Belum lama ini, pemerintah telah
mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memperbaiki iklim investasi di
Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, yang bertujuan untuk
memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan di
tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha
Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan sebagainya. Pada saat yang
bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun 2006 tentang Komite Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan tujuan untuk mendorong
investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur.
Selain kedua produk regulasi diatas,
upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga dilakukan
melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur
sendiri sangat potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan,
seperti wilayah Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris
(Nunukan), Kawasan Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga,
Samarinda, dan Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk kerjasama
regional yang melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia
and Philippines – East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat
KASABA (Kalimantan, Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.
Berbagai pusat pertumbuhan atau “pusat
investasi” tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, namun juga untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan
penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket
kebijakan investasi dan penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan
untuk menghasilkan multiplier effect dan
snowball effect secara sektoral, serta spreading
effect secara spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan,
melainkan alat atau stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju
terciptanya kesejahteraan masyarakat yang makin baik.
Namun
dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya
investasi di daerah secara progresif. Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi,
2006) menunjukkan 4 (empat) faktor yang menjadi penyebab lemahnya kinerja
investasi, yakni faktor perijinan dan birokrasi, pungutan formal, pungutan
informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi yang disurvei, 2 daerah buruk dalam
proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja rendah dalam indikator pungutan
formal dan 5 daerah indikator pungutan informal, serta 5 daerah menunjukkan performa
buruk dalam aspek pelayanan. Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di
Kalimantan, memiliki skor negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha
dan pungutan formal.
Diluar
variabel-variabel diatas, iklim investasi dan kinerja ekonomi daerah juga
sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya seperti kepastian hukum, kejelasan
aturan, efektivitas kelembagaan perijinan, dikotomi dan benturan kewenangan
Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, kemanan dan
stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya, kinerja pemerintah pada variabel-variabel
inipun menunjukkan fenomena yang sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh
jika kemudian Jetro (dalam Effendi, 2006) menemukan bahwa iklim investasi di
Indonesia jauh lebih buruk dibanding China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN
lainnya.
Tingkat
kinerja yang rendah dalam menarik investasi dan menciptakan iklim berusaha yang
kondusif tadi, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah, cq. Kalimantan Timur. Hingga tahun 2003, di Kalimantan Timur juga masih
terdapat penduduk miskin sebanyak 328.597 orang atau 12,15% dari total
penduduk. Sementara itu, tingkat pengangguran di Kalimantan Timur telah
mencapai 7% dari total angkatan kerja (1.155.770 orang). Pengangguran tersebar
di 6 Kabupaten/Kota; tertinggi terdapat di 4 Kota masing-masing Balikpapan,
Samarinda, Tarakan dan Bontang. Kondisi tadi belum termasuk kesenjangan
pembangunan antar wilayah dan kesenjangan pendapatan yang menyolok antar
komponen masyarakat.
Predikat
Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, ternyata tidak dapat
menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti pula, keunggulan
berbanding (comparative advantage)
daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keungulan bersaing (competitive advantage). Dan kegagalan
mengubah keunggulan berbanding menjadi keungulan bersaing ini tidak terlepas
dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang pula oleh
rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus seperti
manajemen kawasan berikat.
Dalam
kondisi seperti ini, maka sangat dibutuhkan adanya sebuah evaluasi yang
komprehensif. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu dilakukan reformasi
birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa prakondisi antara
lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan insentif bagi
investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui pengurangan
pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi, dan
penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan investasi dan promosi daerah.
Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk di dalamnya manajemen kawasan
berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi manajemen untuk mencapai 2 (dua)
prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas produk unggulan dan
memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan untuk menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat
daerah.
Atas dasar pemikiran diatas, maka perlu
adanya upaya menyamakan persepsi dalam rangka
mencari dan/atau merumuskan bahan kebijakan percepatan pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah, khususnya di wilayah Kalimantan
Timur, yang hasilnya diharapkan dapat
mengurai persoalan yang selama ini dihadapi, sekaligus melahirkan alternatif
kebijakan dan strategi terobosan dalam merangsang tumbuhnya investasi yang
progresif dan berkesinambungan di Kalimantan Timur. Untuk
dapat mencapai hal tersebut, paling tidak beberapa sasaran berikut perlu direalisasikan:
·
Teridentifikasikannya
berbagai kebijakan yang telah ditempuh Pemprov Kaltim dalam mendorong tumbuhnya
iklim investasi yang kondusif, serta berbagai kendala yang dihadapi selama ini,
termasuk menemukan faktor-faktor kunci
pengembangan sektor ekonomi dan investasi di Kalimantan Timur
·
Teridentifikasikannya
dampak penerapan Inpres No. 3/2006 dan Perpres No. 42/2006 terhadap percepatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah.
·
Teridentifikasikannya
kinerja dan permasalahan pengembangan zona ekonomi terpadu (kawasan berikat) di
Kalimantan Timur, serta alternatif pembenahannya pada masa-masa yang akan
datang.
·
Teridentifikasikannya
kontribusi Kapet Sasamba dalam pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur sebagai studi kasus.
Samarinda, Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar