Minggu, 09 Mei 2010

Modal Sosial dan Masalah Perkotaan


SEBUAH media lokal di Jawa Barat pernah memberitakan bahwa Walikota Bandung sempat marah ketika menyaksikan kawasan Cikapundung penuh dengan tumpukan kardus dan pemukim liar. Padahal, kawasan tadi baru dibersihkan seminggu sebelumnya melalui Gerakan Cikapundung Bersih. Pada kasus lain dapat diamati bahwa jumlah pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bandung terus membengkak tidak terkendali meskipun telah dilakukan program penertiban yang memakan biaya milyaran rupiah. Sementara itu, fasilitas umum perkotaan seperti halte bis, telepon umum, rambu-rambu lalu lintas, hingga trotoar dan pagar pembatas, berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain ketiga kasus itu, sesungguhnya masih banyak lagi masalah-masalah perkotaan, yang dengan mudah dapat ditemukan oleh mata telanjang kita.

Dalam perpsektif manajemen pemerintahan, gambaran situasi diatas paling tidak mengindikasikan dua hal. Pertama, program-program pembangunan di perkotaan masih didominasi Pemerintah Kota (Pemkot), dan kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan tersebut. Kedua, lemahnya dan makin lunturnya kepedulian masyarakat (community awareness) untuk mengelola dan memecahkan persoalan-persoalan bersama yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan kata lain, proses pembangunan selama ini belum mampu menumbuhkan modal sosial (social capital) di kalangan penduduk kota. Padahal, adanya modal sosial yang kuat akan menjadi dasar yang kokoh bagi implementasi program pembangunan perkotaan secara efektif.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari akar penyebab dari kegagalan menumbuhkan modal sosial di perkotaan. Namun, lebih kepada upaya memotret kondisi yang ada saat ini serta upaya mengakselerasi pembangunan perkotaan melalui modal sosial, sekecil apapun itu.
* * *
MENURUT David L. Debertin dalam tulisannya berjudul A Comparison of Social Capital in Rural and Urban Settings, modal sosial dimaknakan sebagai paduan kepercayaan, norma-norma dan jaringan kerja yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah bersama (stocks of social trust, norms and networks that people can draw upon in order to solve common problems).

Dari definisi diatas dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa merebaknya permasalahan di Kota Bandung juga bersumber dari lemahnya kohesi dan pranata sosial. Sayangnya, kebijakan Pemkot sendiri kurang mencerminkan adanya upaya untuk menanamkan hal tersebut dalam pengelolaan suatu urusan tertentu. Dalam kasus Cikapundung, misalnya, Pemkot terkesan tidak memberikan peran utama dalam pengelolaan dan pemeliharaan kebersihan Cikapundung kepada masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Pemkot seolah bertindak sebagai pemilik dan penanggungjawab tunggal atas kebersihan, keindahan, dan kelestarian Cikapundung. Akibatnya, program pengendalian dan rehabilitasi sungai selalu ditempuh melalui pendekatan “proyek”, sebagaimana nampak dalam program “Cikapundung Bersih”. Dan salah satu kelemahan utama dalam pendekatan proyek ini adalah sifatnya yang tidak berkelanjutan (unsustained).

Demikian pula yang terjadi pada kasus penataan PKL di tujuh titik kritis. Jumlah PKL di Jalan Kepatihan dan sekitar alun-alun, misalnya, semakin bertambah secara tidak terkendali. Hasilnya, lalu lintas dan ketertiban kota menjadi semakin semrawut. Dalam kondisi yang sudah “parah” tadi, Pemkot menggulirkan berbagai program (baca: proyek) penertiban PKL. Namun sayangnya, program tersebut juga kurang berbasis pada kebutuhan, kepentingan dan harapan para pedagang sendiri. Pemkot seakan tahu dan pasti mampu menangani masalah PKL dengan cara dan pendekatannya. Nyatanya, hingga kini persoalan PKL belum bisa ditangani secara memadai.

Dari dua contoh kasus diatas dapat disimak bahwa beberapa kebijakan Pemkot Bandung masih bersifat top down dan struktural, serta belum mengakomodir dimensi-dimensi sosial budaya dan psikologi suatu kelompok masyarakat. Itulah sebabnya, implementasi suatu kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, justru sering ditolak dan menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif. Hal seperti ini sungguh sangat ironis di era otonomi luas seperti saat ini.
* * *
RENDAHNYA modal sosial sesungguhnya bukan monopoli Kota Bandung semata. Berbagai kota di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika, juga mengalami hal serupa. Seperti diungkap Robert D. Putnam dalam tulisannya berjudul The Prosperous Community, Social Capital and Public Life (1993), masyarakat Amerika-pun ternyata mengalami erosi modal sosial pula. Politik diskriminatif telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat kronis antara penduduk kulit putih (whites) dengan warga kulit hitam dan latin (ghettos). Besarnya pengangguran, fasilitas pendidikan yang minim, serta layanan kesehatan yang buruk bagi kalangan ghettos, telah berdampak pada rendahnya civic engagement (keaktifan dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosial). Pada gilirannya, civic disengagement ini membawa pengaruh buruk terhadap munculnya penyakit-penyakit sosial seperti penyalahgunaan obat terlarang, kriminalitas, tingginya angka putus sekolah dan aborsi, dan sebagainya.

Disisi lain, pada tahun 1950-1960an, 75% rakyat Amerika menyatakan sangat percaya bahwa pemerintah AS melakukan hal yang benar. Namun sekarang, jumlah tadi sudah jauh merosot menjadi hanya 19%. Hasil temuan Putnam ini diperkuat pula oleh David Osborn dan Ted Gaebler dalam bukunya yang berjudul Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming to Public Sector (1993).

Dengan demikian, agenda pertama yang perlu dijalankan bukan bagaimana mengatasi suatu “penyakit” sosial, namun lebih pada upaya untuk menginjeksikan esensi dan semangat modal sosial pada formulasi kebijakan publik. Ini berarti pula bahwa kebijakan pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada physical capital, financial capital, dan human capital semata, tetapi harus pula mengacu pada penguatan social capital. Semuanya itu bersifat komplementer, dan bukan pilihan atau prioritas yang saling mengalahkan (competing alternatives).

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mengintegrasikan seluruh dimensi diatas dalam sebuah produk kebijakan publik di daerah?

Dalam kasus Cikapundung, kepedulian Walikota dengan terjun langsung ke tengah sungai dan mengambil sampah-sampah yang berserakan, sangat patut dipuji. Namun dari perspektif administrasi publik, langkah Walikota tadi kurang proporsional, karena mengambil alih tugas-tugas teknis yang mestinya dijalankan oleh staf teknis. Oleh karena itu, langkah terpenting yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan “proyek” perlu direvisi dengan metode yang lebih kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga. Dengan metode baru ini, perlu dibentuk kelompok-kelompok warga semacam “RT / RW Pengawas Cikapundung” atau “Masyarakat Peduli Cikapundung”. Kelompok inilah yang seharusnya menjadi mitra atau “rekanan” Pemkot dalam pemeliharaan sungai. Dan sebagai “rekanan”, kelompok masyarakat ini diberi sejumlah dana tertentu disertai tanggung jawab untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat menjamin kebersihan Cikapundung.

Dengan pola pengelolaan seperti ini, diharapkan dapat menghasilkan output berupa terjaganya kawasan sungai dari pencemaran, terberdayakannya masyarakat yang bertempat tinggal disekitar sungai, serta berkurangnya beban Pemkot untuk turun langsung dalam aktivitas sosial yang sesungguhnya bisa diserahkan kepada masyarakat sendiri.

Sementara itu dalam kasus penataan PKL, bisa saja dibentuk kelompok pedagang yang misalnya, tergabung dalam “Koperasi PKL Kepatihan”, “PKL Peduli Kota”, atau nama lainnya. Kelompok pedagang inilah nantinya yang akan memegang peranan kunci dalam mengatur ketertiban PKL di kawasan Kepatihan. Dengan kata lain, kepada kelompok ini diberikan tanggung jawab untuk memantau perkembangan jumlah PKL, menjamin kebersihan sekitar tempat usaha, menyelesaikan perselisihan antar PKL, dan sebagainya. Tentu saja, tanggung jawab PKL tadi perlu disertai dengan upaya pembinaan secara konkrit dari pihak Pemkot.

Dengan model “kerjasama” tersebut, peran pemerintah dapat dikurangi secara signifikan, sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih produktif untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan. Ini berarti pula bahwa kebijakan Pemkot lebih mampu “memanusiakan” kelompok-kelompok marginal yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, upaya ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara para pedagang maupun antara pedagang dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan kerja (network) yang harmonis antar sektor. Dengan kata lain, kebijakan yang partisipatif dan memperhatikan norma-norma sosial budaya akan mengantarkan pada menguatnya modal sosial (social capital) untuk mengatasi masalah-masalah perkotaan.

Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa pola-pola kebijakan yang partisipatif ini dapat pula dikembangkan untuk bidang-bidang lain seperti penghijauan / reboisasi, penertiban pengemudi becak dan ojek, pemeliharaan fasilitas umum, penertiban kawasan “hitam”, dan sebagainya. Intinya adalah, penyakit sosial (social pathology) mestinya di sembuhkan melalui mekanisme sosial kemasyarakatan pula, bukan dengan pendekatan struktural.

Tidak ada komentar: