Sabtu, 05 Juni 2010

Menyoal Revisi UU Pemerintahan Daerah


DI sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta, Ryaas Rasyid menyatakan bahwa revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 bukan lagi suatu langkah mundur, tapi sudah terjun bebas. Logikanya sama sekali tidak main, karena revisi itu mengubah asumsi dasar dari otonomi daerah dengan membawa kembali kewenangan ke pusat, sehingga terjadi perubahan dari pengakuan kewenangan menjadi penyerahan urusan (Kompas, 31/5).

Suara vokal yang dikemukakan oleh Ryaas dalam kesempatan itu sesungguhnya bukanlah yang pertama kali. Sejak adanya kebijakan yang mengeliminasi eksistensi Kementerian Negara Otonomi Daerah dan penempatannya sebagai MENPAN, Ryaas telah berkali-kali melakukan otokritik yang berujung pada pengunduran dirinya dari Kabinet Persatuan Nasional. Namun sayangnya, “bola” yang dilempar oleh Ryaas kurang mendapat tanggapan yang serius dari berbagai pihak. Bahkan otoritas di Depdagri sendiri sebelumnya terkesan “dingin” dan terus melanjutkan program revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah.

Namun akhir-akhir ini agaknya terjadi perubahan dalam orientasi kebijakan di Depdagri. Sebagaimana dikemukakan Ketua Umum Apkasi Syaukani, pemerintah pusat, dalam hal ini Depdagri, bertekad untuk menunda revisi UU itu (Media Indonesia, 31/5). Syaukani sendiri mengatakan bahwa sekarang bukan zamannya lagi ramai-ramai berdebat yang kadang tidak produktif, yang penting adalah tekad untuk melaksanakan otonomi daerah ini. Depdagri, nampaknya mulai bersikap moderat bahwa revisi akan dilakukan setelah adanya evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah.

Belum jelas apakah Ryaas Rasyid menjadi gembira dengan perubahan sikap Depdagri ini, ataukah hanya sekedar menunda kekecewaan mengingat bahwa revisi UU Nomor 22 tahun 1999 juga hanya sekedar “ditunda”. Namun bagi penulis, permasalahan pokoknya tidak terletak pada pilihan apakah UU pengganti UU Nomor 5 tahun 1974 ini harus direvisi atau tidak. Demikian pula tidak menjadi masalah, kapan waktu yang tepat untuk melakukan revisi. Yang harus dikkaji justru adalah aspek substansial, apakah pemberlakuan UU Pemda yang baru ini mampu mendorong kinerja daerah otonom dan proses demokratisasi di tingkat akar rumput, ataukah justru sebaliknya. Artinya, jika ada indikasi (terlebih lagi bukti) bahwa manajemen dan performa pemerintah daerah menjadi semakin buruk setelah adanya kebijakan desentralisasi secara luas, maka perlu segera dilakukan terhadap seluruh produk hukum yang mengatur masalah ini. Dalam hal seperti ini, penundaan revisi malah akan memperparah keadaan yang sedang memburuk.

Sebagai contoh, di sektor kehutanan, kewenangan otonom pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola sumber daya nasional, terbukti tidak berimplikasi positif. Bahkan sebaliknya, sumber daya hutan mengalami deforestasi yang lebih besar. Berdasarkan perhitungan sementara yang dikutip dari Departemen Kehutanan (Dephut), deforestasi selama tiga tahun sejak era reformasi dan otonomi daerah telah melampaui angka 2,5 juta hektar/tahun dari rata-rata sebelumnya 1,6 juta hektar (Kompas, 1/6). Hal ini menunjukkan secara gamblang bahwa “otonomi luas” secara signifikan berdampak pada dan/atau diartikan sebagai “manajemen bebas”. Dalam kasus seperti ini, penyesuaian kebijakan (salah satunya melalui perubahan aturan hukum), jelas menjadi tuntutan yang mendesak.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa perubahan dapat dilakukan secepatnya secara radikal dalam arti mencakup sebagian besar pasal-pasal. Perubahan hanya dapat dibenarkan setelah dipenuhinya beberapa prakondisi.

Pertama, perlu segera disusun peraturan organik (PP atau Keppres) sebagai penjabaran pasal-pasal dalam UU Nomor 22 tahun 1999. sedapat mungkin, aturan organik tersebut disusun secara lengkap dan rinci, sehingga tidak membutuhkan aturan organik yang lebih rendah lagi (Kepmen, Kepdirjen). Pada saat berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, banyak sekali pasal-pasal yang belum ada aturan pelaksananya. Jika saja saat itu disusun aturan pelaksana secara baik dan obyektif, bukan tidak mungkin UU ini dapat bertahan lebih dari 25 tahun. Oleh karenanya, hendaknya kita dapat belajar dari sejarah untuk tidak sembarangan merubah UU Pokok sebelum ada pengaturan yang lebih lengkap. Dalam hal sudah ada aturan organik terhadap UU Pokok, dan dipandang perlu untuk melakukan revisi, maka revisi ini dapat diterapkan hanya terhadap aturan organiknya. Kasus di sektor kehutanan tadi misalnya, percepatan deforestasi selain akibat terlalu cepatnya pemberlakuan otonomi daerah serta silang pendapat tentang aturan otonomi daerah yang belum jelas, juga karena terlambatnya beberapa peraturan pemerintah (PP) yang harus diterbitkan sebagai amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Kompas, 1/6).

Kedua, perlu ada evaluasi dan kajian terhadap implementasi otonomi di sektor tertentu. Termasuk dalam cakupan kajian ini adalah apakah suatu permasalahan memiliki korelasi secara langsung dengan kebijakan otonomi, ataukan karena faktor-faktor yang bersifat eksternal. Dengan kata lain, adanya permasalahan bukan merupakan pembenaran atas argumen untuk merubah kebijakan secara instan. Dalam tataran teoretis, memang selalu terdapat potensi gap antara kebijakan yang dirumuskan dengan implementasinya di lapangan. Namun, gap tersebut tidak selamanya harus diatasi dengan perubahan, atau bahkan penggantian kebijakan secara langsung.

Apalagi seperti yang kita pahami bersama, lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 adalah dalam rangka merubah paradigma-paradigma dasar dari UU sebelumnya yang lebih bernafaskan sentralisme dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, kalaupun akan dilakukan revisi terhadap UU yang baru, hendaknya ada “jaminan” bahwa hal itu tidak akan mengurangi nilai-nilai demokratisasi komunitas lokal, pemberdayaan institusi lokal, serta upaya peningkatan kualitas pelayanan umum. Dengan kata lain, revisi semestinya tidak dilakukan pada tataran kesisteman, tetapi cukup dengan cara amandemen, yakni membuat perubahan secara inkremental dan gradual.

Jika perubahan dilakukan dengan metode inkremental dan gradual ini, bahkan bagi Ryaas Rasyid pun kelihatannya tidak ada alasan untuk menolaknya. Apa yang dikhawatirkan oleh Ryaas sesungguhnya adalah berpalingnya kembali “kiblat” pemerintahan daerah kepada kehendak dan “petunjuk” Pusat, dan ini berarti gagalnya proses reformasi sektor publik. Dalam perspektif seperti ini, maka perubahan dapat dilihat sebagai satu langkah maju, namun juga dapat dianggap sebagai langkah mundur. Artinya, sepanjang revisi disusun sebagai respon obyektif terhadap tuntutan dari bawah untuk memperbaiki sistem manajemen pemerintahan, hal ini jelas bernilai konstuktif. Namun jika perubahan telah menyentuh hakekat dari semangat otonomi, boleh jadi hal ini bukan saja menjadi setback dalam upaya menciptakan good (local) governance di Indonesia, namun juga berbahaya bagi kehidupan demokrasi di masa depan.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian untuk menghindari kemungkinan terjadinya resentralisasi adalah dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian pemerintah daerah. Kebiasaan menunggu Juklak, Juknis atau berbagai bentuk petunjuk lainnya harus segera diakhiri. Namun, arogansi lokal (terutama daerah maju / kaya terhadap daerah yang lebih terbelakang / miskin) harus pula dihindari. Kita dapat belajar dari kasus negara-negara lain dimana proses desentralisasi tidak dapat berjalan baik karena keterbatasan pemerintah daerah dalam berbagai hal. Karena kegagalan tersebut, maka terjadilah proses resentralisasi atau pengambilalihan kewenangan oleh Pusat. Kasus ini banyak terjadi di Afrika sebagaimana diungkapkan oleh Wunsch (2001: 277-188). Ini berarti bahwa program pengembangan kapasitas pemerintah daerah (local government capacity building) sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya resentralisasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan.

Keberadaan UU Nomor 22 tahun 1999 seharusnya disikapi sebagai bentuk peluang daerah untuk membangun daerah dan masyarakatnya secara lebih baik. Jika daerah selalu menampakkan keraguan, kelemahan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan sendiri, maka wacana perubahan kebijakan desentralisasi akan terus menggelinding.

Tidak ada komentar: