Sabtu, 05 Juni 2010

ESELONISASI JABATAN DI ERA OTONOMI: RELEVANKAH?


DALAM era desentralisasi luas saat ini, aspek kepegawaian atau pembinaan SDM memegang peran yang sangat penting. Namun dalam prakteknya, sering terjadi bahwa penataan organisasi pemerintah daerah menjadi terhambat gara-gara faktor personalia ini. Sebagai contoh, tuntutan untuk menciptakan struktur organisasi yang ramping dan datar (lean and flat) tidak dapat terpenuhi hanya untuk mengakomodasi banyaknya pegawai. Disisi lain, upaya penghematan anggaran dan pemandirian daerah dari subsidi pusat juga terhambat karena terlalu besarnya dana yang harus dialokasikan untuk membayar gaji pegawai.

Memang banyak sekali variabel yang ikut menentukan rumitnya persoalan kepegawaian. Salah satu yang sangat esensial menurut penulis adalah kebijakan eselonisasi. Menurut Prof. Sadu Wasistiono, penerapan kebijakan eselonering dimulai pada tahun 1977 seiring dengan pemberlakuan Dwi Fungsi ABRI. Hal inilah yang memungkinkan banyaknya anggota militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, sehingga dipandang perlu adanya penyetaraan antara kepangkatan militer dengan jenjang jabatan sipil. Dalam PP 15/1994 tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural sendiri dinyatakan bahwa eselon adalah tingkatan jabatan struktural yang disusun berdasarkan berat ringannya tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak

Seiring dengan proses reformasi yang menghapuskan Dwi Fungsi, secara logika mestinya berdampak pada perlunya penghapusan sistem eselonering pula. Disamping itu, untuk mengukur berat ringannya tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak dari suatu jabatan, sebenarnya tidak perlu dengan eselonisasi. Karena uraian jabatan dan spesifikasi jabatan pun sudah dapat menggambarkan hal tersebut. Dan suatu jenjang jabatan cukup dikaitkan dengan jenjang kepangkatan. Artinya, semakin tinggi pangkat seseorang, maka makin tinggi pula jabatan yang dapat disandangnya. Sangat disayangkan bahwa prinsip seperti ini tidak berjalan dengan adanya eselonering. Banyak ditemukan kasus seseorang yang menduduki eselon tertentu namun malah memiliki pangkat yang lebih rendah dibanding pegawai lain yang tidak ber-eselon. Itulah sebabnya, kebijakan eselonisasi justru hanya menimbulkan kerancuan dalam pembinaan kepegawaian.

Meskipun demikian, perlu diakui bahwa sistem eselon ini dapat berjalan cukup baik pada saat sistem kepegawaian kita menganut asas yang terintegrasi (integrated system) berdasarkan UU No. 8/1974 jo. UU No. 43/1999. Namun dengan berlakunya UU No. 22/1999 (lihat pasal 76), sistem kepegawaian berubah menjadi terpisah (separated system) dimana pemerintah daerah memiliki hak kepegawaian secara penuh namun sumber pembiayaan personilnya masih tergantung dari pemerintah pusat. Dengan sistem terpisah ini, rotasi jabatan hanya terjadi pada daerah yang bersangkutan (internal rotation), sementara mutasi horizontal (antar daerah) maupun mutasi vertikal menjadi sangat sulit. Padahal, eselon tertinggi di tingkat Kabupaten/Kota hanya II-a, sehingga menutup peluang bagi seorang pejabat daerah untuk meraih jabatan pada eselon yang lebih tinggi (Sadu Wasistiono, 2003).

Dalam hal tertentu, eselonering juga sering berdampak pada terjalinnya koordinasi yang kurang harmonis antar instansi di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sering terjadi antara Asisten Sekda dengan Kepala-kepala Dinas atau Lembaga Teknis Daerah. Dalam hal ini, Asisten Sekda tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengkoordinasikan Kepala Dinas karena memiliki eselon yang sama, yakni II-b. Seorang koordinator memang selayaknya memiliki jenjang pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Namun jika lembaga atau pejabat yang dikoordinasikan menghormati tugas dan fungsi koordinator, mestinya tetap tunduk dan tidak perlu mempermasalahkan adanya hambatan psikologis yang bersumber dari posisi yang sejajar.

Pada kasus lain, eselonering menjadi penghambat bagi upaya mengembangkan organisasi di tingkat kecamatan dan kelurahan. Seperti diketahui, kebijakan desentralisasi berimplikasi pada terjadinya transfer pegawai secara berlimpah dari Pusat ke Daerah. Akibatnya, Kabupaten/Kota mengalami surplus pegawai, sementara Kecamatan dan Kelurahan tetap mengalami defisit pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Itulah sebabnya, sebagian pegawai dan jabatan di tingkat Kabupaten/Kota mestinya didistribusikan lagi hingga tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Namun pelimpahan pegawai ini akan terbentur pada rendahnya jenjang eselon jabatan di Kecamatan dan Kelurahan, dimana eselon tertinggi di Kecamatan adalah III-b (Camat), sedang di Kelurahan adalah IV-a (Lurah). Akibatnya, struktur kepegawaian tidak dapat terdistribusikan secara merata, dan malah cenderung mengakibatkan pembengkakan organisasi di tingkat Kabupaten/Kota.

Kebijakan untuk melimpahkan pegawai dari pusat ke daerah sendiri sesungguhnya juga sebuah pilihan yang sangat dilematis. Pada satu sisi, transfer kepegawaian merupakan konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi secara menyeluruh. Namun disisi lain, jumlah pegawai yang membengkak dengan sangat tiba-tiba telah menyebabkan kemampuan anggaran daerah merosot, meskipun hanya untuk membayar gaji, sehingga terpaksa harus menggantungkan dari DAU pusat. Adanya eselonering yang dikaitkan dengan tunjangan jabatan struktural, jelas makin memperburuk kondisi ini. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sebuah mekanisme pemberian imbalan / tunjangan berdasarkan prestasi, bukan pada jabatan (struktural). Sebab, tunjangan jabatan struktural bukan hanya menyita porsi belanja negara dalam jumlah besar, namun juga terbukti tidak mampu merangsang tumbuhnya kreativitas, inovasi dan motivasi berprestasi dikalangan pegawai.

Masih tergantungnya daerah kepada pusat dalam aspek penggajian dan regulasi kepegawaian, menunjukkan bahwa desentralisasi di Indonesia belum berjalan sepenuhnya. Kondisi ini hanya merupakan sebuah desentralisasi semu atau quasy-desentralization. Untuk menciptakan bangunan otonomi daerah yang benar-benar luas, utuh, dan bulat, maka pembenahan aspek kepegawaian menjadi syarat mutlak (condition sine qua non), dan penataan kembali sistem eselonisasi adalah salah satu hal yang harus diprioritaskan.

Dengan adanya berbagai permasalahan kepegawaian diatas, sudah sewajarnya jika kebijakan tentang eselonering ini “ditinjau kembali”. Disamping itu, kewenangan kepegawaian sebaiknya diletakkan pada level propinsi sehingga membuka peluang mutasi yang lebih luas dalam lingkup regional. Jika kondisi kepegawaian tidak dibenahi, bukan saja berdampak pada tidak dapat dioptimalkannya SDM daerah, namun juga menjadi masalah laten bagi implementasi otonomi daerah secara luas dan berkesinambungan.

Tidak ada komentar: