Sabtu, 05 Juni 2010

Interpretasi Yuridis Pembentukan Daerah Otonom (Kasus Cimahi)


KONTROVERSI pembentukan Kotif Cimahi sebagai Daerah Otonom (Kabupaten / Kota) akhir-akhir ini semakin meruncing. Disatu pihak, Sekber Cimahi Otonom menginginkan status ‘Kota’ bagi Cimahi ; sementara pihak Pemda Kabupaten Bandung dan DPRD setempat justru mengajukan opsi baru bagi Cimahi, yakni menjadi ‘Kabupaten’ atau ‘Kawasan Kota’. Kedua pihak sama-sama mengklaim bahwa aspirasi tersebut berasal dari masyarakat Cimahi (grassroot) yang harus diperjuangkan. Kedua pihak juga merasa bahwa opsi yang mereka tawarkan adalah pilihan terbaik bagi warga Cimahi pada khususnya dan seluruh masyarakat Bandung pada umumnya.

Kontroversi tersebut bahkan cenderung mengarah kepada sengketa antar kedua belah pihak. Hal ini tercermin dari pernyataan Ketua Komisi Politik dan Hukum Sekber yang akan mem-PTUN-kan Pemda dan DPRD sebab mengabaikan aspirasi dan amanat UU Nomor 22 tahun 1999. Menjawab tantangan tersebut, Ketua Pansus VIII DPRD mengatakan bahwa opsi yang diajukan masih dimungkinkan oleh UU, dan mempersilahkan pihak lawan untuk mem-PTUN-kan (Republika, 27 Mei 2000).

Terlepas dari kontroversi tersebut, para pihak hendaknya mengendapkan secara jernih falsafah hukum yang berbunyi salus populi suprema lex, yang berarti bahwa keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Ini berarti, jika terdapat suatu peraturan perundangan yang menghambat upaya pemberdayaan masyarakat, maka peraturan tersebut batal demi hukum (nietig). Dalam konteks perseteruan antara Sekber dengan Pansus tersebut, harus dipahami bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan (unity). Jika masing-masing mengaku sebagai wakil atau “penyambung lidah” masyarakat, tentu hal itu tidak dalam kerangka masyarakat sebagai kesatuan, melainkan sebagai kelompok-kelompok masyarakat (tribe). Oleh karena itu, untuk mencari upaya pemecahan terhadap kasus tersebut, perlu dikembalikan kepada aturan yang berlaku, bukan atas dasar interpretasi secara parsial dan individual.

Ketentuan Yuridis


Polemik tentang pembentukan Daerah otonom, sesungguhnya tidak perlu terjadi jika dikembalikan kepada landasan hukum yang sangat eksplisit pada pasal 125 (2) UU Nomor 22 tahun 1999 yang berbunyi : Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya UU ini, Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif … sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten / Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 5 UU ini. Sedangkan dalam pasal 5 (1) disebutkan bahwa : Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi potensi daerah, sosial budaya, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lainnya yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Terhadap ketentuan kedua pasal tersebut, perlu digarisbawahi hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembentukan suatu daerah otonom (Kabupaten / Kota) merupakan hak asasi masyarakat dari Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif yang telah memenuhi syarat tertentu. Ini berarti bahwa setiap usaha untuk menghalangi peningkatan status daerah otonom dengan alasan apapun adalah suatu penghianatan tidak saja secara yuridis-konstitusional namun juga secara sosio-psikologis. Kedua, persyaratan pembentukan daerah otonom bukanlah harga mati tanpa suatu toleransi sama sekali. Mengingat bahwa trend perkembangan masyarakat selalu bergerak kearah kemajuan dan dinamika, maka kondisi obyektif yang mendekati syarat minimal, semestinya tidak dipandang sebagai faktor penghambat pembentukan daerah otonom yang bersangkutan. Dalam hal ini, salah satu persyaratan yang perlu dipikirkan kembali (bahkan jika perlu dihilangkan) adalah mengenai jumlah penduduk dan luas daerah.

Mengenai syarat jumlah penduduk, Raymond Gettel pernah menyatakan bahwa No definite limit can be fixed for the number of persons necessary to form a state (tidak ada batasan yang pasti mengenai jumlah penduduk yang dibutuhkan untuk membentuk suatu negara). Sementara itu Gilchrist mengatakan bahwa It is impossible to fix a definite number of Men for a state (adalah tidak mungkin untuk menentukan jumlah penduduk minimal dalam suatu negara). Sebagai contoh, negara Tuvalu dan Nauru hanya berpenduduk sekitar 10 ribu orang. Jika pembentukan negara tidak terdapat syarat minimalnya, secara logis dapat dianalogikan bahwa pembentukan daerah juga tidak membutuhkan syarat ini. Selanjutnya mengenai persyaratan luas wilayah, Cina sebagai negara terbesar di dunia memiliki wilayah seluas 9.561.000 km2, sangat kontras dengan negara Tuvalu yang memiliki luas wilayah ! 26 km2 dan Nauru seluas ! 21 km2. Ini berarti bahwa untuk membentuk suatu negara, tidak terdapat batasan minimal. Dengan demikian, secara logis dapat dianalogikan pula bahwa pembentukan daerah juga tidak membutuhkan syarat ini.

Dalam konteks pembentukan Kota Cimahi, syarat-syarat yang diatur dalam pasal 5 tersebut ternyata telah terpenuhi menurut penelitian dari 5 Perguruan Tinggi yang dibentuk oleh Bupati (Republika, 20 Mei 2000). Meskipun hasil penelitian tersebut belum diakui oleh Bupati sendiri, namun yang jelas sampai saat ini belum ada hasil penelitian serupa yang membuktikan sebaliknya. Oleh karenanya, secara asumtif hasil penelitian tadi harus dianggap benar secara relatif. Penolakan terhadap hasil penelitian yang ada secara apriori, malahan menunjukkan ketidakdewasaan serta arogansi dari pihak yang menolak tersebut.

Yang dipermasalahkan kemudian adalah opsi mengenai bentuk otonomi daerah, apakah 1) Kabupaten, 2) Kota atau 3) Kawasan Kota. Mengenai ketiga opsi ini, masing-masing memiliki karakteristik dan pengertian sendiri. Kabupaten, adalah suatu daerah otonom yang berciri dominan pertanian atau perdesaan. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 1 huruf (n dan o) yang menegaskan bahwa Desa hanya berada di Kabupaten, sedangkan Kota hanya memiliki Kelurahan. Kota, adalah daerah otonom yang tidak bersifat rural, tetapi lebih urbanized. Adapun Kawasan Perkotaan menurut pasal 90 memiliki 3 makna sebagai : 1) yang merupakan bagian daerah Kabupaten, 2) yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan, dan 3) yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan.

Mengacu kepada pengertian dari ketiga bentuk kelembagaan yang mungkin diterapkan tersebut, fakta empirik mengindikasikan bahwa perkembangan sosial, ekonomi dan fisik Cimahi telah sangat jauh berubah dari corak perdesaan menjadi perkotaan. Ini berarti bahwa bentuk kelembagaan Kabupaten kurang sesuai bagi Cimahi. Selanjutnya, terhadap opsi Kawasan Perkotaan, dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Pertama, hingga saat ini Cimahi memang merupakan bagian dari Kabupaten (Bandung). Namun dengan telah terpenuhinya seluruh persyaratan sebagai daerah otonom, maka tidak mungkin Cimahi hanya dijadikan sebagai bagian dari suatu Kabupaten (Bandung atau yang lainnya). Kedua, Cimahi lebih dari sekedar perubahan Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan. Transformasi perkotaan Cimahi telah berlangsung cukup lama dan telah berhasil mengubah Cimahi sebagai Kota Besar yang setaraf dengan Kota Bandung dan kota-kota besar lain di Indonesia. Dengan kata lain, Cimahi tidak menunjukkan diri sebagai kawasan baru yang sedang tumbuh. Dan ketiga, Kotif Cimahi bukan merupakan dua atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik, tetapi memang satu wilayah administrasi pemerintahan.

Dengan argumentasi seperti diatas, maka opsi Kawasan Perkotaan bagi Cimahi nampaknya juga kurang bersesuaian dengan amanat peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, tanpa menutup ruang bagi wacana perdebatan publik, opsi Kota bagi Cimahi agaknya merupakan pilihan yang paling proporsional menurut ketentuan yuridis yang berlaku.

Cimahi Otonom : Sebuah Agenda


Jika opsi Kota bagi Cimahi disepakati, maka yang harus segera dilakukan adalah mempersiapkan langkah-langkah administratif, terutama oleh Pemda (cq. Bupati) dan DPRD. Langkah pertama adalah penyusunan usulan / rekomendasi oleh Bupati kepada DPRD tentang pembentukan / peningkatan status Kotif Cimahi menjadi Daerah otonom (Kota). Kebijakan Bupati yang masih menunggu-nunggu dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk mengulur-ulur waktu hingga batas akhir (dead line) yang ditetapkan. Namun perlu dipahami bahwa langkah Bupati ini sesungguhnya dapat menjadi blunder bagi dirinya. Sebab, menurut kaidah Hukum Administrasi Negara, tindakan Bupati yang tidak berbuat sesuatu (yakni mengajukan usulan) telah dapat dikategorikan sebagai berbuat sesuatu (yakni penolakan untuk mengajukan usulan) jika sampai batas waktu terakhir yang ditentukan belum juga dilakukan. Dan keputusan Bupati (meski tidak tertulis) yang menolak mengajukan usulan ini dapat dijadikan dasar bagi pengajuan gugatan melalui PTUN. Dengan kata lain, Bupati dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad).

Selanjutnya, atas dasar usulah Bupati tadi, menjadi tugas dan kewajiban DPRD untuk mengkaji dan memberikan pertimbangan. Jika ternyata usulan tadi telah memenuhi seluruh kriteria normatif, maka DPRD tinggal memberikan persetujuan untuk diteruskan kepada pemerintah. Namun jika ternyata masih terdapat kekurangan, maka DPRD dapat memerintahkan Bupati untuk mempersiapkan dan menyempurnakan hal ihwal yang bersangkutan dengan usulan yang diajukan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa dalam menerima setiap usulan dari lembaga eksekutif, legislatif hendaknya mengembangkan asumsi rechtmatig, yaitu bahwa eksekutif memang berwenang untuk menyampaikan usulan itu (bevoegdheid) serta tidak mengandung cacat hukum dalam usulannya. Sebaliknya, DPRD tidak boleh mengembangkan apriori negatif untuk – sengaja maupun tidak – ‘menjegal’ kebijakan pimpinan daerah.

Dalam hal usulanh tersebut telah mendapatkan persetujuan DPRD, maka pemerintah menugaskan DPOD untuk melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik serta pertimbangan lainnya. Dari hasil penelitian ini, DPOD menyampaikan pertimbangan penyusunan RUU pembentukan daerah otonom (Cimahi) untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah bersama-sama DPR.

Akhirnya, jika RUU tersebut disetujui menjadi UU, maka langkah yang harus dilakukan adalah menyusun organisasi pemerintahan daerah lengkap dengan perangkat serta sumber-sumber daya yang dibutuhkan. Sedangkan kebutuhan terhadap keberadaan lembaga legislatif sebagai kekuatan kontrol dapat dipenuhi, baik melalui pemilu lokal ataupun prosentase raihan suara dari setiap partai politik yang mengikuti pemilu 1999 lalu.

Catatan Penutup


Kasus Cimahi bagi Kabupaten Bandung dapat diibaratkan seperti kasus Banten bagi Jawa Barat. Meskipun demikian, ternyata terdapat suatu sikap politis yang sangat bertolak belakang. Pemda Jawa Barat dan DPRD-nya menunjukkan sikap ksatria dengan keberaniannya menyapih sang anak yang memang sudah dewasa dan sudah waktunya untuk menentukan nasib sendiri, sekaligus mengajukan usulan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan pembentukan Propinsi Banten. Sementara Pemda Kabupaten Bandung dan DPRD-nya menunjukkan gejala ketakutan tidak mampu mandiri jika tidak ditopang oleh anaknya yang telah dewasa. Hal ini sungguh ironis – bahkan tragis – bagi perkembangan desentralisasi di Indonesia.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Bandung Pos, 5 Juni 2000 dengan judul “Mendambakan Cimahi yang Otonom”.

Tidak ada komentar: