Dasar
Pemikiran
Banyak
pihak berpendapat bahwa kejatuhan rejim Presiden Soeharto merupakan tonggak
baru era reformasi di Indonesia. Namun jika kita mau jujur dan mencoba
membandingkan secara teliti antara era Soeharto dengan era pasca Soeharto –
yang telah menghasilkan 4 (empat) Presiden hanya dalam kurun 6 tahun –
sesungguhnya tidak ada perubahan yang cukup signifikan. Buktinya, hingga akhir
2005 ini Indonesia masih menjadi “rajanya” korupsi di dunia sebagaimana
dilaporkan oleh Transparency International. Bahkan cukup banyak analisa
yang menyebutkan bahwa di era demokrasi dan otonomi luas sekarang ini, telah
berlangsung proses desentralisasi (baca: perkembangbiakan dan penyebarluasan)
korupsi, bukan hanya di tingkat nasional, namun merambah hingga ke tingkat
kecamatan dan desa; tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, namun
menjangkiti pula pemegang kekuasaan legislatif dan judikatif.
Pertanyaannya,
apakah reformasi di Indonesia telah gagal? Masih terlalu dini nampaknya untuk
mengambil kesimpulan demikian. Namun juga sangat gegabah untuk mengatakan bahwa
reformasi telah menuai hasil yang memuaskan. Bahkan kita masih perlu bertanya,
apakah rejim pemerintahan yang berkuasa saat ini (incumbent) telah
berada di jalan yang benar (on the right track) dalam menjalankan agenda
reformasi? Pertanyaan seperti ini sangatlah wajar, karena kebijakan yang
ditempuh oleh para penguasa setelah Soeharto bisa dikatakan tidak berbeda
dengan yang dilakukan Soeharto. Penggabungan, pemecahan, penambahan, dan/atau
likuidasi departemen tertentu, adalah kebijakan lama yang masih didaur ulang.
Pembentukan badan / komisi khusus yang menangani kasus korupsi – meski tidak
efektif – pernah dilakukan pula oleh Soeharto. Lebih ironis lagi, rejim SBY–JK
mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak konseptual dan sangat tidak masuk akal
dengan membagi-bagikan uang tunai secara gratis kepada “penduduk miskin”
sebagai bentuk kompensasi kenaikan BBM (BLT: Bantuan Langsung Tunai). Langkah
SBY–JK ini jauh lebih buruk dibanding kebijakan membagi-bagikan nasi bungkus
secara gratis kepada rakyat miskin, yang dilakukan mbak Tutut (Siti Hardiyanti
Rukmana) ketika menjabat sebagai Menteri Sosial di era Orde Baru. Bahkan indikator
ekonomi makro di era SBY–JK juga sempat berada pada level yang sangat
mengkhawatirkan saat nilai tukar rupiah terperosok hingga diatas Rp. 11.000.
Mencermati
roda reformasi yang tidak kunjung bergerak maju, muncul kekhawatiran bahwa
Indonesia belum mampu melepaskan diri dari “kutukan” sebagai negara berkembang.
Sebagaimana dikemukakan Nancy Birdsall dan Arvind Subramaniam (2004), berbagai
negara berkembang yang kaya sumber daya alam sering terkena kutukan, sehingga
kekayaan yang dimilikinya tidak berbuah menjadi kesejahteraan rakyat, melainkan
justru kesengsaraan dan derita berkepanjangan. Dan harus diakui, kondisi rakyat
Indonesia hingga 1 tahun kepemimpinan SBY–JK (20 Oktober 2004 – 20 Oktober
2005) masih sangat memprihatinkan.
Hal
ini berarti pula bahwa rejim SBY–JK belum mampu merubah wajah dan citra Kabinet
Indonesia Bersatu, yang nota bene adalah “birokrasi reformasi”. Dengan kata
lain, stigma yang negatif birokrasi yang diungkap Kanselir Jerman periode
1870-1890, Otto von Bismarck semenjak lebih dari satu abad yang lalu, masih
melekat di tubuh pemerintahan Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui, pada
tahun 1891[1]
Bismarck mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal, yakni “birokrasi adalah
apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita” (bureaucracy is what we all
suffer from).
Keadaan
birokrasi yang menyengsarakan inilah yang dewasa ini menjadi alasan utama (raison
dětre) perlunya program reformasi birokrasi.[2]
Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa
ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the
machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan
dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub
dalam konstitusi negara. Oleh karena itu, tidak berlebihan untuk menyatakan
bahwa maju mundurnya sebuah negara akan sangat tergantung kepada tingkat
efektivitas birokrasi serta efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber daya.
Selanjutnya,
inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung pengertian bahwa
peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan (struktural
maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik perlu
mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi
birokrasi. Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan
dari kemampuan dan kualitas SDM aparaturnya.
Sebagai
mesin birokrasi (the machine of the bureaucracy), SDM aparatur
semestinya tidak diperlakukan sebagai faktor statis yang hanya menjadi obyek
suatu kebijakan. Justru harus disadari bahwa dalam jiwa setiap manusia
(termasuk pegawai di sektor publik) terdapat semangat perubahan serta motivasi
untuk mengaktualisasikan kapasitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Victor
Frankl bahwa:
“Apa
yang diinginkan oleh seseorang bukanlah suatu keadaan yang tenang, tetapi suatu
perjuangan menantang atas tujuan yang dicita-citakannya. Apa yang dibutuhkan
bukanlah hilangnya ketegangan, namun justru sebuah panggilan dan pengakuan
terhadap potensinya untuk mengisi suatu peran tertentu”.
(What
a man actually needs is not a tensionless state but rather the striving and
struggling for some goal worthy of him. What he needs is not the discharge of
tension at any cost, but the call of a potential meaning waiting to be
fulfilled by him). [3]
Dalam
konteks organisasi, potensi untuk maju dari setiap inidividu inilah yang harus
dimaksimalkan untuk membangun kinerja. Secara analogis dapat dikatakan pula
bahwa upaya mereformasi birokrasi harus pula berbasis pada pemantapan potensi,
kapasitas, dan peran para birokratnya. Dengan demikian, para birokrat inilah
yang harus difungsikan sebagai faktor pengungkit utama (key leverage)
untuk menggulirkan reformasi birokrasi.
Atas
dasar pemikiran tersebut, maka reformasi birokrasi merupakan upaya yang harus
dilakukan secara sistematis, komprehensif dan berkesinambungan. Dengan kata
lain, reformasi birokrasi menjadi sine qua non bagi proses pembangunan
bangsa dan negara secara menyeluruh.
Urgensi
reformasi birokrasi di Indonesia sendiri semakin mendesak dengan selesainya
Pemilu 2004. Disadari bahwa Pemilu 2004 yang disusul dengan Pilkada Langsung di
berbagai daerah telah dan akan membawa perubahan mendasar pada dimensi struktur
dan fungsi birokrasi, bahkan juga pada aspek-aspek lain seperti kultur dan
perilaku aparat penyelenggara negara baik di tingkat Pusat maupun di Daerah.
Disamping itu, Pemiilu 2004 juga menandai dimulainya “Mekanisme Kepemimpinan
Nasional 5 Tahunan” untuk periode 2004-2009. Hal ini jelas mensyaratkan adanya
kejelasan arah dari kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang (blue
print). Blue print pembangunan nasional inilah yang nantinya
berfungsi sebagai pijakan atau pedoman bagi pejabat terpilih (incumbent
government officials) untuk menjalankan roda pemerintahan, minimal 5 tahun
kedepan.
Reformasi Birokrasi Indonesia, Mengapa Gagal?
Di
Indonesia, selama ini sudah banyak sekali upaya mereformasi birokrasi dengan
berbagai pendekatan teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan
ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing
government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating organization
(Ikujiro Nonaka dan Hirotaka
Takeuchi, 1995); learning organization sebagai disiplin ke-5
(Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan Peter
Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi
masih belum menampakkan hasil positif. Ini mengisyaratkkan pada kita untuk
mencari metode reformasi yang benar-benar efektif dan mujarab untuk membangun
sosok birokrasi yang benar-benar sehat, bersih, profesional, sekaligus
demokratis dan berkinerja tinggi.
Kelemahan
utama yang ada dalam proses reformasi birokrasi selama ini adalah sifatnya yang
terlalu makro. Artinya, reformasi selalu diasosiasikan sebagai perubahan
kesisteman dan/atau organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen
birokrasi yang lebih mikro. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga
lebih banyak berasal dari luar, serta dilakukan oleh aktor diluar birokrasi itu
sendiri. Akibatnya, proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan
kurang dapat diimplementasikan secara optimal pula.
Meminjam
analisis Spencer and Spencer (1993), birokrasi dapat diumpamakan sebagai sebuah
bangunan gunung es, dan reformasi birokrasi baru menyentuh dimensi permukaan
saja, yakni yang menyangkut upaya meningkatkan keterampilan (skill) dan
pengetahuan (knowledge) semata. Sedangkan karakteristik lainnya yang
lebih bersifat hidden (tersembunyi), deeper (berada di dalam),
serta merupakan dimensi inti dari kepribadian (central to personality)
seperti perilaku dan nilai-nilai individual (attitudes and values),
semangat atau dorongan (motives), sifat (traits), serta konsep
diri (self-concept), kurang tergarap secara sistematis dan
berkesinambungan.
Strategi
diklat aparatur dewasa ini agaknya juga lebih memfokuskan pada agenda membangun
kemampuan kepemimpinan (managerial agenda) dan kemampuan intelektual (intellectual
agenda), dengan sedikit perhatian pada kemampuan perilaku (behavioral
agenda). Padahal, potensi-potensi sentral yang terdapat pada jiwa dan
kepribadian seseorang inilah yang lebih menentukan kapasitas seseorang untuk
mengaktualisasikan potensi dan perannya secara optimal.
Disamping
model Spencer and Spencer, model UNDP (1998) serta analisis Grindle (t.t)
tentang tiga tingkatan kapasitas, dapat pula menjelaskan faktor kegagalan
reformasi birokrasi. Menurut kajian keduanya, capacity building dapat
ditempuh melalui tiga tingkatan dengan fokus dan program yang berbeda-beda,
sebagaimana nampak pada Tabel 1 dibawah ini.
Level
of Leverage
|
Focus
|
Types
of Program / Activities
|
Individual level
|
Supply
of professional & technical personnel
|
Job requirements & skill levels; training &
retraining; learning and on-the-job training; career progression;
accountability / ethics; access to information; personal / professional
networking; performance / conduct; incentives / security; values, integrity
and attitudes; morale and motivation; work redeployment and job sharing;
interrelationship, interdependencies and teamwork; communication skill,
attitudes, motives, traits, self-concept.
|
Organization
level
|
Management
system to improve performance and specific tasks & functions;
microstructures
|
Incentive systems, utilization of personnel,
leadership, organizational culture, communication, managerial structures,
mission and strategy; culture / structure and competencies.
|
System
level
|
Institutions
and systems; macrostructures
|
Rules
of the game for economic and political regimes, policy and legal change,
constitutional reform, policy and regulatory dimension; management /
accountability dimension; resources dimension; process dimension,
decentralized governance.
|
Sumber:
UNDP (1998), Grindle (t.t.), Spencer and Spencer (1993)
Dari
ketiga level diatas, sekali lagi dapat dicermati bahwa pembenahan birokrasi
selama ini masih lebih terkonsentrasi pada tingkatan organisasi dan sistem.
Desentralisasi yang luas (UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999), Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999), serta pengajuan
berbagai RUU seperti Kementerian Negara, Pelayanan Publik, dan sebagainya,
adalah contoh-contoh betapa para pengambil kebijakan kita masih lebih banyak
berpikir global (think globally) namun kurang disertai dengan bertindak
konkrit (act concretely). Sayangnya lagi, proses pembenahan pada dua
tataran inipun masih belum menunjukkan hasil yang nyata.
Mengingat
hal tersebut diatas, upaya reformasi mestinya dilakukan secara komprehensif,
baik tataran makro maupun mikro. Dalam hubungan ini, pengembangan kompetensi
SDM dapat dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan pada level mikro untuk
membentuk sebuah sistem birokrasi yang efektif dan efisien (effective and
efficient), tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan
bertanggungjawab (transparent and accountable), membuka seluas mungkin
partisipasi publik (inclusive and democratic), serta berkinerja tinggi
dalam bidang pembangunan dan pelayanan (developmental).
Arah Reformasi Birokrasi
Penyempurnaan
berbagai dimensi birokrasi haruslah didasarkan pada visi dan misi negara.
Dengan demikian, upaya reformasi (diharapkan) dapat dijamin berjalan pada jalur
yang benar (on the right track), sehingga dapat menjadi instrumen yang
manjur untuk membangun bangsa dan mensejahteraan masyarakat. Dalam hubungan ini,
reformasi birokrasi Indonesia haruslah berpedoman pada “Visi Indonesia 2020”
sebagaimana dituangkan dalam Tap MPR No. VII/MPR/2001. Esensi Tap MPR ini
adalah perlunya pendayagunaan segenap potensi bangsa untuk mewujudkan “penyelenggaraan
negara yang baik dan bersih”.
Dalam
konteks menciptakan sistem penyelenggaraan negara yang baik dan bersih tadi,
ketentuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
KKN, kiranya dapat pula dijadikan sebagai rujukan tentang arah reformasi
biirokrasi. UU ini mengatur tentang Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur)
sebagai dasar etika berpemerintahan. Adapun asas-asas yang diatur meliputi asas
kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsional, profesional, serta akuntabilitas. Ke-7 asas ini, pada gilirannya
haruslah mampu menjadi cermin bagi sosok negara yang dicita-citakan oleh Tap
MPR No. VII/MPR/2001, yakni penyelenggaraan negara yang baik dan bersih.
Secara teoretis,
munculnya nilai-nilai etis dalam kebijakan publik ini disemangati oleh adanya
hukum tidak tertulis (common law atau convention) yang berkembang
di negeri Belanda, yang sering disebut dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur). Konvensi ini sangat
diperlukan karena adanya keterbatasan sistem hukum yang terkodifikasi (hukum
positif). Di Belanda, paling sedikit terdapat 13 asas pemerintahan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur), sebagai berikut:
1.
Asas kepastian hukum (Principle of Legal Security).
2.
Asas keseimbangan (Principle of Proportionality).
3.
Asas kesamaan dalam mengambil
keputusan (Principle of Equality).
4.
Asas bertindak cermat (Principle of Carefulness).
5.
Asas motivasi untuk setiap keputusan
(Principle of Motivation).
6.
Asas tidak mencampuradukkan
kewenangan (Principle of non misuse of
competence) yang bisa juga berarti asas tidak menyalahgunakan kekuasaan.
7.
Asas permainan yang layak (Principle of Fairplay).
8.
Asas Keadilan dan kewajaran (Principle of Reasonable or Prohibition of
Arbitrariness).
9.
Asas menanggapi penghargaan yang
wajar (Principle of Meeting Raised Expectation)
atau bisa juga berarti asas pemenuhan aspirasi dan harapan yang diajukan.
10. Asas
meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (Principle of Undoing the Consequencies of Annuled Decision).
11. Asas
perlindungan atas pandangan/cara hidup pribadi (Principle of Protecting the Personal Way of Life).
12. Asas
kebijaksanaan (Sapientia).
13. Asas
penyelenggaraan kepentingan umum (Principle
of Public Service).
Mengacu kepada
prinsip-prinsip diatas, maka reformasi birokrasi Indonesia-pun harus diarahkan
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai etis berbangsa dan bernegara, walaupun
tidak tertuang dalam hukum positif (hic et nunc norms). Dan untuk itu,
UU No. 28 Tahun 1999 selain harus diimplementasikan secara tegas, juga perlu
dikembangkan terhadap asas-asas pemerintahan yang baik lainnya namun belum
terakomodir didalamnya.
Level of
Leverage Reformasi Birokrasi
Meminjam
konsepsi UNDP (2000), pengembangan kapasitas birokrasi dapat diklasifikasikan
kedalam tiga jenjang, yakni Individual, Institusional atau Organisasional,
serta Kesisteman. Ini berarti bahwa pencapaian visi dan misi negara haruslah
ditempuh lewat tiga jalur reformasi, yakni reformasi individual, reformasi
institusional, serta reformasi kesisteman. Dengan kata lain, ketiga jalur
reformasi ini nantinya secara bersama-sama akan bermuara pada pencapaian visi
negara secara sinergis.
Dalam
proses membangun blue print reformasi birokrasi, level of leverage reformasi
akan dianalisis secara silang dengan arah / visi reformasi. Dalam hal ini, visi
penyelenggaraan negara ditempatkan sebagai sumbu X, sedang level of leverage
dijadikan sebagai sumbu Y. Dari irisan antara sumbu X dengan sumbu Y akan
diperoleh butir-butir reformasi birokrasi, yang secara esensial merupakan
penjabaran dari REGOM (reinventing government). Keterkaitan antara sumbu
X dan Y serta butir-butir reformasi birokrasi sebagai hasil analisis, dapat
dilihat pada Matriks 1 dibawah.
Butir-butir
reformasi pada level Individu tidak dianalisis secara terpisah
berdasarkan 7 (tujuh) asas yang ada. Dasar pemikirannya adalah bahwa
pengembangan individu pejabat birokrasi akan menghasilkan dampak simultan
kepada peningkatan kualitas 7 (tujuh) asas tersebut. Sebagai contoh,
peningkatan kualitas SDM atau perbaikan sistem penilaian kinerja individu, akan
memunculkan efek positif kepada asas kepastian hukum, asas akuntabilitas dan
tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan dan kepentingan umum, sekaligus
juga kepada asas proporsionalitas dan profesionalisme.
Sementara
pada level Institusional, arah dan visi penyelenggaraan negara
(sumbu X) direklasifikasikan dan diperas menjadi 4 kelompok. Ini dilakukan
mengingat adanya kesamaan dan hubungan yang sangat dekat antar beberapa asas,
sehingga dipandang perlu untuk digabung. Dalam hal ini, ke-7 asas diciutkan
menjadi 4, yakni: 1) kepastian hukum, 2) akuntabilitas dan tertib
penyelenggaraan negara, 3) keterbukaan dan kepentingan umum, dan 4)
proporsionalitas dan profesionalisme.
Adapun
pada level sistem, ke-7 asas atau arah penyelenggaraan negara
tadi dianalisis secara mandiri. Hal ini didasari pemikiran bahwa level sistem
merupakan payung dari program-program reformasi pada level institusi, sementara
level institusi sendiri merupakan rujukan untuk mendesain aksi-aksi strategis
dan taktis reformasi birokrasi pada tingkatan yang lebih rendah.
Pola
pikir mengenai level of leverage bagi reformasi birokrasi ini dapat
dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Matriks 1: Reformasi Birokrasi Berdasarkan Visi Penyelenggaraan Negara
Level
of Leverage
|
Asas dan Visi
Penyelenggaraan Negara (UU No. 28 Tahun 1999)
|
|||||||||
Kepastian Hukum
|
Tertib Penyelengga-
raan Negara
|
Akuntabilitas
|
Keterbukaan
|
Kepentingan Umum
|
Propor-
sionalitas
|
Profesio-
nalisme
|
||||
Individu |
Reformasi Birokrasi
|
|||||||||
Reformasi
Birokrasi
|
·
Peningkatan
Kualitas SDM
·
Pengembangan
Kompetensi Jabatan
·
Membangun
kemampuan pola piker (system thinking)
·
Perluasan
Kesempatan Pengembangan Diri.
|
·
Perbaikan
sistem penilaian kinerja
·
Pembenahan
aspek kepegawaian yang meliputi rekrutmen, etos kerja, sistem nilai, motivasi
dan disiplin kerja, pola karir, reward and punishment system, dan
sebagainya.
|
Reformasi
Birokrasi
|
|||||||
Institusi
|
I-1
·
Peningkatan Kualitas Perumusan
dan Implementasi Kebijakan Publik
·
Membangun Kepercayaan Publik (public
trust).
·
Membangun Independensi Lembaga
/ Aparat Penegak Hukum.
|
I-2
·
Penataan Kelembagaan dan
Ketata- laksanaan
·
Pengaturan kembali Kewenangan
Lembaga Pemerintah (Dep., Non-Dep., Ekstra Struktural, dll)
·
Penyempurnaan Koordinasi dan
Hubungan Kerja Antar Lembaga.
·
Penguatan Kerjasama Antar Unit
Pemerintahan dan Antar Daerah.
|
I-3
·
Pengembangan SIM (e-government)
·
Penguatan Manstra dan Renstra
Lembaga.
·
Memperkuat Stabiilitas Ekonomi
dan Mendorong Kegairahan Iklim Usaha.
|
I-4
·
Pemantapan Kode Etik Jabatan
·
Pembenahan dimensi-dimensi
Pelayanan Prima seperti SOP, SPM, dll.
·
Pengembangan kemitraan antara sektor
publik dan privat.
|
||||||
Sistem
|
S-1
·
Reformasi Sistem Hukum dan
Perundang- Undangan
·
Penguatan Sistem dan Mekanisme
Pemberantasan KKN.
|
S-2
·
Penguatan Desentralisasi
·
Penyempurna-an Sistem,
Prosedur, dan Instrumen Perencanaan Pembangunan.
|
S-3
·
Peningkatan Pengawasan
Aparatur.
·
Penyempurna- an Sistem
Pertanggung- jawaban Eksekutif dan Legislatif.
|
S-4
·
Reformasi Administrasi Keuangan
Negara, termasuk Penyempurna-an Sistem Alokasi Anggaran.
|
S-5
·
Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik.
·
Penyempurna-an Sistem Politik
(Pemilu dan Kepartaian).
·
Peningkatan Kualitas Lembaga
dan Mekanisme Perwakilan.
|
S-6
·
Pemantapan Netralitas
Birokrasi.
·
Penguatan Partisipasi dan
Pengakuan Hak-hak Lokal guna Mengurangi Disparitas Sosial dan Regional.
|
S-7
·
Peningkatan Kualitas Kepemim-
pinan.
·
Pembenahan Kebijakan Makro
Kepegawaian.
·
Percepatan Pembangunan
Teknologi Modern.
|
|||
Reformasi Birokrasi
|
||||||||||
Gambar 1: Keterkaitan
Dimensi-Dimensi Reformasi Birokrasi Dengan Jenjang Pengungkitnya
Penutup
Esensi
reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah upaya mengembalikan birokrasi kepada
fungsi aslinya, yakni melayani dan mengayomi (to serve and to preserve).[4]
Dan untuk bisa mengembalikan fungsi aslinya tadi, memang diperlukan sebuah
strategi inti pengungkit (key leverage). Sesuai dengan namanya, strategi
pengungkit hanya berfungsi untuk “merangsang” dan memulai berlangsungnya proses
reformasi birokrasi, namun bukan merupakan strategi besaran (grand strategy)
dari reformasi itu sendiri.
Dalam
hubungan itu, maka guna mendorong dan mempercepat terbentuknya rejim pelayanan
dan pengayom tersebut, ungkapan sederhana namun bermakna tinggi yang
diungkapkan Lee Kuan Yew pantas kita renungkan. Dalam masa-masa awal
kepemimpinannya sebagai Perdana Menteri Singapura, Lee menandaskan bahwa
disiplin seluruh kalangan bangsa jauh lebih penting dari pada sekedar
perjuangan meraih demkrasi. Dalam kata-kata aslinya, Lee berucap: “I believe
that what a country needs to develop is discipline more than democracy”
(dalam Gordon White, 1998). Disini nampak sekali bahwa Lee Kuan Yew tidak
memperjuangkan demokrasi sebagai demokrasi (democracy an sich), tetapi
sebuah bangunan rakyat yang demokratis berbasis kedisiplinan seluruh warga dan
aparatnya. Sebab, demokrasi saja tidak akan mendatangkan kebaikan bagi rakyat (democracy
is a luxury which poor societies can ill afford to).
Kasus
Singapura membangun demokrasi dan birokrasi yang bersih seperti dipaparkan
diatas mengiustrasikan pada kita bahwa Indonesia membutuhkan sebuah platform
reformasi dan demokrasi yang spesifik, yang memiliki basis pada pola
kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia sendiri. Pola-pola reformasi yang
dipaksakan atau didiktekan dari luar, tanpa landasan filosofis yang genuine dan
membumi, hanya berdampak pada makin kacaunya pola interaksi antar stakeholders
dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Mampukah
bangsa Indonesia mewujudkannya? Kita tunggu saja gebrakan rejim SBY–JK dan para
penerusnya.
Daftar Referensi
Asian
Development Bank, 2000, To Serve And To Preserve: Improving Public
Administration In A Competitive World, ADB Publication series. Tersedia
online di http://www.adb.org/Documents/Manuals/Serve_and_Preserve/default.asp
Birdsall,
Nancy and Arvind Subramaniam, 2004, Saving Iraq from Its Oil, dalam
Jurnal Foreign Affairs Vol. 83 No. 4.
Grindle,
Merilee S., no year, “The Good Government Imperatives: Human Resources,
Organizations and Institutions” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good
Governance: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries,
Harvard University Press.
Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takeuchi, 1995, The
Knowlegde-creating Company, How Japanese
Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford
University Press.
Osborne,
David dan Peter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy, The Five Strategies
for Reinventing Government, Addison Wesley.
Osborne,
David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, How the Entrepreneurial
Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison Wesley.
Pollitt,
Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A
Comparative Analysis, New York: Oxford University Press.
Savas,
E. S., 1987, Privatization: The Key to Better Government. Chatham, NJ:
Chatham House.
Senge,
Peter M., 1995, The Fifth Discipline, Bantam Doubleday Dell Publishing
Group, Inc.
Spencer,
Lyle M. and Signe M. Spencer, Competence at Work, Models for Superior
Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1993
UNDP,
January 1998, “Capacity Assesment and Development In a System and Strategic
Management Context”, Technical Advisory Paper No. 3, Management
Development and Governance Division, Bureau for Development Policy.
White,
Gordon, 1998, “Constructing a Democratic Developmental State“, in Mark Robinson
and Gordon White (ed.), The Democratic Developmental State: Politics and
Institutional Design, Oxford: Oxford University Press.
World
Bank, 1996, World Development Report: From Plan to Market, Oxford
University Press.
[1] Otto
von Bismarck dalam Conservative Forum. Lihat di http://www.conservativeforum.org/quotelist.asp?SearchType=5&Interest=18
atau di http://www.conservativeforum.org/authquot.asp?ID=255
[2] Untuk
sebuah gambaran yang cukup komprehensif tentang pengalaman dan praktek reformasi
birokrasi di negara-negara yang tergolong sebagai advanced democracy,
lihat di Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management
Reform: A Comparative Analysis, New York: Oxford University Press. Lihat
juga berbagai paper pada Konferensi Internasional tentang Civil Service
Systems In Comparative Perspective, 1997, Indiana University, Bloomington,
Indiana, April 5-8, tersedia online di http://www.indiana.edu/~csrc/csrc.html
[4] Tentang
trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan
dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and To
Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar