Sabtu, 05 Juni 2010

Kemampuan Daerah Membaca Potensi


DALAM iklim kebebasan baru di daerah sebagai akibat pemberlakuan otonomi luas, kemampuan membaca dan mengoptimalkan potensi sangatlah penting. Sebab, meskipun terdapat konsep perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, namun semangat otonomi lebih menghendaki agar daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Bantuan Pusat ke Daerah baik yang berbentuk dana, personalia maupun prasarana, semestinya hanya merupakan komponen pelengkap untuk mendukung kapasitas daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas asli daerah (terutama dibidang keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD (pendapatan asli daerah) terhadap APBD, yang ironisnya, sebagian besar daerah otonom di Indonesia hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total APBD.

Dari kacamata positif dan optimis, harus dikatakan bahwa rendahnya kemampuan tadi bukan disebabkan oleh kenyataan bahwa daerah tersebut terbelakang, miskin sumber daya alam, terisolasi secara geografis, tidak ditopang oleh partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha, dan sebagainya. Seabrek alasan klasik itu hanyalah kambing hitam untuk menutupi kegagalan suatu daerah dalam membangun kompetensi dirinya. Faktor penyebab yang lebih rasional justru adalah kekurangmampuan daerah menemukenali dan memberi nilai tambah terhadap setiap potensi yang ada di wilayahnya.

Dalam hubungan ini, ada dua bentuk ekstrim kekurangmampuan yang sering dialami oleh banyak daerah. Pertama, state of disorientation yaitu kondisi kurang tajamnya visi dan orientasi suatu daerah terhadap asset potensial yang dimiliki sehingga memberi kontribusi yang tidak signifikan terhadap pemasukan daerah. Kedua, state of uncontrolled exploitation yaitu pengelolaan asset secara berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan namun berdampak buruk pada sektor atau pihak lain (negative spillover). Kasus dua daerah otonom yang kebetulan sama-sama berada di Propinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis dan Kota Bandung, kiranya dapat memperjelas dua keadaan ini.
* * *
CIAMIS adalah wilayah yang berciri agraris dan sangat kaya dengan keindahan alam. Di kabupaten ini terdapat asset wisata andalan untuk meraup pendapatan, yakni pantai Pangandaran. Potensi Pangandaran sesungguhnya tidak kalah dengan Bali, namun sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya cukup puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak terlihat ada upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional seperti rumah sakit dan super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat, laut dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang tersedianya media iklan skala nasional dan global.

Sementara di sektor perikanan, Ciamis memiliiki potensi pembenihan dan pembudidayaan ikan Gurame Soang. Gurame jenis ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat hingga bisa mencapai 10-15 kg per ekor. Sayangnya, sejak saat pembenihan, pengorganisasian melalui koperasi hingga pemasarannya, kurang ditangani secara profesional. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kota-kota lain di Jawa, masyarakat setempat-pun rasanya masih butuh penyadaran untuk ikut mempromosikan komoditi ini.

Andai saja Ciamis dapat mengoptimalkan kedua potensi diatas, bukan tidak mungkin pendapatan daerah ini akan menyamai daerah lain yang lebih maju, misalnya Bandung.

Berbeda dari Ciamis, Bandung adalah kota metropolitan yang berbasis industri jasa. Secara finansial, Bandung adalah satu-satunya daerah di Jawa Barat yang dikategorikan “sangat mampu” dalam implementasi otonomi luas (hasil penelitian tim STPDN, 2001). Hal ini diindikasikan oleh jumlah PAD-nya yang memang terbesar dibanding Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat.

Namun dibalik besarnya PAD, terdapat persoalan yang sangat serius berkenaan dengan tata kota dan kualitas kehidupan perkotaan di Bandung. Salah satu ekses dari kebijakan menarik pajak dan retribusi sebesar mungkin adalah menjamurnya papan reklame di setiap sudut dan sepanjang jalan dalam kota, yang telah menghilangkan citra kota ini sebagai Parijs van Java. Pada saat yang bersamaan, tidak terhitungnya factory outlets juga telah memperparah kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas.

Yang lebih parah lagi, terdapat indikasi bahwa Pemkot berani melanggar Perda yang dibuat sendiri. Misalnya, menurut aturan yang berlaku, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Bandung harus mencapai 20% dari total area. Nyatanya, RTH yang ada saat ini hanya berkisar 1-2%. Itupun Pemkot masih sangat ngotot untuk membangun kondominium dan business mall di kawasan Babakan Siliwangi yang jelas-jelas berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air. Pemkot bahkan juga akan membangun kios-kios untuk PKL di Tegallega yang saat ini berfungsi sebagai taman kota.

Pada kasus lain, menurut aturan tentang building coverage ratio (BCR), pembangunan sebidang tanah tidak diperkenankan melebihi 60% dari luas keseluruhan. Artinya, harus disisakan 40% sebagai lahan terbuka yang dapat digunakan untuk areal bermain, parkir, taman/penghijauan, dan sebagainya. Namun demi menggenjot PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), maka tidaklah aneh jika tidak satupun pertokoan yang menaati kaidah tersebut. Dan tidak aneh pula jika Pemkot tidak pernah menegur apalagi menggusur bangunan yang melanggar aturan tadi.
* * *
PERLU dicatat disini bahwa kasus-kasus yang diangkat diatas tidak dimaksudkan sebagai suatu generalisasi. Artinya, meskipun Ciamis dan Bandung memiliki kelemahan dalam pengolahan potensi atau assetnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga memiliki cerita sukses tentang penguatan sumber pendapatan daerah melalui kebijakan yang ramah lingkungan. Disamping itu, kedua daerah ini dipilih semata-mata hanya sebagai case-study, namun kondisi disorientasi (kekurangmampuan bentuk ke-1) maupun eksploitasi yang kebablasan (kekurangmampuan bentuk ke-2) dapat terjadi di semua daerah di Indonesia.

Apa yang perlu dilakukan selanjutnya adalah membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas unggulan beserta strategi yang dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan ekonomis (target PAD) dengan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Disamping itu, otonomi hendaknya tidak dimaknakan sempit sebagai kewenangan mutlak suatu daerah. Dalam kasus Ciamis misalnya, jika memang daerah tidak mampu mengelola Pangandaran, maka akan lebih baik jika kewenangan pengelolaan kawasan wisata ini diserahkan kembali kepada Pusat yang memiliki sumber daya lebih baik. Demikian pula untuk mendorong produktivitas petani Gurame Soang, pembinaan langsung dari departemen teknis sangat layak dipertimbangkan. Sedangkan dalam kasus Kota Bandung, pemekaran wilayah secara horizontal kearah pinggiran kota mestinya lebih diprioritaskan ketimbang membangun pusat kota yang sudah terlalu jenuh.

Akhirnya, perlu kiranya dilakukan “penyadaran” bagi daerah, bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti tingginya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras material semata. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat membangun potensi daerah demi kemajuan bersama pula. Inilah hakikat otonomi daerah yang sejati.


Tulisan ini dimuat Harian Suara Karya, 8 September 2003

Tidak ada komentar: