Senin, 03 Mei 2010

Tinjauan Sekilas Tentang Daerah Istimewa Yogyakarta


A.     Latar Belakang Terbentuknya DIY

Pada dasarnya, terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan oleh 2 (dua) faktor pokok, yaitu hak asal-usul dan susunan asli, serta peran historis dalam perjuangan kemerdekaan RI.

1.      Hak asal-usul dan susunan asli.

Pasal 18 Bab VI UUD 1945 secara tegas menyebutkan perihal hak asal-usul sebagai berikut: "..... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa".

Ini berarti bahwa UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa sebelum sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di daerahnya.

Berdasarkan eksistensi historis itu, Ir. Sujamto menyebutkan bahwa secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat 2 (dua) macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon) atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah.[1]

Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan meng-urus urusan-urusan pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewa­jiban tertentu kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengang­katan dan pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa.[2] Adapun makna susunan asli sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 18 angka II, adalah susunan yang sudah berlaku sejak semula. Meski demikian bukan berarti bahwa selama-lamanya tidak boleh diadakan perubahan terhadap organisasi Daerah Istimewa tersebut.

Dengan mengamati perjalanan sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1945, Soedarisman Poerwokoesoemo mengemukakan sebab-sebab dapat dipertahankannya Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman sebagai Daerah Istimewa, yakni:

·        Dihapuskannya fungsi dan kekuasaan Pepatih Dalem pada 1 Agustus 1945 yang menurut sejarahnya selalu dijadikan alat penjajah untuk mengadu domba dengan Sri Sultan.Fungsi dan kekuasaannya diambil alih langsung oleh Sri Sultan.
·        Dikeluarkannya Maklumat 5 September 1945 oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam yang secara positif memihak kepada Republik Indonesia.
·        Bersatunya Sri Sultan dan Sri Paku Alam dalam segala tindakannya sejak dikeluarkannya Maklumat II tanggal 30 Oktober 1945.
·        Dihapuskannya fungsi dan kekuasaan Gubernur Belanda atau Tyookan Jepang, dan diambil alih ditangan Sri Sultan dan Sri Paku Alam.
·        Ditolaknya fungsi Komisaris Tinggi atau wakilnya, yang justru merupakan salah satu sebab dapat dilikuidasinya Kasunanan Surakarta dan Mangkune­garan sebagai Swapraja.
·        Diberikannya kekuasaan kepada rakyat yang diwakili oleh KNI DIY untuk menjalankan kekuasaan legislatif dan kekuasaan untuk menentukan haluan jalannya pemerintahan.
·        Diberikannya kekuasaan kepada rakyat dalam bentuk Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota DPR DIY untuk menjalankan kekuasaan eksekutif bersama-sama Sri Sultan dan Sri Paku Alam (Maklumat No. 18 Tahun 1946).[3]

Secara tegas bahkan dinyatakan bahwa dengan dikeluarkannya amanat atau Maklumat 30 Oktober 1945, proses pembentukan DIY sudah dimulai. Amanat kedua tanggal 30 Oktober 1945 itu ditandatangani bersama-sama oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam. Dan sejak itu, segala macam maklumat yang dikeluarkan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta senan­tiasa ditandatangani oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam. Dengan demi­kian dapat dilihat oleh siapapun juga, bahwa tidak hanya terdapat persatuan antara Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai pribadi, melain­kan bahwa pada hakekatnya sejak itu Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman sebenarnya sudah menjadi satu daerah ialah Daerah Istimewa Yogyakarta.[4]

2.      Peran Historis

Meskipun kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun peperangan disana-sini masih sering terjadi. Pertempuran yang dilakukan para pemuda itu bermula dari kedatangan pasukan Serikat ke Jawa dan Sumatra dibawah Komando Asia Tenggara (South East Asian Command) pimpinan Lord Louis Mountbatten. Pasukan ini diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang bertugas untuk menerima penyerahan dari tangan Jepang, membebaskan tawanan perang dan interniran Serikat, melucuti tentara Jepang dan memulangkannya, mempertahankan dan menegakkan keadaan damai untuk kemudian diserah­kan kepada pemerintah sipil, serta menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntutnya didepan Pengadilan Serikat.

Kedatangan pasukan Serikat ini disambut dengan sikap netral dari pihak Indonesia, tetapi setelah diketahui bahwa pasukan itu membawa orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dengan terang-terangan ingin menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda, sikap Indonesia menjadi bermusuhan.

Situasi keamanan dengan cepat merosot menjadi buruk sekali. Hal ini disebabkan karena NICA mempersenjatai orang-orang KNIL yang baru dile­paskan dari tawanan Jepang, disamping sikap pasukan Inggris yang tidak menghargai kedaulatan Indonesia dan tidak menghormati para pemimpin baik di Pusat maupun di Daerah. Di Surabaya (27 Oktober-28 Nopember 1945), di Ambarawa (20 Nopember-15 Desember 1945), di Magelang (26 Oktober), di Medan (13 Oktober-10 Agustus 1946) pecah pertempuran hebat melawan Serikat. Puncak dari ketegangan ini adalah diterornya para pemimpin nasional dan percobaan pembunuhan PM Syahrir oleh sepasukan NICA pada tanggal 26 Desember 1945.

Mengingat situasi yang semakin genting dan membahayakan jiwa para pemimpin RI, pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Alasan pemilihan Yogyakarta sebagai Ibukota RI yang baru selain menyangkut aspek dukungan segenap lapisan masyarakat Yogyakarta dibawah kepemimpinan Sri Sultan dan Sri Paku Alam, juga atas desakan Badan Pekerja KNI DIY yang melihat bahwa Yogyakarta cukup aman dan dapat menjamin terlaksananya roda pemerintahan RI pada masa perjuangan.

Dukungan masyarakat dan pimpinan Daerah di Yogyakarta terhadap kemerdekaan RI yang belum berumur lama dibuktikan dengan dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 yang berisi pernyataan bahwa Negeri Ngayogya­karta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman adalah bagian dari Pemerintah Pusat Negara RI, dan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VIII bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI, dan Amanat 30 Oktober 1945 yang membentuk KNI DIY yang merupakan wakil rakyat, dengan tujuan supaya jalannya pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman dapat selaras dengan dasar UUD RI.

Semenjak kepindahan ibukota inilah, Yogyakarta memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia modern. Dibidang politik antara lain diteruskannya perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui jalan diplomasi, yang melahirkan perjanjian-perjanjian Linggarjati (15 Nopember 1946), Ren­ville (17 Januari 1948), Roem-Roijen, dan lain-lain, serta dijalinnya hubungan persahabatan dengan negara-negara Mesir, Arab Saudi, Cina, India, dan Pakistan. Dibidang ekonomi dan pendidikan antara lain pengeluaran Oeang RI (ORI) dan pembukaan BNI 1946, pendirian UGM, dan sebagainya. Sedangkan Sujamto menonjolkan peran DIY dari sosok Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Sebagai Senapati Ing Ngalaga, Sri Sultan dengan tegas menolak segala bentuk kerjasama yang ditawarkan Belanda, bahkan melalui Maklumatnya No. 5 tanggal 26 Oktober 1945, beliau memerintahkan pembentukan Laskar Rakyat ditiap kampung dan desa sebagai pembantu TKR. Selain itu Sri Sultan pernah memberi bantuan dana kepada pemerintah RI sebesar lima juta gulden lebih. Ini dilakukan semata-mata bertujuan untuk meringankan penderitaan orang-orang Republik sekaligus meningkatkan ketahanan mereka agar tetap setia kepada Republik.

Selanjutnya Sujamto menyimpulkan: "Apa yang telah diberikan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakar­ta dan masyarakat Yogyakarta, khususnya pada saat-saat negara dalam keadaan bahaya, sungguh merupakan dukungan dan penopang yang sangat menentukan bagi tetap tegaknya Republik Indonesia yang kita cintai ini. Oleh karena itu jika daerah ini sampai sekarang menyan­dang sebutan sebagai Daerah Istimewa, adalah sudah sepantasna. Bukan saja karena UU No. 5 Tahun 1974, bahkan UUD 1945 memang menjamin kedudukan yang demikian itu kepada daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu dari Zelfbestuurende Landschappen yang ada pada saat mulai berdirinya Republik Indonesia, akan tetapi juga mengingat peranan historis daerah ini yang memang benar-benar istimewa.”[5]

B.      Dasar Hukum Daerah Istimewa

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Daerah Istimewa (Zelf­bestuurende Landschappen) atau Daerah Swapraja terdapat dalam berbagai UUD dan Undang-Undang.

1.      UUD 1945

Dalam pasal 18, ketentuan mengenai Daerah Istimewa diatur bersama-sama dengan Pemerintah Daerah lainnya.

Pasal 18
”Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerin­tahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Penjelasan Pasal 18
I.        Oleh karena Negara Indonesia itu adalah "eenheidstaat", maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Didaerah-daerah yang bersifat autonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerahpun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II.      Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat +_ 250 Zelfbestuurende-landschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudu­kan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah itu.

Menurut Soedarisman, berdasarkan pasal 18 UUD 1945, pada prin­sipnya Kasultanan Yogyakartadan daerah Paku Alaman dapat dijadikan daerah istimewa yaitu DIY, asal memenuhi faktor-faktor sebagai berikut: pengaturan DIY dilakukan dengan undang-undang; DIY dijadikan daerah otonom setingkat dengan daerah besar dan kecil; bentuk dan susunan pemerintahannya mengikuti apa yang ditentukan dalam UU tersebut dengan memandang dan mengingati hak asal-usul yang berlaku di DIY; bentuk dan susunan pemerintahan DIY itu memandang dan mengingati dasar permusya­waratan.[6]

2.      Konstitusi RIS

Pengaturan tentang daerah yang bersifat istimewa tertuang dalam pasal 64 -67 yang berbunyi:       

Pasal 64
”Daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui.”

Pasal 65
”Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah-daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan, dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau di­perkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah Daerah Bagian yang bersangkutan.”

Pasal 66
”Sambil menunggu peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal yang lalu dibuat, maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku dengan pengertian bahwa pejabat-pejabat Indonesia yang dahulu yang tersebut dalamnya diganti dengan pejabat-pejabat yang demikian pada daerah bagian yang bersangkutan.”

Pasal 67
”Perselisihan-perselisihan antara daerah-daerah bagian dan daerah Swapraja bersangkutan tentang peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal 65 dan tentang menjalankannya diputuskan MA Indonesia baik pada tingkat yang pertama dan yang tertinggi pula, ataupun dalam tingkat apel.”

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan-perbedaan pandangan antara UUD 1945 dan Konstitusi RIS. Perbedaannya hanya bahwa zelfbestuurende landschappen itulah yang oleh UUD 1945 disebut sebagai daerah yang bersifat istimewa, sedang menurut konstitusi RIS adalah daerah Swapraja. Satu-satunya daerah istimewa yang tercantum dalam Konstitusi RIS adalah Kalimantan Barat (pasal 2 b).

3.      UUDS 1950

Dari ketentuan yang tercantum dalam UUDS 1950 dapat pula disim­pulkan bahwa kebijakan pokok pemerintah mengenai daerah yang bersifat istimewa sebagaimana tercantum dalam ketiga hukum dasar, hanya berbeda dalam rumusan dan peristilahannya saja. Berikut ini kutipan pasal 131-132 UUDS 1950.        

Pasal 131
1.    Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonoom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan meman­dang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2.    Kepada daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk meng-urus rumah tangganya sendiri.
3.    Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tang­ganya.

Pasal 132
1.    Kedudukan daerah-daerah Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan, bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2.    Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan, bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.
3.    Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimak­sud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.

Sedang pasal 133 hanya berisi tentang aturan peralihan seperti pasal 66 Konstitusi RIS. Disamping ketiga hukum dasar diatas, masih ada beberapa peraturan yang memuat ketentuan mengenai daerah yang bersifat istimewa, yaitu:

·        UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang merupakan pelaksanaan pasal 18 UUD 1945.
·        UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan pelaksanaan pasal 131 -132 UUDS 1950 dan sekaligus mencabut UU No. 22 Tahun 1948.
·        Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah. Penpres ini lahir setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950. Dengan demikian Penpres ini juga mencabut UU No. 1 Tahun 1957.
·        UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok Pemerintahan Daerah yang menca­but UU No. 1 Tahun 1957 dan Penpres No. 6 Tahun 1959, serta merupa­kan pelaksanaan kembali pasal 18 UUD 1945.

Dari beberapa peraturan diatas, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan pasal 5 UU No. 22 Tahun 1948 dan pasal 25 UU No. 1 Tahun 1957 beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa keistimewaan peratur-an untuk Daerah Istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya yang diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, yang masih menguasai daerahnya pada saat dibentuk sebagai daerah istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu.

Perbedaannya ialah menurut UU No. 1 tahun 1957 Kepala Daerah diangkat Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD, sedang menurut UU No. 22 Tahun 1948 hanya diangkat oleh Presiden tanpa ketentuan dari calon yang diajukan DPRD.

Dalam pasal 86 UU No. 18 Tahun 1965 lebih ditegaskan:
"Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud pasal 17 ayat (1) dan pasal 25 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril menurut pasal 11 dan 12".

Dari ketentuan pasal 86 ini, maka jika ada pergantian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang baru harus diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD serta terikat pada masa jabatan 5 tahun.

Apabila kita bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1974, akan terlihat adanya sedikit perbedaan. Pada saat Undang-Undang ini masih dalam pemrosesan, tepatnya pada draft VII tanggal 5 Maret 1974, telah timbul pikiran tentang cita penyeraga­man kedudukan Pemerintahan Daerah yang dituangkan dalam Bab Penutup pasal 92 b, sebagai berikut:

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa menurut Undang-undang ini, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan Kepala daerah lainnya, yang kemudian untuk pengangkatan Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berikutnya berlaku ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal-pasal 14, 15 dan 17 s/d 26 Undang-undang ini.

Akan tetapi setelah melalui pembicaraan di Forum DPR RI, dalam pasal 91 b UU No. 5 Tahun 1974 tidak lagi dicantumkan klausul "yang kemudian untuk pengangkatan Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berikutnya berlaku ketentuan-ketentuan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya".

Ini berarti bahwa ketentuan tentang pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah lainnya, tetap diperahankan terus.

C.      Akibat Hukum Daerah Istimewa

Dimuka telah diuraikan bahwa berdasarkan hak asal-usulnya, sebuah Daerah Istimewa berhak mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu atau menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah. Dari bermacam-macam hak tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok hak asal-usul, yakni:

1.                  Hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan.
2.                  Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangka­tan dan pemberhentian pimpinan
3.                  Hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraan urusan pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan pelayanan dan pembebanan terhadap masyarakat.[7]

UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogya­karta memberi landasan yuridis bagi DIY untuk mengurus dan melaksanakan berbagai macam kewajiban (baca: otonomi). Hal ini tercantum dalam Bab II pasal 4 yang berbunyi:

“Urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 UU No. 22 Tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut:
I.          Urusan Umum
II.         Urusan Pemerintahan Umum
III.        Urusan Agraria
IV.        Urusan Pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung.
V.         Urusan pertanian dan perikanan
VI.        Urusan kehewanan
VII.       Urusan kerajinan, perdagangan dalam negeri, perindustrian dan     koperasi
VIII.      Urusan perburuhan dan sosial
IX.        Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagiannya
X.         Urusan penerangan
XI.        Urusan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
XII.       Urusan kesehatan
XIII.      Urusan perusahaan.”

Khusus mengenai urusan agraria, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka sejak tanggal 1 April 1984, segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah pertanahan, tidak lagi mutlak menjadi urusan rumah tangga DIY.

Sebelum 1984, tepatnya sebelum reorganisasi agraria tahun 1918, hukum tanah di Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta (daerah Vorstenlanden) menentukan bahwa hak milik atas seluruh luas tanah di wilayah kerajaan, adalah mutlak ditangan raja.[8] Kepada rakyat hanya diberi hak atau wewenang anggadhuh atau meminjam tanah dari raja secara turun temurun.

Akan tetapi sesungguhnya, pernyataan yang baru mempunyai dasar yuridis formal dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman 1918 No. 18 itu semata-mata ditujukan untuk menghormati dan menjunjung tinggi raja. Dalam prakteknya, rakyat menganggap benar-benar mempunyai hak diatasnya, terbukti mereka berhak untuk menjual atau mengga­daikan tanahnya. Raja sendiri tidak menganggap dirinya sebagai tuan tanah dalam arti luas, melainkan hanya meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak.[9]

Tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja disebut tanah maosan/ pamahosan dalem (di Surakarta disebut tanah ampilan dalem). Selain tanah maosan dalem, terdapat pula tanah kejawen atau tanah lungguh atau tanah gadhuhan (apanage), yakni tanah yang dipergunakan untuk menjamin kebutu­han keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi dalem. Keluarga raja atau abdi dalem yang menerima tanah ini disebut patuh atau lurah patuh yang hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dimuat dalam pranatan patuh dari tahun 1863.[10]

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum pertanahan di Yogyakarta mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, misalnya adanya peraturan reorganisasi agraria tahun 1918-an, perkembangan hak anggadhuh menjadi hak andarbe atau hak milik, dan lain-lain. Apalagi dengan bercokolnya penjajah Belanda di Nusantara, maka hukum pertanahan di Yogyakarta ibarat layang-layang yang dikendalikan oleh dua orang. Tentunya, layang-layang itu akan bergerak kacau mengikuti kehendak tuan-tuannya yang seringkali bertentangan.

Disamping itu pula, ada suatu peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang menyebabkan terjadinya ambivalensi keagrariaan di Indonesia. Peraturan itu adalah pembedaan daerah lingkungan berlakunya peraturan-peraturan an­tara:

1.        Daerah-daerah yang diperintah langsung (rechtstreks bestuurd gebied of gouvernmentsgebied), yang masih dibagi lagi atas peraturan-peraturan yang berlaku bagi Jawa Madura dan bagi luar Jawa Madura, dengan
2.        Daerah yang diperintah tidak langsung yang disebut Daerah Swapraja (indi­rect bestuurd gebied of zelfbestuurende landschappen).[11]

(tulisan ini adalah salah satu Bab dalam Buku saya berjudul: ”Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Navilla Yogyakarta, 2000).



[1].      Ir. Sujamto, Daerah Istimea Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara Jakarta, 1988, hal. 13.
[2].      ibid., hal. 14.
[3].      Soedarisman Perwokoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada U.P., Yogyakarta, 1984, hal. 14 -47.
[4].      ibid., hal. 29.
[5].      Ir. Sujamto, op.cit., hal. 260.
[6].      Soedarisman Poerwokoesoemo, op.cit., hal. 53.
[7].      Ir. Sujamto, op.cit., hal. 15.
[8].      Tentang hal ini lihat, Soedarisman, op.cit., hal. 280; Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Surakarta 1830-1920, Tiara Wacana Yogyakarta, 1991, hal. 27; Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada U.P., Yogyakarta, cet. ketiga, 1991, hal. 177; Werner Roll, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia, Studi Kasus Daerah Surakarta-Jateng, Rajawali Jakarta, 1983, hal. 49.
[9].      S. Poerwopranoto, Penuntun Tentang Hukum Tanah (Agraria), Astana Buku Abede Semarang, 1952, hal. 10.
[10].    Soedikno Mertokoesoemo, op.cit., hal. 36.
[11].    Lihat Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, NV. Masa Baru Bandung -Jakarta, 1960, hal. 21.

Tidak ada komentar: