Sabtu, 05 Juni 2010

IMPLIKASI YURIDIS OTONOMI DAERAH


SEIRING dengan derap reformasi yang melanda bangsa Indonesia, bidang pemerintahan juga mengalami hal sama, yang ditandai oleh penggantian UU Nomor 5 tahun 1974 (lex anteriori) dengan UU Nomor 22 tahun 1999 (lex posteriori). UU Nomor 22 tahun 1999 ini secara substansial memiliki semangat baru yang berorientasi kepada pemberdayaan daerah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan umum di daerah yang bersangkutan.

Dengan berlakunya UU yang baru tersebut, harus dipahami akan menimbulkan implikasi-implikasi tertentu, baik secara politis, administratif, maupun yuridis. Implikasi politis berarti terjadinya reposisi hubungan Pusat dan Daerah, dimana hak dan peran pemerintah Pusat untuk “ikut campur” dalam kehidupan pemerintah Daerah semakin kecil dan berkurang. Pada saat yang bersamaan, fungsi dan kedudukan lembaga daerah khususnya legislatif, semakin diberdayakan. Implikasi politis ini pada gilirannya akan berdampak secara administratif dalam bentuk perlunya penataan kewenangan dan kelembagaan pemerintahan daerah. Sementara implikasi yuridis menyangkut bentuk-bentuk regulasi di tingkat daerah, kewenangan pengaturan lembaga-lembaga di tingkat daerah dan substansi materialnya, serta konsekuensi pengaturan dari masing-masing lembaga daerah yang berkewenangan.

Dari ketiga implikasi dari berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tersebut, terhadap aspek politis maupun administratif telah dilakukan banyak pengkajian maupun pembahasan, sedang aspek hukumnya relatif belum dikaji secara lengkap. Oleh karena itu, aspek hukum inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini, dalam kaitannya dengan upaya menciptakan tertib administrasi pemerintahan di daerah dan efisiensi penyelenggaraan otonomi.

Beberapa Permasalahan


Dari berbagi upaya untuk mensosialisasikan UU Nomor 22 tahun 1999 di daerah, terdapat kesan masih melekatnya pola pikir lama bahwa kebijakan (policy atau regulasi) selalu bersifat piramidal. Artinya, pemerintah daerah hanya dapat mengeluarkan kebijakan setelah secara umum diatur di tingkat Pusat. Dalam hal ini, fungsi kebijakan di tingkat daerah selalu diidentikkan sebagai penjabaran atau penerjemahan dari kebijakan makro di tingkat Pusat.

Fenomena ini jelas bertentangan dengan hakikat otonomi dan desentralisasi yang dianut UU Nomor 22 tahun 1999. Sebagaimana diketahui, otonomi dari asal katanya adalah auto (sendiri) dan nomos (urusan atau wewenang), sehingga berarti kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan desentralisasi, dari asal katanya adalah de (memisahkan / mengurangi), central (pusat), dan sasi (proses), berarti proses pengurangan campur tangan pusat terhadap daerah.

Keadaan diatas akan menjadikan perubahan kebijakan pada policy level – yakni penggatian UU Nomor 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 – tidak menimbulkan efek yang signifikan pada perumusan kebijakan tingkat operational level. Fakta empiris yang menunjukkan gejala ini dapat dicontohkan sebagai berikut. Pertama, nomenklatur daerah (Propinsi dan Kabupaten / Kota) sampai saat ini masih menggunakan pola lama (menggunakan istilah Tingkat I atau Tingkat II), padahal UU Nomor 22 tahun 1999 secara eksplisit telah menghilangkan hierarki / jenjang kedaerahan. Alasan yang dikemukakan adalah belum keluarnya peraturan (Mendagri) yang mengatur tentang “nomenklatur dan titelatur pemerintah daerah dan jabatan-jabatan di lingkungan pemerintah daerah”.


 Padahal, pasal 121 telah secara jelas menyebutkan perihal perubahan sebutan tersebut. Kedua, Kebiasaan pengaturan berbagai aspek pemerintah daerah (eksekutif) melalui Perda. Hal ini tentu patut dipertanyakan, mengingat UU Nomor 22 tahun 1999 telah sangat jelas memisahkan Kepala Daerah dan perangkatnya sebagai badan eksekutif, dengan DPRD sebagai badan legislatif (bandingkan dengan pasal 13 UU Nomor 5 tahun 1974 yang memasukkan DPRD kedalam unsur eksekutif). Artinya, sepanjang substansi tertentu tidak menyangkut aspek kemasyarakatan, maka Kepala Daerah berhak mengatur melalui instrumen yang dimiliki, yaitu Keputusan Kepala Daerah.

Kedua permasalahan diatas perlu dimunculkan sebagai polemik untuk memancing timbulnya debat publik tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di daerah. Sebab, menghadapi otonomi daerah yang luas dan utuh, daerah sangat memerlukan instrumen perundang-undangan yang lain, yakni Peraturan Pemerintah Daerah (PPD), sebagai analog terhadap Peraturan Pemerintah (PP) di tingkat Pusat. Sebagaimana kita ketahui, peraturan perundangan yang utama di daerah dewasa ini hanya berbentuk Perda (sebagai analog terhadap UU) dan Keputusan Kepala Daerah (sebagai analog terhadap Keputusan Presiden).

Dengan hanya memiliki dua bentuk peraturan perundangan di tingkat top managerial, tidak mengherankan jika kuantitas Perda menjadi begitu banyak. Dampaknya, beban kerja DPRD menjadi relatif semakin berat dan proses lahirnya Perda tersebut juga menjadi lambat atau tersendat, baik secara substansial maupun temporal. Disisi lain, fleksibilitas dan kreativitas Kepala Daerah kurang optimal untuk menjalankan fungsi regulasi umum di daerah karena pembatasan tersebut.

Pada gilirannya, beban kerja DPRD yang sangat tinggi bahkan cenderung overload ditambah dengan fleksibilitas yang rendah dari Kepala Daerah, akan menyebabkan timbulnya kesan bahwa daya tanggap (responsiveness) pemerintah Daerah sangat kecil dalam menangkap aspirasi masyarakat. Kondisi tersebut – sekali lagi – mengisyaratkan perlunya dilakukan reformasi di bidang peraturan perundangan di daerah, yang salah satunya dengan cara menambahkan bentuk peraturan perundangan baru yakni Peraturan Pemerintah Daerah (PPD).

Interpretasi Yuridis


Gagasan tentang perlunya Peraturan Pemerintah Daerah (PPD) sebagai bentuk formal peraturan perundangan di daerah tersebut, perlu didukung dengan landasan yuridis yang kuat yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku di tingkat nasional, yakni UU Nomor 22 tahun 1999.

Berdasarkan pasal 7, 9 dan 11, kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, selain yang dikecualikan dalam pasal 7 dan 9. Ini berarti bahwa otonomi daerah bersifat luas, utuh dan bulat. Dalam kaitan dengan otonomi yang luas, utuh dan bulat sebagaimana dianut UU Nomor 22 tahun 1999, maka daerah tidak hanya memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu urusan saja, tetapi juga kewenangan untuk mengatur pelaksanaan urusan tersebut. Dengan demikian, daerah memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan peraturan daerah (Perda), Keputusan Kepala Daerah, atau bentuk-bentuk regulasi yang lain dalam rangka menjalankan otonominya, tanpa harus menunggu “petunjuk” dari Pusat. Hal ini tidak berarti mengabaikan ketentuan pasal 12 bahwa pengaturan mengenai kewenangan daerah akan ditetapkan dengan PP. Pasal 12 ini harus diinterpretasikan sebagai pengaturan secara administratif, yang tidak akan membatasi kewenangan daerah itu sendiri untuk mengambil inisiatif dalam pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, berdasarkan pasal 14, DPRD merupakan badan legislatif, sedangkan pemerintah daerah (Kepala Daerah dan perangkatnya) merupakan badan eksekutif. Dikaitkan dengan pasal-pasal lain yang mengatur tentang kedudukan, hak dan kewajiban DPRD, maka ketentuan pasal 14 ini sesungguhnya mengandung jiwa pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat agar pemerintah daerah dapat meningkatkan kinerja sekaligus akuntabilitasnya. Namun demikian, pemberdayaan DPRD tidak seharusnya mengurangi hak, wewenang dan kompetensi Kepala Daerah dalam melakukan fungsi-fungsi pemerintahan (executive pouvoir atau pouvoir reglementair). Oleh karena itu, tidak seluruh kebijakan harus melalui pintu dewan, sebab justru akan menjadikan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi relatif lamban dan kaku.

Disamping itu, berdasarkan pasal 72 Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa Kepala Daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Keputusan. Namun perlu diperhatikan bahwa wewenang utama (core competence) Kepala Daerah untuk mengeluarkan Keputusan adalah sepanjang menyangkut urusan kepemerintahan (eksekutif), sedangkan urusan diluar kepemerintahan menjadi kompetensi alat pemerintah Pusat / unsur dekonsentrasi (c.q Gubernur). Dengan demikian, seorang Gubernur akan dapat mengeluarkan kebijakan (Keputusan) dalam dua segi, yaitu : 1) sebagai Kepala Daerah, 2) sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Sedangkan keputusan Kepala Daerah Kabupaten / Kota hanya berkenaan dengan urusan desentralisasi (kedaerahan) belaka. Oleh karena itu, yang perlu diperjelas dalam hal ini adalah kriteria yang baku tentang Keputusan Gubernur selaku Kepala Daerah, dan Keputusan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat.

Perlunya kriteria yang baku terhadap setiap bentuk peraturan perundangan ini adalah untuk menjaga agar kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif maupun legislatif didaerah tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur KKN, sebagaimana yang terjadi pada kasus Keputusan Presiden. Dalam kasus Keppres misalnya, kajian MTI menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1993 hingga pertengahan 1998, terdapat 72 Keppres yang bermasalah (berbau KKN). Terjadinya KKN dalam perumusan kebijakan tadi, salah satunya jelas diakibatkan oleh tiadanya kriteria yang baku terhadap formalitas kebijakan. Dengan kata lain, adanya kriteria ini diharapkan akan menjadi alat kontrol secara legal terhadap produk perundangan yang akan dikeluarkan.

Kriteria Peraturan Perundangan di Daerah


Disamping dimaksudkan sebagai alat kontrol legal terhadap kebijakan publik, adanya kriteria baku dalam penyusunan peraturan perundangan juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kebingungan, kekaburan dan tumpang tindih pengaturan suatu materi tertentu kedalam bentuk dan atau tata urutan peraturan perundangan di daerah. Dengan kata lain, reformasi peraturan perundangan di daerah membutuhkan adanya kejelasan tentang kriteria material dari setiap produk hukum yang ada. Dalam kaitan ini, bentuk peraturan perundangan di daerah serta kriteria material yang dipergunakan, diusulkan sebagai berikut :

Pertama, suatu materi dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (atas persetujuan DPRD), jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut : a) mengikat masyarakat umum, membebankan kewajiban tertentu kepada penduduk, mengurangi kebebasan warga negara, atau memuat keharusan dan larangan tertentu ; b) ada penyebutan secara limitatif dari peraturan perundangan yang lebih tinggi (UU, PP, Kepres) bahwa suatu aspek tertentu harus / dapat diatur dengan Perda ; c) untuk melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi yang tidak disebutkan secara limitatif, namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang luas untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya ; serta d) untuk melaksanakan peraturan perundangan dalam bidang legislatif (UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susduk MPR/DPR/DPRD, dan sebagainya).

Kedua, suatu materi dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah, jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut : a) melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah yang disebutkan secara limitatif ; b) melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam Peraturan Daerah yang tidak disebutkan secara limitatif, namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang luas untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya ; serta c) menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan (executive pouvoir).

Ketiga, suatu materi dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah, jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut : a) melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Pemerintah Daerah yang disebutkan secara limitatif ; b) melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Pemerintah Daerah yang tidak disebutkan secara limitatif, namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang spesifik untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya ; serta d) untuk menjalankan tugas-tugas pembantuan yang dibebankan oleh Pusat kepada Gubernur selaku wakil pemerintah. Dengan demikian, sifat PPD lebih kepada aspek pengaturan (regulerend), sedangkan KKD lebih bersifat ketentuan (beschikking).

Sebagai tindak lanjut dari penetapan kriteria tersebut, yang perlu dilakukan oleh seluruh jajaran pemerintah daerah dan pimpinan badan legislatif adalah mengidentifikasikan substansi-substansi mana yang membutuhkan pengaturan dengan Perda dan mana yang membutuhkan pengaturan dengan Peraturan Pemerintah Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Namun untuk memberikan gambaran secara umum dapat dikemukakan contoh, dimana pemerintah Daerah beserta DPRD cukup menyusun 1 (satu ) Peraturan Daerah tentang “Perangkat Pemerintah Daerah Jawa Barat” yang berisi ketentuan-ketentuan umum (lex generalis) tentang kewenangan daerah, kewenangan dinas/lembaga teknis, struktur organisasi secara umum, alokasi sumber daya, dan sebagainya. Sedangkan pengaturan secara lebih khusus (lex specialis) dalam bentuk SOTK dinas/lembaga teknis akan ditentukan dengan Keputusan Kepada Daerah.

Dengan pengaturan kembali kaidah-kaidah yuridis dalam penataan organisasi pemerintah daerah diatas, diharapkan permasalahan yang terjadi selama ini dapat diatasi, dan DPRD sebagai lembaga legislatif tidak terlalu direpotkan dengan tugas-tugas yang sesungguhnya merupakan rumpun tugas eksekutif. Hal ini sekaligus diharapkan membawa pengaruh positif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, khususnya dalam upaya menciptakan keserasian / keseimbangan hubungan antara Kepala daerah dengan DPRD, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berotonomi.


Versi singkat dari tulisan ini dipublikasikan di Harian Media Indonesia, 30 Agustus 2000. Ditulis bersama Desi Fernanda.

Tidak ada komentar: