DEWASA ini, kabupaten/kota di Indonesia gencar menjalankan amanat pasal 66 UU Nomor 22/1999, yakni pelimpahan kewenangan kepada camat. Dari kacamata administrasi publik, kebijakan ini sangat sesuai dengan semangat desentralisasi, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Kebijakan ini bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk “desentralisasi tahap kedua”, yang menempatkan otonomi pada kesatuan masyarakat hukum di daerah, dan tidak semata-mata pada pemerintah daerah sebagaimana yang terjadi selama ini.
Namun sayangnya, kebijakan tadi tidak dapat berjalan optimal pada tahap implementasinya. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini, antara lain aturan mengenai eselonisasi jabatan yang menghambat transfer personalia, pendekatan dan pola pelimpahan kewenangan yang masih cenderung homogen dengan pendekatan yuridis struktural (top-down), belum adanya juklak dan juknis yang bersifat operasional, belum adanya konsep perimbangan sumber daya antara kabupatan/kota dengan kecamatan, dan sebagainya.
Diluar faktor-faktor diatas, aspek institusional atau format organisasi juga berpotensi menjadi sumber persoalan baru pasca pelimpahan kewenangan. Masalah yang dimaksud disini adalah bahwa tipe organisasi kecamatan yang bersifat kewilayahan (teritorial), tiba-tiba diberi kewenangan baru yang bersifat sektoral. Dengan kata lain, kecamatan yang selama ini lebih banyak menyelenggarakan tugas-tugas dekonsentrasi dan urusan pemerintahan umum, secara mendadak diberi tugas/urusan/kewenangan lini dan teknis yang selama ini dijalankan oleh dinas daerah.
* * *
SEBAGAIMANA diketahui, model kelembagaan di Kabupaten/Kota terdiri dari 4 (empat) jenis atau fungsi, yakni organisasi Lini (direpresentasikan oleh Dinas), Staf dan Auxiliary (Sekretriat), Supporting Units (Lembaga Teknis), serta organisasi Kewilayahan / Teritorial (Kecamatan dan Kelurahan).
Oleh karena jenis dan fungsi dasarnya berbeda, maka kewenangan yang diemban-pun juga berbeda. Dinas adalah organisasi yang menjalankan tugas-tugas pokok (kewenangan substantif atau kewenangan material) daerah. Itulah sebabnya, bidang kewenangan dan nomenklatur dinas dibentuk berdasarkan pertimbangan sektoral (sektor pertanian, sektor kesehatan, dan sebagainya). Sedangkan Sekretariat adalah unit organisasi yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pembantuan untuk mendukung pelaksanaann fungsi lini yang dijalankan dinas. Dengan kata lain, unit-unit dalam Sekretariat berkewajiban melaksanakan tugas-tugas ketatausahaan dalam rangka pengambilan kebijakan, seperti Bagian Umum, Bagian Kepegawaian, Bagian Keuangan, Bagian Bina Pemerintahan, dan sebagainya.
Selanjutnya, Lembaga Teknis berbentuk Badan atau Kantor bertugas melaksanakan fungsi-fungsi strategis daerah yang belum terakomodasikan oleh pola kelembagaan yang lain. Fungsii-fungsi yang diemban oleh Lembaga Teknis bukanlah kewenangan substantif daerah, namun memiliki peran yang sangat penting bagi daerah. Contohnya adalah Badan Penelitian dan pengembangan, Badan Pengawasan, dan Badan Perencanaan Daerah. Adapun lembaga kewilayahan pada umumnya lebih diarahkan sebagai pelaksana tugas bidang “pemerintahan umum” seperti masalah ketentraman dan ketertiban (tramtib), administrasi kependudukan, serta pembinaan kemasyarakatan.
Pada masa UU Nomor 5/1974, Kecamatan adalah perangkat dekonsentrasi, yang bertugas menjalankan tugas pemerintahan umum dan kewenangan yang dilimpahkan oleh aparat dekonsentrasi yang lebih tinggi, yakni Bupati, Gubernur, ataupun Menteri. Namun dengan berlakunya UU Nomor 22/1999, Kecamatan berubah menjadi “perangkat daerah”, sehingga secara tidak langsung, berkewajiban untuk ikut menjalankan sebagian tugas/kewenangan kabupaten/kota.
Disinilah awal mula perlunya pelimpahan kewenangan kepada Kecamatan. Namun, dari sini pula-lah kompleksitas itu menjadi semakin rumit. Kecamatan yang masih berciri organisasi kewilayahan, justru diberi kewenangan yang bersifat sektoral. Dalam hal ini, terdapat dilema perlu tidaknya Kecamatan menjalankan kewenangan substantif/material. Sebab, pelimpahan kewenangan substantif kepada kecamatan akan menimbulkan potensi benturan dengan lembaga-lembaga sektoral (Dinas). Pada saat yang bersamaan, selain melaksanakan kewenangan substantif (yang diatur dalam Peraturan Daerah), Dinas juga dapat menerima pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota melalui Surat Keputusan.
Jika kita konsisten dengan jenis dan fungsi kecamatan sebagai lembaga kewilayahan (dibatasi oleh batas geografis dan administratif), maka perlu dipertimbangkan kemungkinan Kecamatan hanya menyelenggarakan kewenangan/tugas-tugas bidang “Pemerintahan Umum”. Hal ini sesuai dengan tugas pokok Camat sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.061/729/TJ tgl.21 Maret 2000 tentang Penataan Perangkat Daerah, yakni:
· Memimpin pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Kecamatan;
· Membantu Sekretaris Daerah dalam penyiapan informasi mengenai wilayah Kecamatan yang dibutuhkan dalam perumusan kebijakan bagi kepala Daerah;
· Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pelayanan lintas Kelurahan dan Desa.
Fungsi kecamatan sebagai pelaksana tugas “pemerintahan umum” ini sebenarnya diakomodir juga dalam Kepmendagri No. 158/2004. Hal ini terlihat dari pengaturan tentang dua seksi limitatif (dinyatakan secara wajib dalam peraturan perundangan), yakni Seksi Pemerintahan dan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban. Kedua seksi ini, secara substantif termasuk dalam kategori kewenangan bidang “Pemerintahan Umum”.
Hanya saja, kalau Kecamatan akan diarahkan untuk menjalankan fungsi “Pemerintahan Umum” saja, maka hal ini tidak sejalan dengan ketentuan pasal 3 Kepmendagri No. 158/2004 yang menyatakan bahwa “Camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota sesuai karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya”. Dengan kata lain, Kepmendagri No. 158/2004 ini cenderung memerintahkan Kecamatan untuk ikut serta menyelenggarakan kewenangan substantif/material. Dan disinilah letak kekurangkonsistenan Kepmendagri ini.
* * *
UNTUK mengantisipasi agar pelimpahan kewenangan kepada kecamatan tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks, maka perlu dilakukan pengkajian lebih dalam tentang format kelembagaan kecamatan pada masa yang akan datang. Dalam hal ini, pilihan untuk mengembangkan organisasi kecamatan dapat dipilih diantara dua opsi berikut:
· Menetapkan format organisasi secara seragam atau homogen mengingat tipisnya karakteristik antar Kecamatan di suatu daerah.
· Menetapkan format organisasi secara heterogen berdasar tipologi-tipologi tertentu yang dihitung berdasarkan indikator jumlah penduduk, jumlah kelurahan, luas wilayah, serta sarana/fasilitas dasar bidang sosial ekonomi.
Kebijakan pemerintah sendiri nampaknya ingin mengkompromikan kedua opsi tersebut. Hal ini terlihat dari ketentuan Kepmendagri No. 158/2004, dimana jumlah seksi ditetapkan sebanyak-banyaknya lima , dengan dua diantaranya adalah Seksi Pemerintahan dan Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum. Sedangkan nomenklatur ketiga seksi lainnya dapat disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecamatan sesuai kebutuhan daerah (pasal 5). Ketentuan diatas menggambarkan dengan jelas bahwa kebebasan daerah untuk mendesain format kelembagaan kecamatan, sangatlah terbatas. Artinya, pemerintah kabupaten/kota hanya diberi hak untuk menentukan nomenklatur dari seksi di kecamatan, namun tidak berhak menentukan jumlah seksi atau besaran organisasi kecamatan.
Satu hal lagi yang perlu dipikirkan adalah kemungkinan untuk memberikan status kecamatan sebagai unit organisasi “semi otonom”. Berdasarkan pasal 66 UU No. 22/1999, kecamatan hanya diposisikan sebagai perangkat daerah kabupaten//kota . Namun disisi lain, pelimpahan kewenangan kepada camat yang disertai oleh perimbangan sumber daya, menyiratkan bahwa kecamatan secara sadar tengah diarahkan dan berproses menjadi unit otonom dibawah kabupaten/kota.
Ini berarti pula bahwa kecamatan akan menjadi kesatuan hukum yang memiliki kewenangan teritorial (relative competence) sekaligus kewenangan sektoral (absolute competence). Dengan demikian, hubungan antara kabupaten/kota dengan kecamatan dapat dianalogikan dengan hubungan pusat dengan daerah. Bedanya, kecamatan bukanlah daerah otonom yang berhak menerbitkan peraturan perundangan yang mengikat rakyat di wilayahnya. Oleh karena kecamatan memiliki kompetensi relatif dan absolut, namun tidak memiliki hak regulasi yang mengikat inilah, maka model otonomi di tingkat kecamatan hanya dapat dikatakan sebagai quasy autonomy.
Dengan pola quasy autonomy seperti ini, kendala institusional relatif dapat teratasi. Namun hilangnya kendala ini bukan berarti meniadakan masalah-masalah lainnya. Masalah hubungan koordinasi antara kecamatan dengan dinas-dinas teknis masih akan terus menghantui. Dalam hubungan ini, maka perlu pula dilakukan peninjauan ulang tentang kedudukan, peran/fungsi, dan kewenangan dinas daerah. Sebaiknya, dinas hanya dijadikan sebagai lembaga pembina kewenangan secara fungsional, namun bukan sebagai penyelenggara kewenangan itu sendiri.
Dengan melakukan pembenahan secara institusional, maka pelimpahan kewenangan kepada camat akan lebih menjamin pemberian layanan umum yang semakin baik, cepat, dan berkualitas. Pada gilirannya, kebijakan ini tidak lagi mencerminkan euphoria desentralisasi, namun benar-benar sebuah refleksi atas komitmen pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan mengakselerasi pembangunan daerah secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar