan Baharudin Lopa, Bahaya Komunisme, Bulan Bintang, Jakarta, 1971
Adams, Cindy, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan Mayor Abdul Bar Salim, Gunung Agung, Jakarta, 1966
Burger, D.H., Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Bhratara, Jakarta, 1993
Hartono, Sunarjati, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1978
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor, Jakarta, 1985
Poerwopranoto, S., Penuntun Tentang Hukum Tanah (Agraria), Astana Buku Abede, Sema-   rang, 1952
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984
______________ , Kasultanan Yogyakarta, Gadjah Mada U.P., Yogyakarta, 1985
Reid, Anthony and David Marr (ed.),  Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Grafiti Press,   Jakarta, 1983
Swearingen, R., Bahaya Dunia Komunis, terjemahan Adeng Sudarsa dan Oejeng Suwargana, Univ. of Southern California, 1966
Sumardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada U.P., Yogyakar­ta cet. ke-   1991
Slametmoeljana, Menuju Puncak Kemegahan
Suhartono, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet. pertama, 1991
Werner Roll, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah Sura­karta - Jateng, Rajawali, Jakarta, 1983.

Tidak ada komentar: