Jumat, 31 Desember 2010

Kebijakan Investasi, Kawasan Berikat & Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur


Belum lama ini, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan di tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun 2006 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur.

Selain kedua produk regulasi diatas, upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga dilakukan melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur sendiri sangat potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan, seperti wilayah Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris (Nunukan), Kawasan Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga, Samarinda, dan Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk kerjasama regional yang melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines – East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat KASABA (Kalimantan, Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.

Berbagai pusat pertumbuhan atau “pusat investasi” tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun juga untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket kebijakan investasi dan penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan multiplier effect dan snowball effect secara sektoral, serta spreading effect secara spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan, melainkan alat atau stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat yang makin baik.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi di daerah secara progresif. Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi, 2006) menunjukkan 4 (empat) faktor yang menjadi penyebab lemahnya kinerja investasi, yakni faktor perijinan dan birokrasi, pungutan formal, pungutan informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi yang disurvei, 2 daerah buruk dalam proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja rendah dalam indikator pungutan formal dan 5 daerah indikator pungutan informal, serta 5 daerah menunjukkan performa buruk dalam aspek pelayanan. Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di Kalimantan, memiliki skor negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha dan pungutan formal.

Diluar variabel-variabel diatas, iklim investasi dan kinerja ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perijinan, dikotomi dan benturan kewenangan Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, kemanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya, kinerja pemerintah pada variabel-variabel inipun menunjukkan fenomena yang sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh jika kemudian Jetro (dalam Effendi, 2006) menemukan bahwa iklim investasi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN lainnya.

Tingkat kinerja yang rendah dalam menarik investasi dan menciptakan iklim berusaha yang kondusif tadi, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah, cq. Kalimantan Timur. Hingga tahun 2003, di Kalimantan Timur juga masih terdapat penduduk miskin sebanyak 328.597 orang atau 12,15% dari total penduduk. Sementara itu, tingkat pengangguran di Kalimantan Timur telah mencapai 7% dari total angkatan kerja (1.155.770 orang). Pengangguran tersebar di 6 Kabupaten/Kota; tertinggi terdapat di 4 Kota masing-masing Balikpapan, Samarinda, Tarakan dan Bontang. Kondisi tadi belum termasuk kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kesenjangan pendapatan yang menyolok antar komponen masyarakat.

Predikat Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, ternyata tidak dapat menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti pula, keunggulan berbanding (comparative advantage) daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keungulan bersaing (competitive advantage). Dan kegagalan mengubah keunggulan berbanding menjadi keungulan bersaing ini tidak terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang pula oleh rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus seperti manajemen kawasan berikat.

Dalam kondisi seperti ini, maka sangat dibutuhkan adanya sebuah evaluasi yang komprehensif. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu dilakukan reformasi birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa prakondisi antara lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan insentif bagi investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui pengurangan pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi, dan penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan investasi dan promosi daerah. Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk di dalamnya manajemen kawasan berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi manajemen untuk mencapai 2 (dua) prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas produk unggulan dan memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan untuk menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat daerah.

Atas dasar pemikiran diatas, maka perlu adanya upaya menyamakan persepsi dalam rangka mencari dan/atau merumuskan bahan kebijakan percepatan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah, khususnya di wilayah Kalimantan Timur, yang hasilnya diharapkan dapat mengurai persoalan yang selama ini dihadapi, sekaligus melahirkan alternatif kebijakan dan strategi terobosan dalam merangsang tumbuhnya investasi yang progresif dan berkesinambungan di Kalimantan Timur. Untuk dapat mencapai hal tersebut, paling tidak beberapa sasaran berikut perlu direalisasikan:

·         Teridentifikasikannya berbagai kebijakan yang telah ditempuh Pemprov Kaltim dalam mendorong tumbuhnya iklim investasi yang kondusif, serta berbagai kendala yang dihadapi selama ini, termasuk menemukan faktor-faktor kunci pengembangan sektor ekonomi dan investasi di Kalimantan Timur
·         Teridentifikasikannya dampak penerapan Inpres No. 3/2006 dan Perpres No. 42/2006 terhadap percepatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah.
·         Teridentifikasikannya kinerja dan permasalahan pengembangan zona ekonomi terpadu (kawasan berikat) di Kalimantan Timur, serta alternatif pembenahannya pada masa-masa yang akan datang.
·         Teridentifikasikannya kontribusi Kapet Sasamba dalam pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur sebagai studi kasus.

Samarinda, Juli 2006

Tidak ada komentar: