Sabtu, 01 Mei 2010

"Pemberian" Siapakah Kemerdekaan Indonesia?


Setelah hampir setengah abad Indonesia merdeka, ternyata masih ada sementara orang yang bingung atau kurang mengetahui, bagaimana sesungguhnya proses tercapainya kemerdekaan Indonesia, dalam keadaan yang bagaimana, dan yang paling penting adalah siapakah yang berperan paling banyak dalam peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945?

Kebingungan-kebingungan macam inilah yang menyebabkan munculnya pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Segolongan orang yakin seratus persen bahwa Indonesia merdeka adalah atas jerih payah seluruh rakyatnya. Golon­gan lain menilai bahwa Indonesia ketiban sampur kemerdekaan. Dengan kata lain, kebebasan tersebut diperoleh karena adanya peristiwa-peristiwa “tidak terduga” yang menguntungkan Indonesia, seperti penaklukan Jepang atas hegemoni Belanda di Indonesia, pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu, menyerahnya Bala Tentara Jepang, dan sebagainya. Jadi, tanpa adanya Jepang atau seandainya Jepang tidak menjajah Indonesia, ada kemungkinan Belanda masih berkuasa diwi­layah Hindia Belanda ini. Bahkan mereka yang lebih ekstrem mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Bagaimana alasannya, akan diuraikan dibawah.

Golongan lain lagi meyakini tanggal 27 Desember 1949 sebagai hari lepasnya Republik Indonesia dari belenggu penjajahan. Tanggal 17 Agustus 1945 saat diba­cakannya proklamasi, bagi mereka bukanlah detik-detik kemerdekaan. Hal ini dise­babkan karena pada saat itu tidak ada pemerintahan yang berkuasa secara sah dan berdaulat, baik Belanda, Jepang ataupun Indonesia sendiri. Yang ada adalah ke-va­cuum-an kekuasaan, sehingga tidak mungkin ada negara tanpa ada pemerinta­hannya. Alasan lain yaitu belum adanya negara-negara yang mengakui Republik, baik secara de facto maupun de jure. Lagi pula, setelah pernyataan kemerdekaan diumumkan, tentara Belanda berhasil melakukan come back di Indonesia bahkan bercokol secara kuat di Irian Barat. Barulah sejak tanggal 27 Desember 1949 Indonesia dapat dikatakan merdeka, oleh karena disamping Belanda sudah menyer­ahkan atau mengakui kedaulatan RI, juga negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Cina, India, Mesir, Suriah, dan Iran telah mengakui eksistensi RI secara de facto, Mesir bahkan de jure.

Bagi sebagian besar Warga Negara Indonesia, bahkan mungkin seluruhnya, jelas menganut pendapat pertama. Namun demikian, pendapat yang lainpun harus diperhatikan untuk mendapatkan data-data dan fakta-fakta yang bersifat intersu­byektivitas atau obyektif, yaitu tentang kejadian-kejadian yang sebenarnya. Jadi, penggunaan berbagai macam sumber dengan berbagai ragam interpretasi bertujuan untuk mengetahui  “bagaimana sesuatu sebenarnya telah terjadi”  (wie es eigenlich gewesen ist).

Pergerakan Politik Indonesia Pra Kemerdekaan

Pada umumnya, para ahli sejarah dan politik Indonesia menganggap tahun 1908 — yaitu tahun berdirinya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 — sebagai tahun dimulainya perjuangan dengan bentuk baru, yakni cara diplomasi. Dengan kata lain, tahun 1908 adalah tahun kebangkitan, kebangkitan kesadaran bahwa perjuangan tidak bisa berhasil tanpa persatuan nasional, kebangkitan kesadaran bahwa berjuang dengan cara cooperationpun sangat penting artinya.

Sejak saat itulah banyak sekali berdiri organisasi-organisasi atau perkumpu­lan-perkumpulan dari berbagai tingkat dan golongan masyarakat dengan berbagai tujuannya, seperti Sarekat Islam tahun 1912 di Solo oleh H. Samanhudi, Muham­madiyah tahun 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Achmad Dahlan, ISDV tahun 1920 di Semarang oleh trio Sneevliet - Semaun - Darsono, dan sebagainya.

Pada umumnya, perkumpulan atau organisasi politik yang ada pada masa itu masih bersifat keaga­maan dengan ide-ide sosial kemasyarakatan, dan belum menyentuh kepada usaha-usaha pembangkitan jiwa dan semangat nasionalisme. Sarekat Islam bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomis, memperkuat kehidupan religius serta menghadapi pedagang Cina yang memonopoli perdagangan batik dan ramuannya. Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan organisasi keagamaan lainnya bertujuan memajukan pengajaran dibidang agama atau pembentukan akhlak, sedang ISDV (cikal bakal PKI) yang agak radikal memanfaatkan situasi ekonomi yang kalut, penghidupan yang berat dan sukar, serta menanjaknya harga-harga kebutuhan pokok, untuk menyebarkan slogan-slogan kosong guna menarik pengikut dari kaum buruh dan tani.

Dari kenyataan tersebut, barangkali benar apa yang dikatakan Ir. Soekarno dalam otobiografinya bahwa para pemimpin partai itu sebenarnya belum memiliki keinginan dan keberanian untuk merdeka, lepas dari cengkeraman penjajah. Mereka hanya mampu mengajukan usul-usul dan petisi kepada pemerintah kolonial. Oleh Bung Karno gerakan-gerakan politis seperti itu disebut sebagai gerakan yang meminta-minta, bukan gerakan yang mendesak.

Baru setelah tahun 1926 organisasi pergerakan nasional yang muncul sudah membawa misi-misi dan ide-ide nasionalis. Sebab musabab tumbuhnya nasionalis­me di Hindia Belanda dapat dikembalikan kepada situasi-situasi didaratan Eropa. tahun 1917 dinasti dari Hohenzollern terpecah-pecah di Jerman, Franz Josef jatuh, dan Tzar Alexander goyah. Pada tahun itu juga terjadi pemberontakan Bolsjewik dari Lenin dan lahirnya Uni Soviet. Di Hongaria timbul pemberontakan yang dipim­pin oleh Bela Kun. Di Jerman, kaum buruh mendirikan Republik Weimar. Dikanan kiri negeri Belanda menganga jurang chaos. Belanda hancur dalam segala bidang. Ditambah lagi gerakan revolusioner proletariat yang dipimpin Dr. Pieter Jelles Troel­stra, pertama berupa perang lalu timbulnya revolusi, menyebabkan negeri Belanda menjadi lemah. Digerakkan oleh peristiwa-peristiwa ini, nasionalisme di Hindia Belanda tumbuh bagai bisul-bisul.

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927di Bandung oleh Soekarno, merupakan organisasi pergerakan yang radikal yang memelopori perjuangan secara non kooperasi. Tujuannya adalah kemerdekaan sepenuhnya — Sekarang!.  Terhadap tujuan yang sangat “berani” ini banyak orang-orang, baik dari luar maupun para pengikut PNI yang gemetar dan takut. Mereka berpendapat bahwa rakyat belum siap untuk merdeka. Pendidikan, kesehatan dan kemakmuran rakyat harus diperbaiki dulu supaya dapat berdiri tegak. Kelompok Hatta adalah penganut pola pikir yang kedua.

Pertentangan pendapat mengenai timing  dan situasi kondisi yang tepat untuk merdeka ketika keluarnya Soekarno dari penjara Sukamiskin. Saat itu terjadi perpecahan dan adu pendapat yang hebat antara Soekarno dan Hatta, tokoh PNI Pendidikan. Konsepsi Hatta adalah menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk rakyat. Meskipun memakan waktu bertahun-tahun, tetapi cara ini bersifat pasti. Terhadap metode Hatta ini Soekarno menegaskan:

“Satu-satunya saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah bila­mana kita sudah mati ..... Indonesia merdeka sekarang !  Setelah itu baru kita mendidik, memperbaiki kesehatan rakyat dan negeri kita”.

Demikianlah yang terjadi, diantara para pelopor pejuang kemerdekaan justru masih banyak yang takut untuk merdeka. Namun keadaan seperti itu tentu merupa­kan pemandangan yang sangat lumrah terjadi pada masa-masa revolusi dinegara manapun. Yang jelas, semuanya menunjukkan adanya kepedulian terhadap nasib rakyat dan bangsanya, serta memperkaya nuansa kesejarahan bagi negara yang bersangkutan.

Pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada Jepang dibawah pimpinan Letjen Hitoshi Imamura. Sejak saat itu berdiri satu kekuasaan dan kekuatan baru di Indonesia, yakni Kemaharajaan Jepang.

Sikap tokoh-tokoh nasionalis seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dan sebagain­ya terhadap okupasi Jepang adalah bersedia melakukan kerjasama. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya kerjasama itu adalah kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan Selatan, disamping kepercayaan rakyat kepada ramalan Jayabaya yang menga­takan bahwa “akan datang bangsa Kate yang berkuasa selama umur jagung, dan sesudahnya kemerdekaan akan tercapai” (mengenai ramalan Jayabaya, baca Bab I). Akan tetapi yang pasti, keadaan Jepang saat itu sangat kuat, sedang Indonesia berada dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu bantuan Jepang sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-citanya.

Jepang sendiri kurang menyadari bahwa beberapa kebijaksanaan kolonialnya lebih menguntungkan Indonesia dari pada dirinya sendiri. Pemuda-pemuda dikum­pulkan dalam satu wadah yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibawah pimpinan Soekarno, yang didik dan dilatih pendidikan kemiliteran. Jepang berharap, Putera dapat membantu digaris belakang bagi kepentingan peperangan mereka. Sementara Soekarno mengartikannya sebagai alat yang nomor 2 (dua) paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak politik yang sempurna. Disamping itu, pada tanggal 29 April 1943 dibentuk secara resmi organisasi pemuda Seinendan (yang diberi latihan militer untuk menyerang dan mempertahankan diri) dan Keibo­dan (pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian). Organisasi yang merupakan cikal bakal TNI inilah yang berperan besar dalam proklamasi kemerdekaan dan masa-masa sesudahnya.

Dalam pada itu, Jepang mulai menderita kekalahan secara beruntun dalam pertempurannya melawan Sekutu. Awal keruntuhan Jepang adalah jatuhnya Pulau Saipan pada bulan Juli 1944 dan dipukul mundurnya Angkatan Bersenjata Jepang dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Marshaal. Menyadari kenyataan seperti itu, tidak mungkin bagi Jepang mengadakan peperangan di dua front, yakni keluar melawan pendaratan Sekutu, dan kedalam menghadapi penduduk pribumi yang sudah memperlihatkan keberingasan dan sikap permusuhan. Oleh karena itu diper­cepatlah pemberian konsesi pada usaha perdamaian, yaitu dengan mengumumkan bahwa Indonesia diperkenankan merdeka “kelak dikemudian hari” pada tanggal 7 September 1944. Untuk menarik simpati rakyat diciptakan juga semboyan bahwa Jepang adalah “saudara tua” yang akan melindungi “saudara mudanya”, yaitu Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari janji-janjitersebut, pada bulan Maret Hatta dan Soekarno dipanggil ke Makasar untuk merundingkan mengenai Bentuk Negara. Jepang menyodorkan bentuk Monarchi, Soekarno menginginkan negara Kesatuan dan menentang segala macam bentuk negara selain Republik, sedang Hatta adalah penganjur bentuk negara Serikat. Dan dalam sidang BPUPKI 28 Mei 1945, tokoh-tokoh pemuka Islam Ortodoks menyodorkan konsepsi negara Islam, sementara golongan moderat berpendirian bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sen­diri.

Dalam sidang BPUPKI itu ternyata masih tersirat perasaan belum siap dan takut untuk merdeka dari para pemimpin Indonesia. Dalam hal ini Bung Karno memperingatkan :

“Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu ..... kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka — sampai dilubang kubur ..... jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka didalam hatinya sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka !”

Segera sesudah sidangnya yang kedua tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI dibu­barkan, dan sebagai gantinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)pada tanggal 7 Agustus 1945. Yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa sejak terbentuknya PPKI, kekuasaan Jepang sudah tidak berperan sama sekali. Ini terbukti dengan ditambahnya anggota-anggota PPKI tanpa persetujuan pihak Jepang. Ketidakberdayaan Jepang memuncak pada tanggal 14 Agustus 1945 yaitu saat bertekuk lutut kepada Sekutu. Dengan menyerahnya Jepang ini, PPKI tidak mungkin bisa dilantik oleh Balatentara Jepang.

Keadaan semacam ini dimanfaatkan oleh kaum pemuda terpelajar untuk mendesak Bung Karno agar secepat mungkin memproklamirkan kemerdekaan, yaitu pada tanggal 16 Agustus. Tetapi dari golongan tua masih menekankan dulu perlu-nya diadakan rapat PPKI terlebih dahulu, sedang Bung Karno sendiri merencanakan untuk melaksanakannya pada tanggal 17, karena angka 17 adalah angka suci yang lebih memberi harapan.

Sebelum menyusun teks proklamasi, Soekarno menghubungi Kolonel Nishi­mura untuk menjajagi sikapnya mengenai proklamasi kemerdekaan. Nishimura menjawab :

”Dai Nippon tidak lagi mempunyai kekuasaan disini. Pada waktu sekarang kedudukan kami hanyalah sebagai petugas polisi dari Tentara Sekutu. Kami sangat menyesal atas janji-janji kemerdekaan yang telah kami berikan ..... Kami terikat kepada syarat-syarat penyerahan, yaitu menyerahkan kembali negeri ini kepada Sekutu dalam keadaan status quo. Gunseikan telah menge­luarkan perintah yang melarang bangsa Indonesia mengganti pejabat-pejabat sipil atau mengadakan perubahan dalam bidang pemerintahan, dalam bentuk apapun juga. Dan selanjutnya, andaikata para pemuda memulai kekacauan, kami tidak dapat berbuat lain selain menembak dan membunuh mereka.”

Dengan adanya pernyataan Nishimura itu, jelaslah bahwa Jepang tidak lagi berkuasa atas wilayah Hindia Belanda, sehingga tidak mungkin memberi kebebasan politik kepada siapapun. Jepang dilarang mengadakan perubahan, dan apabila terja­di perubahan, mereka wajib mengembalikan kepada keadaan semula. Lagipula, Jepang sendiri mengakui sangat menyesal tidak bisa memenuhi janjinya.

Berda­sarkan fakta-fakta ini, maka dapat disimpulkan bahwa kemer­dekaan Indonesia bukanlah pemberian Jepang. Orang-orang tidak bisa lagi memegang pendapat bahwa Indonesia merdeka karena hadiah negara lain. Hanya saja harus diakui bahwa Jepang telah berjasa dalam mendidik pemuda-pemuda Indonesia dibidang kemiliteran atau keprajuritan.

Revolusi Indonesia Pasca Kemerdekaan

Lepas dari mulut singa jatuh kemulut buaya, begitulah perumpamaan yang tepat ditujukan kepada nasib Indonesia sekitar tahun 1945. Meskipun proklamasi sudah dikibarkan, Presiden dan Wakil Presiden telah terpilih, dan Konstitusi sudah ditetapkan, belum berarti lantas bebas untuk mengatur dan membangun negara dan masyarakatnya. Nyatanya dia masih harus berjuang menghadapi Inggris dan Belan­da yang ingin mengembalikan masa-masa kejayaanya seperti pada waktu yang lalu.

Tentara Serikat yang mengalahkan Jepang akhirnya memang datang ke Indonesia. Akan tetapi tugas utamanya sebenarnya adalah :

1.      Menerima penyerahan dari tangan Jepang serta melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya.
2.      Membebaskan para tawanan perang dan interniran Serikat.
3.      Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.

Kedatangan pasukan Serikat disambut dengan sikap netral oleh pihak Indo­nesia. Akan tetapi setelah diketahui bahwa mereka membawa orang-orang NICA, sikap rakyat menjadi curiga dan bermusuhan. Apalagi setelah orang-orang KNIL, maka tidak bisa dielakkan, terjadilah bentrokan bersenjata antara orang-orang In­ggris dan Belanda melawan pemuda-pemuda Indonesia. Pertempuran Ambarawa berkobar dari tanggal 20 November hingga 15 Desember 1945. Peristiwa serupa terjadi juga di Medan, Semarang, dan yang paling dramatis dan mengerikan adalah pertempuran Surabaya tanggal 9 sampai 10 November 1945.

Adalah fakta bahwa kekuatan personil dan persenjataan tentara Republik tidak seimbang dengan kekuatan NICA yang didukung sekutu-sekutunya. Oleh karena itulah, untuk menyelamatkan nyawa negara, pada tanggal 4 Januari 1946 Ibukota Negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Setelah melewati berbagai perjanjian perdamaian atau gencatan senjata seperti Linggarjati dan persetujuan militer 14 Oktober — yang kesemuanya gagal disebabkan oleh penafsiran Belanda terhadap pasal-pasal secara fleksibel (baca: menurut enaknya sendiri) — maka pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Aksi Militer yang disebutnya sebagai Aksi Polisional. Untuk menghentikan destruktif ini, dibentuklah komisi jasa-jasa baik yang terkenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Komisi inilah yang berhasil mempertemukan pihak-pihak bersengketa dalam persetujuan Renville tanggal 8 Desember 1947.

Sementara jalan diplomasi selalu menemui jalan buntu, Indonesia menghadapi rongrongan dari dalam yaitu Pemberontakan Komunis di Madiun tahun 1948. Untunglah hanya dalam waktu dua minggu, usaha kudeta itu dapat dihancurkan. Perdana Menteri Hatta, tanpa melalui KTN, segera mengadakan pendekatan politik dengan van Mook di Kaliurang, Yogyakarta. Usaha inipun tidak membawa kemajuan berarti bagi kedua pihak.

beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua. Yogyakarta berhasil diduduki, Presiden dan Wakil Presiden ditawan. Tetapi lagi-lagi untunglah, pemerintah telah memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk dan memimpin Pemer­intah Darurat RI (PDRI). Dalam masa-masa genting seperti ini, peran Jenderal Sudirman sangat besar artinya bagi perjalanan perang gerilya. Dalam saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Sudirman merupakan obor yang meman­carkan sinar ke sekelilingnya.

Terhadap situasi yang semakin tidak menentu, Amerika segera bereaksi dengan mengeluarkan resolusi: hentikan permusuhan, bebaskan Presiden dan pemimpin RI yang ditawan. Bersamaan dengan itu, TNI telah berhasil melakukan konsolidasi diri, sehingga pada tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Yogya berhasil direbut dari tangan Belanda hanya dalam waktu 6 (enam) jam. Keadaan Belanda kocar-kacir, dan ditambah lagi dengan ancaman AS untuk mencabut bantuan Marshall Plan, telah memaksa Belanda untuk mengadakan per­janjian Komite Meja Bundar (KMB).

Sekembalinya para pemimpin RI ke Yogya, diadakanlah perundingan menge­nai pembentukan pemerintah peralihan sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Selanjutnya diadakan Konferensi Antar Indonesia yang menghasilkan 2 (dua) ketentuan, yaitu :

1.      Dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan dikepalai seorang Presiden Konstitusional, dengan dibantu oleh Menteri-menteri yang bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2.      Akan dibentuk 2 (dua) badan perwakilan, yaitu DPR dan Senat.

Bertolak dari hasil-hasil tersebut, maka dilangsungkanlah KMB dari tanggal 23 Agustus hingga 2 Nopember 1949 di Den Haag. Setelah hasil perundingan dirat­ifikasi oleh KNIP dan telah dipilih Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka PM Hatta berangkat ke Nederland untuk menandatangani akte “penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana IX juga menandatangani naskah “penyerahan” kedaulatan itu.

Dengan “penyerahan” kedaulatan itu, berakhirlah secara resmi Perang Kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian bangsa dan rakyat Indonesia telah menyelesaikan satu babak dari perjalanan sejarahnya dan memasuki babak sejarah berikutnya, yaitu memikirkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Namun dari “rangkaian kisah” yang telah dilalui ada satu hal yang perlu diluruskan, yaitu bahwa pengertian “penyerahan kedaulatan” harus ditafsirkan dan diartikan sebagai “pengakuan kedaulatan”, oleh karena sejak diprok­lamirkannya kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, RI sudah memiliki kedaulatan yang sah secara hukum atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Jadi Belanda tidak bisa begitu saja mengambil alih kedaulatan itu dan menyerahkannya kembali kepada si empunya.

Sejak kekalahannya dari Jepang, Belanda mau tidak mau sudah tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun. Dia hanya memiliki kekuatan, yang dengan kekuatannya itu dia ingin mendapatkan kembali kekuasaannya yang telah hilang. Dari kacamata kolonialisme, sikap Belanda sangatlah konsekuen, namun dari aspek peri kemanusiaan dan peri keadilan, perilaku dan tindakan Belanda bisa dikatakan sebagai “kerakusan politik” atau “keserakahan sejarah”. Terhadap bangsa yang baru merdeka, sangat lemah dan memerlukan bantuan, justru diserbu habis-habisan bahkan dieksploitir sampai sekering-keringnya.  Dalam gurauan anak kecil, kolonia­lisme Belanda dapat diungkapkan dalam kalimat : beraninya hanya kepada negara yang miskin dan lemah .....

Disamping itu, adalah fakta bahwa pada tahun 1949 Belanda sudah tidak kuat lagi mengahadapi perlawanan TNI. Jika mereka masih punya laskar dan serda­du yang bisa diandalkan, sudah pasti mereka tidak akan mau “menyerahkan” kedau­latan itu, meskipun AS mengancam hendak menghentikan bantuan Marshall Plan. Adalah logis jika mereka lebih condong dan tertarik kepada kekayaan Indonesia yang melimpah dari pada bantuan AS. Jadi apa yang mereka lakukan pada tanggal 27 Desember 1949 adalah karena betul-betul disebabkan oleh faktor ketidakmam­puan mereka melanjutkan peperangan, dan oleh karena itu peristiwa diatas bukan “penyerahan”, melainkan “pengakuan” kedaulatan.

Dari uraian-uraian diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan susah payah melalui cucuran keringat, tetesan air mata dan tumpahan merahnya darah. Kebebasan rakyat tercapai berkat perjuangan lahir batin selama beratus-ratus tahun oleh rakyat Indonesia sendiri, bukan hasil pemberian negara lain apalagi permintaan kepada “Sang Penjajah”, Jepang atau Belanda.

Daftar Referensi

Adams, Cindy, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan Mayor Abdul Bar Salim, Gunung Agung, Jakarta, 1966
Daroeso, Bambang, Sejarah Pembentukan UUD 1945, Semarang, 1986
Mattulada, Pedang dan Sempoa, Suatu Analisa Kultural “Perasaan Kepribadian” Orang Jepang, penerbit (?) tahun (?)
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor, Jakarta, 1985
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Na­sional Indonesia jilid III dan IV, Depdikbud, 1977
Swearingen, R., Bahaya Dunia Komunis, terjemahan Adeng Sudarsa dan Oejeng Suwargana, Univ. of Southern California, 1966
Soebantardjo, Sari Sejarah Jilid I : Asia Australia, Djambatan, Jakarta, 1958
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Fisipol UGM, Yogyakarta, tahun (?)

Tidak ada komentar: