Semenjak
mencuatnya kasus Ambalat, perhatian dan komitmen pemerintah untuk membangun
kawasan perbatasan nampak semakin serius. Hal ini bukan saja karena posisi
perbatasan yang sangat strategis dalam konteks penguatan Negara Kesatuan, namun
secara obyektif memang wilayah ini sangat tertinggal dibanding wilayah
non-perbatasan, apalagi dibanding wilayah negara tetangga. Disamping itu,
kondisi ketertinggalan wilayah perbatasan juga berdampak pada munculnya
berbagai permasalahan akut, baik pada dimensi lokal / domestik, nasional,
maupun regional antar bangsa.
Pada
level lokal atau domestik, issu yang sering mengemuka antara lain berupa kasus
kemiskinan (chronic poverty), keterasingan (isolation), rendahnya
indeks SDM, ketiadaan fasilitas layanan publik, serta kelangkaan (shortage)
bahan kebutuhan pokok. Pada level nasional, muncul kasus-kasus besar seperti
pembalakan liar (illegal logging), TKI dan
penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi SDA secara
tidak beraturan dan degradasi mutu lingkungan, lemahnya sistem pengawasan,
serta gejala degradasi nasionalisme. Sedangkan pada level regional, masalah
yang ada meliputi lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri
sendiri dengan negeri tetangga, potensi konflik mengenai garis batas, dan
sebagainya.
Berbagai persoalan diatas semakin diperparah oleh fakta belum tersusunnya tata ruang wilayah
perbatasan dan tata ruang kawasan pintu gerbang lintas batas, serta belum
terbentuknya kelembagaan yang khusus menangani pembangunan perbatasan. Dari
sisi tata ruang wilayah, saat ini belum nampak adanya blueprint atau masterplan
yang jelas dan kokoh tentang pengembangan wilayah perbatasan yang
komprehensif serta terintegrasi antar daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Tata ruang perbatasan masih sekedar merupakan bagian kecil dari tata ruang
propinsi, atau bahkan tata ruang kabupaten secara parsial. Sebagai contoh,
Depdagri pernah menyusun Rencana Tata Ruang Perbatasan 1992 dengan skala 1 :
250.000, sementara Depkimpraswil menyusun pula Rencana Tata Ruang Kasaba
2003-2004. Selanjutnya, Dephutbun menyusun Renstra kawasan perbatasan 2003,
Pemprop Kalimantan Barat telah menyusun program pembangunan kawasan perbatasan,
dan Pemprop Kalimantan Timur telah pula menyusun Renstra pembangunan perbatasan
2004. Uniknya, diantara berbagai rencana pembangunan tadi tidak saling
terkomunikasikan dengan baik dan cenderung jalan sendiri-sendiri.
Sementara dari sisi kelembagaan, penanganan masalah perbatasan dewasa
ini dilakukan secara ad-hoc oleh berbagai instansi teknis yang
berbeda-beda sesuai dengan materi pokok permasalahannya. Pola penanganan
tersebut membawa implikasi penanganan yang kurang terpadu dan kurang
komprehensif. Sebagai ilustrasi, masalah demarkasi batas darat dan kerjasama
perbatasan (termasuk penanganan masalah yang timbul di perbatasan)
dikoordinasikan oleh berbagai instansi, misalnya:
1. General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh PanglimaTNI;
2. Joint Border Commite (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam Negeri;
3. Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL diketuai oleh Direktur Jenderal
Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri;
4. Tim Penetapan Batas Landas Kontinen diketuai oleh
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral;
5. Border Committee Indonesia–Philipina diketuai oleh Panglima Kodam VII/ Wirabuana
(Tingkat Ketua) dan oleh Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Timur (Tingkat
Wakil Ketua).
Konsep
penataan dan pengembangan wilayah perbatasan sendiri dewasa ini cenderung
berkembang menjadi “bola salju” yang terus menggelinding tanpa kepastian
mengarah pada kristalisasi gagasan yang semakin mengerucut. Sebagai contoh, di
Kalimantan Timur sempat berkembang wacana mengenai beberapa alternatif pola
penanganan perbatasan, antara lain berupa pemberian otonomi khusus, pembentukan
badan otorita perbatasan, atau pembentukan lembaga teknis tingkat propinsi.
Sementara di Kalimantan Barat bahkan telah dibentuk lembaga khusus yakni Badan
Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan.
Berbagai
kondisi diatas nampaknya telah berkontribusi pada tidak fokusnya kebijakan
penanganan dan penataan kawasan perbatasan. Kondisi ini jelas tidak
menguntungkan bagi Pemerintah Pusat yang telah bertekad untuk mengubah image
kawasan perbatasan dari halaman belakang menjadi halaman depan bangsa.
Perubahan orientasi dan arah kebijakan ini sendiri bukan hal yang mudah dan
dapat dituntaskan dalam waktu relatif singkat. Sebab, disamping membutuhkan
biaya yang sangat besar, kawasan perbatasan sudah terlanjur sangat tertinggal.
Potret
buram wajah perbatasan nampaknya makin diperburuk dengan lemahnya fungsi
diplomasi (border diplomacy) dan pengamanan perbatasan. Hal ini nampak
dari berbagai fenomena seperti lunturnya rasa nasionalisme, perlakuan yang
kurang manusiawi terhadap para TKI, indikasi bergesernya patok batas wilayah,
masih tingginya pelanggaran hukum di wilayah perbatasan, dan sebagainya.
Mengingat
berbagai pertimbangan diatas, maka kebijakan memperbaharui wajah perbatasan ini
tidak dapat lagi diklasifikasikan sebagai kebijakan pembangunan yang normal,
namun harus diposisikan sebagai kebijakan khusus (emergency policy)
dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan di segala bidang (catch-up
strategy). Termasuk dalam emergency policy ini antara lain perlunya
pembentukan tim / kelembagaan khusus yang menangani masalah perbatasan,
penyediaan anggaran secara khusus, serta penyusunan rencana aksi (khususnya
jangka pendek) yang terintegrasi antar sektor dan antar lembaga. Asumsi yang
dipakai adalah bahwa jika pengembangan wilayah perbatasan ditempatkan pada
kerangka kelembagaan, skema anggaran, serta perencanaan makro yang parsial dan piecemeal,
maka hasilnya tidak akan optimal.
Berdasarkan
pemikiran diatas, maka pengembangan wilayah perbatasan secara sistemik
membutuhkan komunikasi lintas instansi, lintas dimensi, dan lintas sektor yang
terkait dengan kebijakan membangun dan memajukan kawasan perbatasan, sehingga
dapat tercapai adanya kesamaan persepsi dan strategi dalam rangka merumuskan konsep
manajemen perbatasan yang modern, komprehensif, akurat, efektif dan efisien,
serta berkelanjutan.
Adapun langkah-langkah
konkrit dalam membangun dan mengembangkan wilayah perbatasan secara sistemik
disarankan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Dari sisi konsep / grand design pembangunan
perbatasan,
harus diupayakan terjadinya sintesa berbagai ide/gagasan, konsep, serta rencana
percepatan pembangunan wilayah perbatasan, sehingga dapat dirumuskan adanya gentlement
agrrement tentang langkah-langkah taktis jangka pendek yang harus segera
dijalankan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
2. Dari sisi kelembagaan, perlu segera diperjelas pengelola
perbatasan serta berbagai perangkat administratif (visi / misi, kewenangan,
struktur organisasi, sumber daya, tata laksana dan hubungan kerja, dsb) yang
perlu disiapkan guna mendukung lembaga yang akan dibentuk.
3. Dari sisi tata ruang, pematangan konsep tata
ruang wilayah perbatasan sebagai instrumen kebijakan jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang yang dapat menjadi acuan kerja (rencana induk
pengembangan) bagi lembaga pengelola perbatasan, menjadi syarat mutlak.
4. Dari sisi diplomasi, perlu disusun dan dimatangkan
rencana aksi pemerintah dalam rangka penguatan fungsi diplomasi (border
diplomacy) dan pengamanan perbatasan, sekaligus meningkatkan peran dan
posisi indonesia dalam kerjasama internasional pengembangan wilayah batas.
5. Dari sisi administrasi, perlu dukungan infrastruktur
administrasi pemerintahan yang handal dalam rangka mendukung pembangunan
wilayah perbatasan.
6. Dari sisi pertahanan, harus segera dirumuskan
strategi pengamanan wilayah perbatasan dalam rangka penyelamatan asset bangsa
dan perlindungan masyarakat.
Samarinda, 17 Oktober 2005
1 komentar:
KISAH NYATA..............
Ass.Saya ir Sutrisno.Dari Kota Jaya Pura Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.
KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!
((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))
Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :
Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll
Syarat :
Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda
Proses :
Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur
Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :
Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt
Prosedur Daftar Ritual ini :
Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP
Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR
Kirim ke nomor ini : 085320279333
SMS Anda akan Kami balas secepatnya
Maaf Program ini TERBATAS .
Posting Komentar