Semenjak berlakunya otonomi daerah yang luas, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang amat besar, yang kemudian disertai dengan transfer kepegawaian, pendanaan dan asset yang besar pula. Hal ini mendorong Kabupaten/Kota untuk mengembangkan format organisasinya secara kurang terkendali, sehingga pada akhirnya keluarlah PP No. 8/2003 yang membatasi jumlah perangkat daerah.
Ditengah semangat membangun otonomi, adalah hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau penyelenggaraan langsung suatu urusan.
Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.
Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.
Pertama, Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain, sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format kelembagaan semakin besar dan tidak efisien. Kedua, Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.
Mengingat hal diatas, maka pendelegasian atau pelimpahan sebagian wewenang dari atas (dari Bupati/Walikota ke Camat dan dari Camat ke Lurah) perlu diupayakan seoptimal mungkin. Tujuannya jelas, yaitu untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini akan meringankan beban beban Daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan umum diharapkan akan semakin efektif dan efisien. Dan sungguh patut disyukuri bahwa banyak Bupati/Walikota di Indonesia yang sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, sepanjang pengamatan penulis, hingga saat ini belum ada praktek pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah sebagaimana diatur pasal 67 UU No. 22/1999.
Meskipun pelimpahan kewenangan ke unit organisasi yang lebih rendah perlu terus dimantapkan, namun harus dicermati pula bahwa kebijakan ini membawa konsekuensi di berbagai hal. Dalam hal ini, paling tidak ada 3 dimensi strategis pada level Kecamatan yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan kebijakan tersebut.
Pertama menyangkut aspek koordinasi antar lembaga dan standarisasi tata kerja. Artinya, sebagai konsekuensi dari pelimpahan kewenangan, Camat wajib melakukan koordinasi dengan Dinas/Lemtek, khususnya untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional. Dalam kaitan dengan koordinasi ini, perlu dipertegas antara tugas dan kewajiban Kecamatan disatu pihak dengan tugas dan kewajiban Dinas/Lemtek di pihak lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan tertentu. Dalam hal pemberian IMB misalnya, perlu ada kejelasan tentang apa yg harus disediakan dan/atau dilakukan Dinas dan Cabang Dinas Bangunan, apa yang harus disediakan dan/atau dilakukan Kecamatan, serta tata laksana antara kedua pihak lengkap dengan standar waktu dan sumber pembiayaannya. Tanpa adanya kejelasan tentang pembagian tugas, tata kerja, standar kerja serta sumber pendukung, pelimpahan kewenangan dikhawatirkan justru akan membingungkan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan publik.
Kedua berkenaan dengan kebutuhan perimbangan sumber daya keuangan, SDM dan sarana. Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sebagaimana halnya perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, pelimpahan kewenangan di tingkat lokalpun harus diikuti oleh perimbangan sumber-sumber daya. Tanpa adanya penguatan sumber daya, Kecamatan akan mengalami over-load dalam tugas-tugasnya, dan kewenangan yang dilimpahkan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jika ini terjadi, maka tujuan pelimpahan kewenangan dapat dikatakan mengalami kegagalan.
Ketiga mengenai kebutuhan pengembangan struktur organisasi kecamatan Dengan bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya, maka sangatlah wajar jika struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat. Pada saat yang bersamaan, organisasi pemerintah Kabupaten/Kota, perlu dirampingkan. Jika kewenangan-kewenangan teknis suatu Dinas / Cabang Dinas telah dilimpahkan kepada Kecamatan sementara kelembagaannya justru membengkak dengan dibentuknya cabang-cabang Dinas baru, maka akan terjadi inkonsistensi antara pemegang dan pelaksana kewenangan. Salah satu prinsip dalam distribusi kewenangan yang harus dijaga adalah tidak adanya kewenangan yang dimiliki dan / atau dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu lembaga. Oleh karena itu, untuk menghindari kewenangan rangkap tadi, suatu kewenangan mestinya hanya dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki dan/atau diberi delegasi untuk melaksanakannya.
Disisi lain, upaya melakukan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat kepada Lurah pun masih akan menghadapi beberapa kendala.
Pertama, Kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif, yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja Kelurahan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, jika Kelurahan akan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan yang bersifat delegatif, maka perlu dikaji secara mendalam kewenangan apa saja yang layak dan prospektif untuk diemban oleh Kelurahan. Sebab, pelimpahan kewenangan yang asal-asalan justru akan berdampak pada ketidakmampuan Kelurahan melaksanakan kewenangan tersebut, serta terjadinya penurunan mutu pelayanan umum.
Kedua, kondisi obyektif Kelurahan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana kerja yang konvensional, sumber dana yang terbatas, adalah beberapa fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Namun secara logika, pengembangan kelembagan akan terlebih dahulu diprioritaskan kepada Kecamatan mengingat telah dilimpahkannya sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat. Setelah kelembagaan dan fungsi baru Kecamatan berjalan mantap, barulah dilakukan pengembangan dan penguatan kelembagaan Kelurahan.
Satu hal yang perlu dicatat adalah, meskipun banyak kendala yang harus diatasi, namun pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan melalui pelimpahan kewenangan beserta sumber daya pendukungnya adalah langkah terbaik untuk mewujudkan cita-cita pemberian otonomi, yakni peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum, serta kehidupan masyarakat daerah yang lebih demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar