Kamis, 30 Desember 2010

QUO VADIS REFORMASI BIROKRASI?


Sebuah Refleksi 48 Tahun LAN (1957 – 2005)

Kepemimpinan nasional dibawah SBY – JK harus diakui telah meletakkan landasan yang cukup kokoh untuk menggulirkan program reformasi birokrasi dalam arti luas. Beberapa kebijakan yang termasuk “berani” diantaranya tentang percepatan pemberantasan korupsi, perundingan damai dengan GAM yang berimplikasi pada kemungkinan lahirnya Parpol lokal, sertra program efisiensi (penghematan) energi nasional. Berbagai upaya ini lebih diperkuat dan dijabarkan dengan kebijakan pada tingkatan operasional baik di Departemen/Kementerian, LPND, maupun Pemerintahan Daerah.

Namun dilihat dari kinerja outputs dan outcomes-nya, harus diakui pula bahwa komitmen untuk mereformasi birokrasi tadi masih banyak sekali menemui hambatan, sehingga belum dapat mencapai hasil yang diharapkan. Secara internal, birokrasi di Pusat maupun Daerah masih dihadapkan pada persoalan klasik seperti praktek KKN, defisit profesionalisme, kesejahteraan yang rendah, duplikasi / overlapping wewenang dan fungsi antar unit organisasi, transparansi dan akuntabilitas yang rendah, dan sebagainya. Sementara secara eksternal, birokrasi juga belum mampu menjawab secara tuntas permasalahan krusial seperti kesenjangan pembangunan antar kawasan, pelayanan publik yang kurang bermutu, penegakan hukum yang lemah, dan seterusnya.

Kondisi diatas mengisyaratkan perlunya dilakukan langkah-langkah yang komprehensif, terutama untuk mengevaluasi berbagai program reformasi yang telah berjalan sekaligus merumuskan agenda dan strategi kedepan yang dapat membenahi kelemahan-kelemahan yang ada saat ini. Dalam rangka mencari solusi terhadap kemacetan program reformasi birokrasi, maka penyempurnaan dimensi-dimensi birokrasi haruslah didasarkan pada visi dan misi negara. Hal ini bertujuan agar upaya reformasi dapat dijamin berjalan pada jalur yang benar (on the right track), sehingga dapat menjadi instrumen yang manjur untuk membangun bangsa dan mensejahterakan masyarakat. Ini berarti pula bahwa reformasi birokrasi Indonesia haruslah berpedoman pada “Visi Indonesia 2020” sebagaimana dituangkan dalam Tap MPR No. VII/MPR/2001. Esensi Tap MPR ini adalah perlunya pendayagunaan segenap potensi bangsa untuk mewujudkan “penyelenggaraan negara yang baik dan bersih”.

Dalam konteks menciptakan sistem penyelenggaraan negara yang baik dan bersih tadi, ketentuan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, kiranya dapat pula dijadikan sebagai rujukan tentang arah reformasi biirokrasi. UU ini mengatur tentang Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai dasar etika berpemerintahan. Adapun asas-asas yang diatur meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional, serta akuntabilitas. Ke-7 asas ini, pada gilirannya haruslah mampu menjadi cermin bagi sosok negara yang dicita-citakan oleh Tap MPR No. VII/MPR/2001, yakni penyelenggaraan negara yang baik dan bersih.

Atas dasar pemikiran diatas, maka dalam rangka memperingati HUT Ke-48 (6 Agustus 1957 – 6 Agustus 2005), LAN sebagai salah satu institusi pemikir dalam pengembangan sistem administrasi negara, memandang perlu adanya sebuah forum diskusi guna mengevaluasi pelaksanaan program reformasi birokrasi secara nasional. Forum ini diharapkan dapat mendeteksi berbagai penyebab gagalnya refromasi birokrasi, sekaligus merumuskan alternatif kebijakan dan rencana aksi untuk mendorong program reformasi birokrasi secara lebih baik dan berkesinambungan.

Samarinda, 1 November 2005

Tidak ada komentar: