Sabtu, 05 Juni 2010

Relevansi Perbatasan di Era Otonomi


DEWASA ini, Direktorat Perbatasan Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri tengah melakukan kajian tentang penataan dan penegasan batas daerah untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik perbatasan antar daerah. Berita ini sangat penting dan krusial untuk dikaji, paling tidak dengan adanya dua faktor atau fenomena global yang pada suatu saat dapat berjalan bersama-sama secara serasi, namun pada saat lain dapat berbenturan secara dramatis. Kedua fenomena tersebut adalah globalisasi dan desentralisasi atau lokalisasi.

Pada saat globalisasi dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gesekan terhadap desentralisasi, atau sebaliknya, maka fenomena ini disebut sebagai konvergensi globalisasi atas otonomisasi. Beberapa pakar menyebut pula sebagai fenomena glokalisasi (sintesa antara globalisasi dan lokalisasi). Namun pada saat keduanya tidak dapat bergulir secara konvergen, maka fenomena yang akan terjadi adalah divergensi globalisasi terhadap desentralisasi (Ohashi, 2002; Kacowics, 1999).

Pembicaraan tentang kemungkinan terjadinya konflik antar daerah pasca pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, jelas sekali berkembang dalam kerangka permasalahan yang kedua. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam era globalisasi yang menyebabkan intensifnya hubungan antar sistem ekonomi politik dan sosial budaya antar masyarakat di berbagai belahan dunia, logikanya diskusi perbatasan menjadi semakin tidak relevan. Sebab, arus modal, ideologi politik, kontak budaya sampai dengan komunikasi interpersonal tidak dapat lagi dibendung oleh batas-batas geografis suatu daerah. Dalam kondisi seperti itu, upaya untuk mengangkat kembali issu perbatasan dapat dikatakan sebagai suatu kemunduran. Toh, UU Nomor 22 tahun 1999 sendiri telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik antar Kabupaten / Kota dengan meletakkan kewenangan lintas daerah sebagai kewenangan propinsi. Dengan kata lain, otonomi secara luas semestinya tidak dipandang sebagai suatu bentuk kebijakan yang bertentangan dengan semangat globalisasi.

Namun kenyataannya, sejak UU Nomor 22 tahun 1999 digulirkan, potensi konflik tentang “urusan / kewenangan yang bersifat lintas daerah” semakin merebak. Kasus “Bantargebang” antara Pemda DKI dengan Kota Bekasi menjadi contoh konkrit rawannya mengelola urusan lintas daerah, dalam hal ini persampahan. Disamping persampahan atau kebersihan, bidang-bidang lain seperti air bersih, transportasi, perumahan, jalan, kelautan / perikanan, kehutanan / perkebunan dan pertambangan, juga sangat potensial menimbulkan berbagai macam sengketa, baik yang bersifat administratif, ekonomis, yuridis, maupun sosio-kultural.
                                                                                              
Dalam suatu konflik, keempat aspek tersebut seringkali muncul secara bersamaan. Meskipun demikian, konflik yang bersifat administratif dapat disebut sebagai bentuk konflik yang paling banyak terjadi namun juga paling mudah penyelesaiannya. Kasus Bantargebang misalnya, setelah dilakukan perjanjian ulang serta perubahan-perubahan klausul dalam dokumen kerjasama antar daerah yang bersengketa, maka secara administratif konflik tersebut dapat dikatakan selesai. Namun dalam kasus lain seperti konflik antar nelayan yang memperebutkan “lahan” garapan, atau kasus kecemburuan sosial / ekonomi penduduk setempat akibat praktek penebangan hutan secara liar oleh sekelompok masyarakat ber-HPH, kerjasama antar pemerintah daerah saja jelas tidak akan mampu menyelesaikannya. Sebab, wilayah konflik yang terjadi sudah tidak berada pada tataran manajerial, melainkan lebih bersifat psiko-sosio-kultural. Demikian pula dalam hal eksploitasi lingkungan, resolusi konflik antar daerah semestinya lebih tepat diselesaikan melalui proses peradilan dari pada lewat nota-nota kesepakatan (MoU). Sebab, aturan tentang pengelolaan dan perusakan lingkungan diatur tersendiri dalam UU yang spesifik (lex specialis), sehingga UU pemerintahan daerah tidak berlaku (invalid) untuk menyelesaikan kasus lingkungan.

Dalam kedua contoh kasus terakhir, kejelasan tentang pengukuran, pematokan, maupun pemetaan batas-batas daerah sesungguhnya tidaklah terlalu berguna. Artinya, setertib apapun administrasi perbatasan yang ada, secara substansial tidak membantu memecahkan persoalan yang berkembang, dalam hal ini kerusakan lingkungan atau konflik horizontal antar nelayan. Dalam kasus-kasus seperti ini, justru yang dibutuhkan adalah sebuah lembaga yang secara dinamis dapat berfungsi sebagai badan mediasi, fasilitatasi, negosiasi, atau bahkan arbitrasi, yang bertugas mencari kompromi atau solusi sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan.

Relevansi perbatasan, dengan demikian, nampaknya hanya mengena untuk kasus atau konflik yang berdimensi ekonomis murni, yakni bidang-bidang yang potensial memberikan pemasukan PAD. Meskipun demikian perlu diingat sekali lagi bahwa dalam suatu konflik, tidak mungkin hanya terdapat satu aspek tunggal, misalnya ekonomis. Implikasinya jelas bahwa penyusunan secara rigid batas-batas geografis an sich tanpa upaya lain untuk membangun instrumen pengendali konflik secara komprehensif, bukan tidak mungkin konflik perbatasan justru semakin meruncing.

Kalaupun batas daerah akan diatur kembali secara lebih tegas, perlu ada “jaminan” bahwa hal itu tidak menyebabkan disparitas regional tambah melebar. Sebagai contoh, dua pulau besar di NTB yakni Lombok dan Sumbawa, memiliki potensi kesenjangan yang sangat besar. Dilihat dari persebaran penduduk, dua pertiga populasi NTB tinggal di Lombok, padahal Pulau Sumbawa lebih besar dua pertiga dari Pulau Lombok. Sementara, jika di Sumbawa sudah mulai terdengar nada pemekaran kabupaten, di Lombok bahkan pejabat setingkat bupati pun mulai memikirkan hak-hak daerah yang lebih besar dalam pemanfaatan segenap potensi ekonomi yang ada di daerahnya masing-masing. PAD Lombok Barat misalnya, mencapai Rp 14,5 milyar pada tahun anggaran 1999/2000, dan ini berada jauh diatas rata-rata propinsi, apalagi Sumbawa (Kompas, 12 Maret 2001).

Dengan kondisi seperti tersebut, yang lebih dibutuhkan adalah kebijakan redistribusi sumber-sumber pendapatan yang lebih merata untuk menjamin keadilan dan keberlangsungan pembangunan daerah. Jika kebijakan penetapan perbatasan diberlakukan secara ketat yang berakibat pada melonjaknya egoisme lokal dan keengganan untuk “berbagi” dengan wilayah tetangga yang lebih miskin secara ekonomis, maka disparitas regional akan semakin parah, sementara kebijakan otonomi daerah akan mengalami stagnasi. Dengan kata lain, formalisasi perbatasan justru akan menjadi senjata yang menghantam upaya demokratisasi di level masyarakat lokal. Argumen ini tentu bukan untuk menggagalkan rencana penataan kawasan perbatasan. Akan tetapi jika otonomi dianggap sebagai kesempatan untuk melakukan ekonomisasi potensi daerah, maka yang terjadi adalah anomali kebijakan desentralisasi.

Disamping itu perlu digarisbawahi pula bahwa fenomena selama ini menunjukkan bahwa kondisi pelayanan umum di sekitar perbatasan, khususnya dalam hal ketersediaan infrastruktur perkotaan, cukup memprihatinkan. Sebagai contoh, kualitas jalan dan jembatan di wilayah ini sering berada dalam status “mengambang”. Artinya, dengan alasan prioritas untuk wilayah lain yang lebih urbanized atau ketiadaan dana, satu pemerintah daerah cenderung bersikap “menunggu” inisiatif pemerintah daerah tetangganya untuk membenahi kawasan perbatasan. Ironisnya, karena keduanya sama-sama bersikap menunggu, maka perbaikan kualitas lingkungan dan pranata umum tidak kunjung datang. Akibatnya, terjadilah kesenjangan kualitas pelayanan (public service gap) antara pusat kota (down town), pinggiran kota (suburb), dan wilayah perbatasan / luar kota (overskirt).

Paparan diatas secara implisit ingin menekankan perlunya dipertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan penetapan perbatasan. Masalah perbatasan jelas bukan semata-mata berdimensi teknis, namun lebih dari itu justru lebih kental nuansa administratif, politiko-ekonomis dan sosio-kulturalnya. Itulah sebabnya, secara paralel upaya penataan perbatasan perlu dibarengi dengan upaya lainnya.

Secara kelembagaan, upaya mengantisipasi konflik perbatasan dapat dilakukan dengan membentuk badan / lembaga teknis (Lemtekda) semacam Badan Arbitrasi di tingkat propinsi yang bertugas menengahi, memfasilitasi dan mencari solusi terhadap suatu kasus tertentu. Disamping itu, metode pemecahan masalah yang sangat sederhana namun efektif terhadap hal tersebut sebenarnya adalah dengan mengintegrasikan daerah yang bersengketa. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, banyak Kabupaten yang hendak dimekarkan menjadi beberapa daerah otonom. Bahkan banyak Kota Administratif yang ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pola kelembagaan publik baru yang terbangun dari komposisi tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Hubungan antara ketiga belah pihak ini akan membentuk mekanisme triangulasi yang saling mendukung dan saling menguntungkan. Dengan model kelembagaan demikian, diharapkan dapat diciptakan kinerja sektor publik yag lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya. Dalam perspektif pelayanan, peningkatan kinerja pemerintah dapat dilihat dari pemberian jasa tertentu kepada masyarakat yang berpedoman pada prinsip better, faster, dan cheaper. Hal ini mengandung pengertian bahwa rekayasa kelembagaan yang berbasis kemitraan juga didasarkan pada filosofi untuk mendorong kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dalam hubungan ini, format kelembagaan yang berbasis kemitraan (partnership-based institution) dapat dijadikan sebagai pilihan strategis. Disini terdapat dua alternatif yang dapat dipilih sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu Amalgamasi Internal dan Amalgamasi Eksternal (Utomo, 2002).

Upaya yang komprehensif untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi konflik antar daerah, diharapkan mampu menghasilkan output yang tidak saja memperjelas administrasi pemerintahan (khususnya dalam hal perbatasan), namun juga memberi dorongan terhadap efektivitas kelembagaan dan pemerataan pembangunan antar daerah.

Tidak ada komentar: