Sabtu, 05 Juni 2010

ETIKA BIROKRASI KITA


HUBUNGAN antara pemerintah dan masyarakat, akhir-akhir ini terlihat kurang harmonis. Indikasi utama dari fenomena itu adalah sering terjadinya protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah maupun perilaku aparatnya. Aksi protes itu sendiri dilakukan dengan cara yang sangat santun melalui saran-saran melalui berbagai media ; sampai dengan tindak kekerasan (violance) berupa penjarahan, perusakan serta terorisme. Inti dari semua aksi tersebut sesungguhnya bermuara pada satu hal, yakni terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparatnya.

Bisa jadi, di mata masyarakat, aparat tidak lagi memperjuangkan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Secara menyolok justru terjadi semacam lomba atau pamer kekayaan di kalangan pejabat tinggi, yang jelas sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat. Akibatnya, gap antara pejabat dengan rakyat semakin menganga lebar, dan pada suatu ketika tidak terjalin sama sekali titik singgung diantara keduannya. Dalam kondisi demikian, antara pejabat dengan rakyat seolah-olah menjadi dua pihak yang saling berhadapan secara konfrontatif.

Faktor penyebab disharmoni tersebut tentu bersifat kompleks dan multi dimensional. Namun dibalik berbagai kemungkinan faktor penyebab tersebut, dapat ditunjuk kondisi etika dan moralitas birokrasi yang relatif sedang mengalami dekadensi. Para pejabat kita agaknya lebih senang mengedepankan kebenaran hukum dari pada kebenaran yang bersemi pada hati nurani. Sayangnya, hukum adalah karya cipta manusia yang tidak lepas dari subyektivitas penciptanya, sehingga substansi yang dikandung dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kehendak penciptanya tadi. Oleh karena itu, gagasan utama yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah perlunya dimunculkan pendekatan etika dalam dinamika kehidupan berpemerintahan di Indonesia.

Antara Pendekatan Benar - Salah dan Baik - Buruk


Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public  policy).

Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer dimata masyarakat adalah : pembangunan waduk, pengurangan / penghapusan subsidi BBM / TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-lembaga ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya.

Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis. Sebagai contoh dapat ditunjukkan kasus-kasus sebagai berikut.

Pertama, kasus perijinan HPH. Secara yuridis, penebangan hutan secara besar-besaran dengan alasan untuk menghasilkan devisa dapat dibenarkan karena perusahaan yang bersangkutan telah memiliki ijin yang legal. Namun secara etis tindakan tersebut sangat tidak dibenarkan (dan karenanya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan baik), sebab menimbulkan kerusakan alam yang sangat hebat serta menggusur kepentingan penduduk asli. Kedua, kasus korupsi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis, setiap pertanggungjawaban keuangan yang dapat dibuktikan secara formal tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi, meskipun secara materiil tindak pidana tersebut telah terjadi. Konkritnya, jika pembangunan suatu mega proyek secara riil menghabiskan biaya 10 trilyun, tetapi dalam kuitansi maupun nota-nota keuangan lainnya tercantum 15 trilyun, maka sesungguhnya telah terjadi korupsi sebesar 5 trilyun, meskipun secara hukum positif tidak terjadi. Tindakan memanipulasi angka ini jelas tidak etis dan tidak bermoral. Itulah sebabnya kemudian muncul anekdot bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat korupsi terbesar di dunia, namun dengan jumlah koruptor terkecil di dunia.

Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan etika / moral. Dengan kata lain, perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan publik ini harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau moral. Konsekuensi dari pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan / kesejahteraan rakyat banyak, serta 2) keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah / tanah air dimana kebijakan tersebut dirumuskan.

Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi aparatur pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).

Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima) norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta norma-norma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat, 1984 : 94). Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota interrn organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.

Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah, dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya. Manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut, diharapkan praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Semua lapisan masyarakat membutuhkan pelayanan birokrasi (public service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah sikap keadilan (equity) dari para pejabat atau birokrat.

Etika Dalam UU Nomor 28 tahun 1999


Discretionary power yang dimiliki pemerintah memiliki kelemahan fundamental, yakni kemungkinan terjadinya perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, untuk mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat diperlukan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai dasar etika berpemerintahan.

Selama ini pemerintah menganggap bahwa pendekatan etika dalam law enforcement tidak begitu penting, sebab telah terdapat hukum nasional yang terkodifikasi. Sayangnya, aturan hukum selalu tertinggal beberapa langkah dibanding kemajuan cara hidup manusia yang sarat potensi konflik. Itulah sebabnya, banyak pasal-pasal hukum yang kemudian tidak dapat menyelesaiakan suatu peristiwa secara memuaskan. Dalam keadaan sepertti inilah, pendekatan etika berfungsi sebagai sumber hukum baru yang sekaligus mengisi kekosongan hukum.

Oleh karena itu, lahirnya UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, dari perspektif etika merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam praktek berpemerintahan. Atas dasar aturan ini, legalitas dan kemanfaatan tindakan pemerintah tidak hanya diukur dari tingkat penyimpangannya terhadap norma hukum, tetapi juga terhadap norma-norma lain yang belum diwadahi secara formal dalam bentuk peraturan perundangan tertentu. Dengan kata lain, apabila seorang anggota masyarakat dirugikan oleh suatu keputusan atau tindakan pejabat tertentu, dasar gugatan yang bisa digunakan tidak hanya berasal dari ketentuan hukum pusitif, namun juga apakah keputusan atau tindakan pejabat tersebut bersesuaian dengan nilai-nilai etika atau tidak.

Adapun asas-asas etika yang terkandung dalam UU Nomor 28 tahun 1999 ini adalah asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional, serta akuntabilitas. Tujuh asas etika tersebut memang belum mencerminkan keseluruhan asas yang sering muncul dalam khazanah ilmu hukum. Sebagaimana diketahui, di Negeri Belanda paling sedikit terdapat 13 asas etika, yakni kepastian hukum, keseimbangan / proporsional, kesamaan dalam mengambil keputusan / tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, bertindak cermat, motivasi, tidak mencampuradukkan kewenangan, permainan yang layak, keadilan, menanggapi pengharapan yang wajar, meniadakan akibat suatu keputusan yang batal, perlindungan atas pandangan hidup pribadi, serta asas kebijaksanaan atau sapientia (Muchsan,1982; Poerbopranoto, 1978; Marbun, 1987).

Implikasi terpenting dari penonjolan dimensi etika dalam penyelenggaran negara ini adalah terbebasnya para pejabat negara dan pejabat pemerintahan dari praktek-praktek kotor dan tidak terpuji, misalnya KKN. Birokrasi yang sehat dan bermoral, merupakan prasyarat munculnya kebijakan publik yang berkualitas prima, dengan ciri-ciri : 1) mampu mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan manfaat nyata secara positif dan konstruktif, 3) mampu memprediksi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu memerankan diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi, 5) memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi.

Akhirnya, adanya kebijakan publik yang prima diharapkan dapat membawa dampak yang signifikan berupa : 1) terjalinnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara harmonis, 2) stabilisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang, serta 3) peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat secara progresif.


Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5 September 2000

Tidak ada komentar: