KOMITMEN pemerintahan baru dibawah komando SBY untuk membangun prestasi olahraga nasional, nampaknya tidak main-main. Hal ini dapat dilihat dari “dihidupkannya kembali” kementerian olahraga yang telah cukup lama hilang dari struktur kabinet. Dari aspek pembinaan dan peningkatan prestasi, kebijakan ini diyakini dapat menjadi strategi yang ampuh untuk mempromosikan dunia olahraga Indonesia di pentas dunia. Merosotnya prestasi olahraga nasional memang disinyalir merupakan salah satu akibat dari tiadanya kelembagaan pemerintah yang menangani masalah ini, baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota.
Meskipun demikian, dalam konteks administrasi pemerintahan daerah, belum tentu pembentukan kementerian olahraga ini membawa pengaruh yang signifikan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih kuatnya “budaya imitasi” di kalangan birokrasi lokal dalam praktek berpemerintahan (Utomo, Sinar Harapan, 20/12/02). Sebagai perwujudan dari perilaku ini, format departemen di tingkat pusat akan diadopsi kedalam format kelembagaan daerah. Dalam bidang keolahragaan, kemungkinan besar akan bermunculan Dinas Olahraga daerah.
Di Jawa Barat sendiri pernah muncul gagasan membentuk Dinas Olahraga. Alasan yang dikemukakan terdiri dari tiga hal, yaitu: beberapa propinsi lain telah memiliki Dinas Olahraga, belum adanya konsep pembinaan dan pendidikan olahraga, serta Jabar pada tahun 2010 mendatang ingin tercatat sebagai propinsi olahraga. Gagasan ini mandeg seiring dengan hilangnya kementerian olahraga di tingkat pusat.
Dalam kerangka pembentukan sistem pemerintahan yang lebih baik dan efektif pada masa mendatang, gagasan perlunya pembentukan Dinas Olahraga (Propinsi) perlu dicermati secara kritis paling tidak dari dua dimensi strategisnya. Pertama, kesesuaian dengan semangat otonomi daerah; dan kedua, kemampuan untuk mewujudkan konsep good local government. Dengan kata lain, terlepas dari perlu atau tidaknya Dinas Olahraga, setiap kebijakan publik yang berimplikasi secara langsung maupun tidak langsung kepada penambahan beban yang harus dipikul masyarakat, harus benar-benar dikaji cost dan benefitnya.
Dari dimensi yang pertama, dalam PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, tidak terdapat satu pasal dan ayatpun yang menyatakan olahraga sebagai kewenangan propinsi. Asumsinya, urusan olahraga merupakan kompetensi murni dari pemerintah Kota/Kabupaten sebagai kewenangan desentralisasi. Disisi lain, mengacu kepada PP 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dinas adalah unsur pelaksana pemerintah daerah yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi dalam rangka tugas desentralisasi.
Berdasarkan landasan formal tersebut, pembentukan Dinas Olahraga Propinsi mengandung beberapa resiko. Resiko pertama adalah lemahnya dasar-dasar konsiderasi dalam formulasi Perda (law making). Seperti dimaklumi, pembentukan suatu produk hukum (dari yang tertinggi hingga yang terendah) haruslah memiliki basis yuridis dan filosofis yang kuat, bahwa substansi yang diatur benar-benar penting dan beralasan untuk dituangkan dalam sebuah produk hukum tertentu. Oleh karena itu, seandainya butir-butir “mengingat” atau “menimbang” dalam Perda tentang pembentukan Dinas Olahraga mencantumkan UU 22/1999, PP 25/2000, atau PP 8/2003, hal ini jelas-jelas merupakan suatu “kekhilafan hukum”, jika tidak dikatakan sebagai penyimpangan. Sebab, sekali lagi, peraturan-peraturan tersebut tidak mendelegasikan bidang olahraga sebagai kewenangan propinsi.
Lebih dari itu, resiko yang terbesar adalah kemungkinan gugatan dari pemerintah Kota/Kabupaten dengan tuduhan bahwa pemerintah Propinsi telah melakukan tindakan abus de pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan). Dalam khazanah ilmu hukum, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan kekuasaan, yaitu: 1) melaksanakan kewenangan melebihi dari kewenangan yang sebenarnya dimiliki, 2) melaksanakan kewenangan secara melawan hukum, serta 3) melaksanakan kewenangan yang menjadi kewenangan pejabat/instansi lain. Dalam kasus pembentukan Dinas Olahraga, pemerintah Propinsi dapat terkena jenis penyalahgunaan kewenangan yang ketiga.
Namun jika Dinas Olahraga hendak direalisir, justru harus ditempatkan pada level kabupaten/kota, bukan propinsi. Kalaupun sebuah lembaga yang mengelola urusan keolahragaan di tingkat propinsi akan tetap dibentuk, lebih tepat kiranya jika berupa Lembaga Teknis (Kantor atau Badan) yang tugas-tugasnya lebih diarahkan kepada program koordinasi, pembinaan, dan fasilitasi kepada Dinas Olahraga Kabupaten/Kota. Argumen ini sesungguhnya sangat logis mengingat urusan olahraga telah didevolusikan kepada daerah. Nah, jika kemudian dibentuk Dinas Olahraga Propinsi, akan memunculkan kesan atau kecenderungan terjadinya resentralisasi kewenangan oleh propinsi.
Sementara itu dari dimensi yang kedua, ide pembentukan Dinas Olahraga dapat dianalisis dalam kerangka mewujudkan sosok pemerintahan daerah yang baik (good local government). Menurut World Bank Institute dalam buku The Challenge of Urban Government (2001), untuk mewujudkan pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan kota yang baik diperlukan empat syarat yaitu: livable (mampu memberi jaminan kualitas pelayanan dan kesempatan yang memadai bagi masyarakat); produktif dan kompetitif (productive and competitive); terorganisir dengan baik (well governed and well managed); serta mampu dan layak secara finansial (bankable).
Untuk lebih menyederhanakan penggolongan syarat good urban governance diatas, aspek pertama dan kedua dapat dikategorikan sebagai dimensi output, sedangkan aspek ketiga dan keempat termasuk dalam dimensi input dan proses. Pada tataran output, kinerja Dinas Olahraga akan lebih produktif dan kompetitif jika dibentuk pada level terendah suatu daerah otonom, yakni kabupaten/kota. Hal ini kembali kepada semangat otonomi tentang “kedekatan” lembaga publik dengan constituent yang harus dilayani. “Dogma” yang sering digunakan adalah: “semakin dekat suatu unit pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, semakin cepat, murah dan baik pelayanan yang dapat diberikan oleh unit tersebut”. Secara konkrit dapat diilustrasikan bahwa Dinas Olahraga di tingkat propinsi akan memiliki rentang kendali (span of control) yang sangat panjang untuk membina puluhan kabupaten/kota di wilayahnya serta puluhan cabang olahraga. Atas dasar pemikiran seperti ini, maka fungsi olahraga jauh akan lebih produktif jika di devolusikan kepada kabupaten/kota.
Disamping hal diatas, terdapat alasan lain tentang keraguan terhadap efektivitas dan produktivitas penyelenggaraan kewenangan olahraga jika dipegang oleh Propinsi. Salah satu alasan yang sangat mendasar menyangkut isi dan luas kewenangan, apakah hanya mencakup fungsi-fungsi perumusan kebijakan umum, pembinaan, pengarahan, penetapan standar kualitas sarana / prasarana, perencanaan, koordinasi, promosi, dan evaluasi; ataukah juga mencakup fungsi-fungsi teknis seperti pembibitan atlet, penyelenggaraan even / kompetisi, pembangunan / penyediaan alat dan sarana, pemberian jaminan kesejahteraan atlet dan pelatih, dan sebagainya.
Jika hanya untuk melaksanakan jenis-jenis kewenangan pada kelompok pertama (yang lebih bersifat steering), pembentukan Dinas Olahraga Propinsi agaknya masih dapat ditolerir, meskipun perlu dipertimbangkan dari aspek kelembagaannya. Namun jika dimaksudkan untuk menjalankan fungsi-fungsi kedua yang lebih bersifat rowing, maka pembentukan Dinas Olahraga di tingkat Kabupaten/Kota jelas menjadi alternatif kebijakan yang lebih mantap.
Selanjutnya alasan lain tentang kemungkinan terjadinya state failure jika urusan olahraga dipegang propinsi bersumber dari pertimbangan kelembagaan. Dewasa ini paling tidak terdapat tiga lembaga pemerintah (atau semi pemerintah) yang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memiliki kewenangan dibidang yang sama (olahraga), yakni KONI, Pendidikan Luar Sekolah (PLS), dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah. Jika kemudian Dinas Olahraga akan dibentuk, belum terdapat kejelasan terhadap kemungkinan berikut ini:
· Akan terdapat empat lembaga sekaligus yang bergerak di bidang keolahragaan.
· Akan dilakukan penggabungan / merger organisasi, yakni ketiga lembaga yang sudah ada diintegrasikan menjadi Dinas Olahraga.
· Dinas Olahraga dibentuk, sedang ketiga lembaga yang sudah ada dibubarkan (aspek kepegawaian akan disalurkan ke instansi lain).
Tiga alternatif kelembagaan (atau alternatif lain diluar ketiganya) beserta dampak-dampak yang mungkin timbul, harus benar-benar dipertimbangkan secara cermat sebelum memunculkan Dinas Olahraga secara formal. Kalaupun hal ini telah dilakukan, tetap saja belum mampu menjamin bahwa Dinas Olahraga Propinsi akan betul-betul mendorong prestasi olahraga di daerah yang bersangkutan.
Keunggulan atau keuntungan jika Dinas Olahraga dibentuk di tingkat propinsi barangkali hanya menyangkut aspek input dan proses saja. Artinya, karena secara relatif pemerintah Propinsi memiliki kemampuan anggaran dan SDM (input) yang lebih baik, sekaligus memiliki kemampuan managerial yang lebih maju dan modern (proses), maka secara relatif pula kemampuan mengelola urusan olahraga akan lebih baik di tingkat propinsi. Namun, kekurangan kabupaten/kota dalam hal input dan proses ini dapat diminimalisir dengan cara mendevolusikan sebagian faktor input dan prosesnya kepada kabupaten/kota. Dengan kata lain, devolusi urusan olahraga bersifat “paket”, yakni menyangkut kewenangan dan sekaligus sumber daya pendukungnya. Jika masih ada keengganan dari propinsi untuk menyerahkan sumber daya ini, maka akan selalu terjadi tarik menarik antara propinsi dengan kabupaten/kota tentang hak atau kompetensi untuk membentuk Dinas Olahraga.
Terlepas dari perdebatan tentang pada level mana semestinya Dinas Olahraga dibentuk, hal yang lebih penting adalah bagaimana melibatkan secara intensif peran swasta dalam pembinaan olahraga di daerah. Baik pemerintah Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota, tidak mungkin dapat menjalankan sendiri urusan olahraga secara efektif, produktif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan adalah membangun konsep kerjasama dan koordinasi yang harmonis antara Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, pelaku bisnis (sponsor), masyarakat olahraga, dan berbagai pihak terkait. Keberadaan Dinas Olahraga mungkin memang menjadi salah satu jawaban, namun tanpa adanya upaya mensinergikan berbagai potensi kemasyarakatan, prestasi olahraga di daerah khususnya (dan juga di Indonesia secara umum) akan tetap mengalami stagnasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar