Sabtu, 05 Juni 2010

Mencermati Polemik Pengelolaan Pelabuhan


DAMPAK negatif otonomi daerah yang dahulu sempat diperdebatkan, akhirnya terjadi juga. Pemicunya tidak lain adalah rebutan hak pengelolaan pelabuhan. 57 kabupaten/kota sepakat untuk merebut pengelolaan pelabuhan dari PT Pelindo, setelah gugatan uji materiil (judicial review) terhadap PP No. 69/2001 tentang pelaksanaan teknis kepelabuhanan dikabulkan oleh MA (Kompas, 11/8/2004).

Semenjak digulirkannya kebijakan desentralisasi, memang telah nampak gejala-gejala “keserakahan” daerah yang menjurus pada terbangunnya local kingdom atau bossism. Kasus sengketa kepelabuhan ini hanyalah salah satu cermin dari nafsu kekuasaan daerah yang semakin menguat. Namun disisi lain, harus diakui pula bahwa UU No. 22/1999 terlalu gegabah dalam mendesain format otonomi, sehingga memberi dasar yang sah bagi daerah untuk melakukan pengambilalihan asset maupun kewenangan tertentu yang selama ini dimiliki/dijalankan pemerintah pusat.

Oleh karena UU No. 22/1999 sudah terlanjur bersifat sangat “federalis” sementara semangat mempertahankan NKRI sebagai negara “unitaris” masih sangat kuat, maka wajarlah ketika perbedaan persepsi antara pemerintah Pusat dan Daerah menjadi semakin meruncing. Salah satu puncak konflik itu adalah keluarnya Kepmendagri No. 112/2003 tentang pembatalan Perda No. 1/2001 tentang Kepelabuhanan Kota Cilegon; dan Kepmendagri No. 53/2003 tentang pembatalan Perda No. 1/2001 tentang Kepelabuhanan Cilacap.

Disisi lain, oleh karena desentralisasi sudah menjadi komitmen nasional, maka upaya revisi UU No. 22/1999 yang mengarah kepada resentralisasi, jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam konteks sengketa kepelabuhan ini, hanya ada dua alternatif kebijakan yang layak dikembangkan, yakni: 1) revisi UU No. 22/1999 secara tulus dengan prinsip win-win solution; atau 2) melanjutkan proses desentralisasi dan menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada daerah, namun disertai dengan pembinaan teknis dan kerjasama yang padu dengan instansi yang selama ini menanganinya. Diantara kedua alternatif diatas, opsi kedua nampaknya merupakan pilihan yang paling rasional.

Jika dicermati lebih dalam anatomi permasalahannya, sesungguhnya daerah tidak memiliki alasan yang kuat untuk mengambilalih pelabuhan. Artinya, argumen yang mendukung pengelolaan pelabuhan oleh Pemda, sangatlah lemah karena hanya mengandalkan pada basis yuridis berupa putusan MA yang mengabulkan uji materiil terhadap PP No. 69/2001, namun kurang meyakinkan dari segi urgensi, efektivitas dan manfaat pengambilalihan pengelolaan tersebut bagi masyarakat daerah. Sebaliknya, pemerintah pusat memiliki alasan pembenar untuk mengelola pelabuhan, namun terbentur oleh dasar hukum yang lemah. Persandingan antara pendapat yang pro dan yang kontra tentang pengelolaan pelabuhan oleh pemda ini, dapat dilihat pada tabel berikut:

Argumen yang mendukung (Pro):
·         Kewenangan pengelolaan pelabuhan bukan termasuk kewenangan yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU No. 22/1999. Selain itu, pasal 119 menegaskan bahwa kawasan pelabuhan termasuk kewenangan kabupaten/kota.
·         Pengelolaan pelabuhan menjadi wewenang pemda setelah 27 pasal dalam PP No. 69/2001 dibatalkan oleh MA. Dengan demikian, PT Pelindo kini hanya operator di kawasan pelabuhan, karena regulator kepelabuhanan menjadi wewenang pemda (Rusli Ridwan, Bendahara FDB).
·         Penempatan UPT Dephub di daerah akan menimbulkan overlapping tugas dan kewenangan dengan aparatur hubungan laut di daerah. Disamping itu, hal ini juga juga menyebabkan terganggunya kinerja daerah sekaligus bertabrakan dengan Kepmendagri No. 130-67 / 2002 (Kadis Perhubungan Kabupaten Brebes).
·         Perda kepelabuhanan itu diperlukan pemda karena pelaksanaan kewenangan pengelolaan pelabuhan di daerah sering memicu konflik atau benturan dengan PT Pelindo (Pemkot Dumai).
·         Dapat mendatangkan income daerah dan telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang (Pendapat umum berbagai Pemda yang telah memiliki Perda Pengelolaan Pelabuhan)

Argumen yang menentang (Kontra):
·         Pengelolaan pelabuhan merupakan hal yang sulit sehingga dikhawatirkan jika dikuasai pemerintah daerah, justru hanya akan menyebabkan kebangkrutan. Hal ini juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap Indonesia dalam hubungan perdagangan internasional yang membutuhkan pelabuhan (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti).
·         Selama Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang pelaksanaan teknis kepelabuhanan-sebagai dasar hukum dalam pengelolaan teknis pelabuhan-belum diubah atau dicabut, pengelolaan pelabuhan di seluruh Indonesia tetap dilaksanakan PT Pelindo (Kabag Hukum Ditjen Hubla Dephub).
·         Pengelolaan pelabuhan tidak bisa disamakan dengan aset lain karena pengelolaan pelabuhan terikat dengan berbagai aturan internasional. Jika aturan tersebut diabaikan, maka barang yang diekspor dari Indonesia juga tidak bisa diterima atau dilarang masuk ke pasar dunia. Aturan internasional itu di antaranya tentang standar Organisasi Maritim Internasional / IMO dan International Ship and Port Facilities Security Code / ISPS (Hasyim Djalal).
·         Investor akan takut masuk karena tidak adanya jaminan terhadap kontrak yang bisa dipegang. Sekali pengambilalihan itu dibiarkan terjadi, bisa seperti bola liar yang akan terus menggelinding dan memunculkan tuntutan pengambilalihan atas aset-aset negara atau aset perusahaan-perusahaan lain yang menguntungkan yang ada daerah, oleh pemda (Chatib Basri).
·         Perda pengelolaan pelabuhan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi seperti UU No 21/1992 tentang Pelayaran, PP No 81/2000 tentang Kenavigasian, serta PP No 69/2001 tentang Kepelabuhanan (Kepmendagri No. 53 dan 112 tahun 2003).

Oleh karena masing-masing argumen memiliki kelebihan dan kekurangan, maka kompromi terhadap kasus itu harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah administrasi pemerintahan (pembagian kewenangan) serta kaidah-kaidah yuridisnya. Dari tinjauan terhadap kedua dimensi ini, barulah dapat direkomendasikan langkah terbaik untuk mengatasi sengketa yang relatif baru ini.

Tinjauan aspek substantif kewenangan

Secara legal formal, kewenangan pelabuhan memang telah didesentralisasikan kepada daerah. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 119 UU No. 22/1999 yang menyatakan bahwa “Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berlaku juga di kawasan otorita yang terletak di dalam Daerah Otonom, yang meliputi badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan, dan kawasan lain yang sejenis”. Ketentuan tadi diperkuat pula oleh pasal 7 yang mengatur bahwa “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama”.

Meskipun demikian, pasal 10 UU ini mengatur secara lebih khusus (lex specialis) tentang kewenangan daerah di wilayah laut, yang meliputi lima rincian kewenangan sebagai berikut: 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2) pengaturan kepentingan administratif; 3) pengaturan tata ruang; 4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan 5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Pelaksanaan kelima kewenangan itu sendiri dibatasi hanya empat mil laut, atau sepertiga dari batas laut propinsi sepanjang 12 mil laut. Pembatasan “wilayah kerja” inipun tidak identik dengan batas administratif wilayah. Artinya, kewenangan kabupaten/kota di wilayah laut mencakup area 0-4 mil laut, kewenangan propinsi mencakup area 0-12 mil laut, dan kewenangan pemerintah pusat meliputi wilayah pesisir (0 mil laut) hingga batas luar teritorial negara Indonesia (zona ekonomi eksklusif). Dengan kata lain, kewenangan daerah di wilayah laut ini lebih dimaknakan sebagai “manajemen pelabuhan”, dan bukan “penguasaan pelabuhan”.

Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa pengertian “pengelolaan pelabuhan” sesungguhnya bukan dalam arti sempit sebagai pengelolaan dermaga dan infrastruktur fisik pelabuhan lainnya, melainkan juga menyangkut keselamatan lalu lintas pelayaran, sistem navigasi dan persandian, perijinan bagi kapal yang akan berlabuh atau berlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya. Kewenangan teknis seperti itu sangat mensyaratkan kemampuan yang handal dari SDM dan perangkat sistem kediklatan pendukungnya. Tanpa adanya human-ware yang memadai, maka pengambilalihan pengelolaan pelabuhan hanya akan mendatangkan kerugian baik bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat di wilayah tersebut.

Mengenai klasifikasi atau hierarki pelabuhan, sebenarnya PP No. 69/2001 telah membuat pengaturan yang jelas. Disini, pelabuhan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pelabuhan nasional dan internasional yang dikelola PT Pelindo; pelabuhan regional yang dikelola pemerintah propinsi; dan pelabuhan lokal yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota. Jika klasifikasi semacam ini dapat dilaksanakan secara konsisten, akan memperjelas pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan antara Pusat – Propinsi – Kabupaten/Kota. Namun dalam prakteknya, tidak ada kriteria yang jelas untuk memasukkan suatu pelabuhan kedalam kategori nasional/internasional, regional, atau lokal. Sebagai contoh, Pelabuhan Brebes yang semestinya merupakan pelabuhan lokal pada kenyataannya dikategorikan sebagai pelabuhan regional yang berarti masih dalam kewenangan Kanwil Dephub Jawa Tengah. Kenyataan tersebut mengakibatkan daerah tidak bisa mendapatkan pemasukan dari sektor kelautan yang secara nyata dijamin UU No. 22/1999 (Pikiran Rakyat, 8/10/2002).

Dari paparan mengenai dimensi substantif diatas, semestinya tidak perlu terjadi konflik pengelolaan pelabuhan yang berlarut-larut. Artinya, pemerintah tinggal melakukan pengaturan ulang tentang klasifikasi pelabuhan beserta kriteria-kriteria yang jelas, kemudian menetapkan jenis pelabuhan mana yang didesentralisasikan, atau yang didekonsentrasikan, atau yang masih disentralisasikan. Agar tidak menimbulkan interpretasi yang beragam serta potensi konflik di kemudian hari, maka penetapan pola pengelolaan pelabuhan ini harus disertai dengan rincian kewenangan secara detil.

Tinjauan aspek yuridis

Berlakunya UU No. 22/1999, pada dasarnya tidak secara otomatis membatalkan / menghapuskan peraturan organik di sektor lain. Pasal 133 UU ini hanya menyatakan bahwa “Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini, diadakan penyesuaian”. Ini berarti, UU / PP / Keppres / Permen tentang pelabuhun, kehutanan, pertanahan, dan sebagainya, masih terus berlaku sepanjang belum diganti. Meskipun demikian, jika berbagai peraturan tadi dianggap bertentangan dengan UU No. 22/1999, maka wajib segera diadakan penyesuaian dengan semangat desentralisasi luas kepada daerah. Masalahnya, hingga saat ini belum ada kajian yang komprehensif tentang daftar peraturan perundangan yang bertentangan dengan UU No. 22/1999.

Atas dasar klausul bahwa UU No. 22/1999 tidak secara otomatis membatalkan peraturan organik di sektor lain, maka berbagai peraturan tentang pelayaran dan kepelabuhan, pada hakikatnya masih memiliki kekuatan hokum mengikat. Dalam hubungan ini, putusan MA soal pengabulan uji materiil PP No. 69/2001 sebenarnya hanyalah merupakan penyelesaian sengketa antara Pemerintah Pusat (PP No. 69/2001) dengan Pemda Gresik (Perda Pengelolaan Pelabuhan). Sebagaimana diketahui, pada awalnya kasus ini muncul karena adanya permohonan uji materiil dari DPRD Gresik atas PP No. 69/2001. Dengan demikian, Pemkab/DPRD Gresik adalah penggugat, sedangkan Pemerintah Pusat adalah tergugat. Jadi harus diingat benar bahwa sengketa tadi tidak melibatkan daerah lain yang secara kebetulan memiliki wilayah pelabuhan di daerahnya seperti Cilacap, Cilegon, Serang, Bitung, dan lain-lain. Dan oleh karena sengketa tadi hanya melibatkan Pemkab Gresik, maka putusan MA itu tidak dapat diterapkan kepada pihak-pihak lain yang tidak bersengketa. Dengan kata lain, putusan hakim hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa.

Selain itu, putusan MA soal pengabulan uji materiil, bukanlah keputusan untuk mencabut peraturan yang diuji, melainkan hanya merupakan pembatalan dan perintah untuk merevisi sebagian atau keseluruhan isi peraturan tersebut. Dalam hal ini, hak dan/atau kewajiban untuk mencabut, mengubah, merevisi, mengamandemen, dan mengganti suatu peraturan, tetap berada pada lembaga yang secara fungsional berkewenangan untuk itu.

Setelah MA memerintahkan dilakukannya revisi terhadap suatu peraturan (cq. PP No. 69/2001), maka pemerintah harus secepat mungkin menjalankan perintah tersebut. Dalam kasus seperti ini, mestinya putusan MA tidak hanya memerintahkan upaya revisi, namun juga menambahkan dua klausul tambahan, yakni: 1) ketentuan mengenai tenggang waktu revisi, dan 2) ketentuan mengenai dapat / tidaknya peraturan yang diuji materiil, untuk tetap dilaksanakan sampai keluarnya aturan yang baru. Tanpa aturan tambahan seperti itu, maka putusan MA tentang uji materiil akan sangat sulit untuk diimplementasikan, bahkan cenderung menjadi sumber perdebatan hukum yang tidak pernah selesai. Sebab, putusan MA tentang uji materiil pada dasarnya tidak dapat menghalangi pelaksanaan suatu ketentuan, sampai dengan dicabutnya ketentuan itu dan diterbitkannya ketentuan pengganti.

Aspek yuridis lain yang perlu dicermati adalah, PP No. 69/2001 secara teknis merupakan penjabaran / pelaksanaan dari UU No. 21/1992 tentang Pelayaran. Dalam UU ini ditegaskan bahwa pengelolaan pelabuhan didelegasikan kepada BUMN, dalam hal ini PT Pelindo. Uji materiil terhadap PP No. 69/2001 akan secara langsung berdampak pada perlunya revisi terhadap UU No. 21/1992. Namun anehnya, putusan MA sendiri tidak memerintahkan (atau minimal merekomendasikan) upaya revisi terhadap UU No. 21/1992. Di satu sisi, terlihat adanya kekurangtelitian MA di dalam mengurai kompleksitas permasalahan dan upaya penyelesaian yang komprehensif. Akibatnya, MA cenderung hanya meneliti dokumen-dokumen dan pokok masalah yang disengketakan, tanpa upaya untuk melihat pokok masalah tadi dari perspektif yang lebih luas. Disisi lain, MA dihadapkan pada keterbatasan berupa tidak adanya hak untuk melakukan judicial review terhadap produk hukum berupa UU atau yang setingkat UU.

Uraian dimensi yuridis pengelolaan pelabuhan diatas menyiratkan bahwa putusan uji materiil MA bukanlah solusi akhir. Bentuk-bentuk konflik baru masih sangat mungkin terjadi, dimana MA tidak lagi berfungsi menjadi juri-nya. Untuk mengantisipasi hal seperti ini, maka revisi PP No. 69/2001 hendaknya tidak dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat, namun dengan mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi daerah.

Agenda Kedepan

Satu hal yang paling ironis dari kasus diatas adalah bahwa inti persoalan direduksi menjadi konflik kepentingan. Artinya, yang dipermasalahkan hanyalah “siapa yang berhak untuk mengelola pelabuhan”, dan bukan pada pertanyaan tentang “siapa yang lebih mampu mengelola pelabuhan demi kemajuan pembangunan dan pelayanan umum di daerah” atau “mekanisme apa yang paling efektif untuk mengelola pelabuhan itu”. Kondisi ini secara tidak langsung membenarkan anggapan bahwa pangkal dari seluruh sengketa antara Pusat dengan Daerah, tidak lebih dari sekedar rebutan “rejeki” belaka.

Padahal, manajemen pemerintahan yang ideal adalah sebuah proses yang mengkompromikan antara kepentingan demokratisasi dan pemberdayaan disatu sisi, dengan kepentingan efisiensi disisi lain. Artinya, desentralisasi luas wajib didukung sepanjang mampu menghadirkan sosok pemda yang lebih efektif dalam bekerja dan lebih prima dalam kinerja. Dalam hal kapasitas pemda belum memadai, maka keberadaan aparat propinsi maupun pusat, sesungguhnya adalah sesuatu yang logis.

Dalam konteks pengelolaan pelabuhan, tidak menjadi soal siapapun yang memegang peran regulator ataupun operator, asalkan dapat menghasilkan keuntungan bersama (mutual benefit). Moda kerjasama yang layak dikembangkan disini adalah pemilikan saham PT Pelindo secara bersama-sama. Sebagai pemegang saham, daerah akan memiliki kontrol dan akses pengambilan keputusan strategis yang berhubungan dengan pelabuhan tersebut sebesar nilai saham yang ditanamkan, tanpa keharusan mengelola pelabuhan itu sendiri. Selain itu, saran Menko Perekonomian agar ke-57 pemerintah daerah membentuk badan kerja sama (konsorsium) guna membangun dan mengelola pelabuhan, layak pula dipertimbangkan secara cermat.

Yang diperlukan sekarang adalah adanya payung hukum yang jelas tentang wewenang pengelolaan pelabuhan, serta berbagai implikasi yang timbul dari pengelolaan tersebut. Sebagai contoh, jika pelabuhan dikelola oleh daerah, harus pula dijamin adanya profit sharing antara Pusat dengan Daerah serta antara daerah yang menguasai pelabuhan dengan daerah lain yang menggunakan jasa pelabuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan, juga dibutuhkan adanya itikad baik dari pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk bersama mencari penyelesaian terbaik. “Perang dalil” yang bertujuan sempit untuk mencari kemenangan pribadi dan mengalahkan pihak lain, sudah saatnya dibuang jauh-jauh. Sebab, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex), dan itulah yang harus diperjuangkan bersama. Kebiasaan lama aparat kita untuk berlindung atas nama kepentingan masyarakat namun sesungguhnya ada kepentingan lain yang tersembunyi, hendaknya ditinggalkan jauh-jauh.

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Suara Karya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ko masih pake uu 22/1999?

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

iya, ini tulisan dipublikasikan tg 10 oktober 2004, saat rancangan uu 32/2004 masih difinalisasi.