Sebagai implikasi dari pemberlakuan
otonomi daerah seluas-luasnya semenjak 1 Januari 2001, daerah memiliki beban
urusan pemerintahan yang sangat berat. Secara filosofis, kebijakan ini
diharapkan dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, disamping untuk mengurangi kesenjangan pembangunan
antar wilayah. Sedangkan secara politis, pemberian otonomi luas tadi
menunjukkan adanya komitmen pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian
daerah baik dalam hal pengambilan keputusan, penggunaan sumber-sumber daya,
maupun penggalian potensi daerah. Namun secara teknis, desentralisasi yang
“mendadak” dan dalam skala besar (big
bang decentralization) ini menimbulkan beberapa kendala seperti surplus
pegawai, atau terjadinya defisit anggaran yang selalu berulang setiap tahunnya.
Untuk mengurangi ketergantungan kepada
Pusat sekaligus meningkatkan kapasitas keuangannya, banyak daerah yang lantas
memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas
kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah,
kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy)
yang menghambat masuknya investasi ke daerah. Ironisnya lagi, berbagai regulasi
daerah tadi banyak yang dibatalkan oleh Pusat karena dinilai tidak sejalan
dengan semangat otonomi daerah.
Di wilayah Kalimantan Timur sendiri, sebanyak
24 Perda yang dibuat kabupaten/kota menyangkut pajak dan retribusi bidang
peternakan, kehutanan, ESDM, industri dan perdagangan, kelautan dan perikanan,
ketenagkerjaan, perhubungan, lingkungan hidup dan pungutan lainnya telah “ditertibkan”
karena dianggap melanggar Undang-Undang. Sementara itu, sebanyak 45 Perda
lainnya sedang dalam tahap pengkajian atau evaluasi baik oleh Pemprov kaltim
maupun oleh Pusat. Dalam hal ini, beberapa Perda yang dibatalkan Depdagri, antara
lain adalah sebagai berikut:
Kab/Kota
|
PERDA
|
Kepmendagri yg Membatalkan
|
Pasir
|
No.
7/2003 tentang Ketenagakerjaan
|
No. 25/2001
|
PPU
|
No. 12/2001 tentang Pemberian Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
|
No. 48/2004
|
Berau
|
No. 19/2002 tentang Retribusi Pemasukan dan
Pengeluaran Hewan Ternak dan Produk Bibit
|
No. 7/2006
|
No. 10/2003 tentang Retribusi Pengujian
Kendaraan
|
No. 8/2006
|
|
Bontang
|
No. 6/2002 tentang Retribusi Pelayanan
Ketenagakerjaan
|
No. 47/2004
|
No. 7/2002 tentang Perizinan Pendaftaran Usaha
Peternakan
|
No. 15/2005
|
|
Nunukan
|
No. 25/2001 tentang Retribusi Perikanan
|
No. 39/2005
|
No. 24/2001 tentang Retribusi Izin Pemanfaatan
Laut dan Sungai
|
No. 40/2005
|
|
Samarinda
|
No. 19/2000 tentang Usaha Perikanan, Pengawasan
Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging
|
No. 14/2005
|
No. 30/2000 tentang Retribusi Izin Pembuatan
Bandar Kapal
|
No. 129/2005
|
|
No. 8/2001 tentang Izin Penyelenggaraan Angkutan
Barang
|
No. 130/2001
|
|
No. 10/2001 tentang Retribusi Ketenagakerjaan
|
No. 47/2004
|
Sumber: 1) Tribun
Kaltim, Depdagri Cabut 24 Perda di
Kaltim: Dianggap Bermasalah dan Melanggar UU, 1 Mei 2006.
2) Kaltim Post, Perda, Kini
Tak Bisa Langsung Berlaku, Selasa, 2 Mei 2006.
Secara umum, lahirnya Perda atau Keputusan
Bupati/Walikota tentang pungutan tadi mendapat tentangan yang sangat keras
bukan saja dari kalangan masyarakat biasa dan pelaku ekonomi lokal, namun juga
dari kaum cendekiawan dan lembaga riset serta lembaga donor baik skala nasional
maupun internasional. Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh
Perda sangatlah terbatas. Tahun lalu, pemerintah melalui Kepala Badan
Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk
mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda
tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda
yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke
pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).
Kondisi diatas secara umum menggambarkan bahwa kebijakan
desentralisasi secara ideal belum mampu mencapai tujuan utamanya. Sebab, esensi
otonomi lebih menghendaki agar daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah
tangganya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, sementara bantuan/subsidi
Pusat semestinya hanya merupakan komponen pelengkap untuk mendukung kapasitas
daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas asli daerah (terutama dibidang
keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang diperoleh dari pemerintah
pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD terhadap APBD, yang sebagian
besar daerah otonom di Indonesia hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total
APBD.
Pemerintah Pusat bukan berarti tidak memikirkan kondisi
tersebut. Lahirnya UU Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah No 33 Tahun 2004 sebagai
revisi terhadap UU No 25 Tahun 1999 mengggambarkan semakin besarnya proporsi
dana perimbangan untuk daerah. Selain itu, UU tadi juga memberikan kepastian atas
sumber-sumber dana pemerintah daerah dalam melaksanakan tupoksinya, serta kebebasan
dalam menggunakan dana-dana tersebut sesuai dengan fungsinya (local discretion). Namun jika
kondisi ketergantungan ini berlangsung terus, maka selama itu pula otonomi
daerah di Indonesia akan menjadi kebijakan yang semu.
Mengingat fenomena yang kurang kondusif bagi perkembangan
pembangunan ekonomi di daerah tadi, maka kemampuan membaca dan mengoptimalkan
potensi unggulan daerah sangatlah penting. Dengan kata lain, tergalinya
dan/atau termanfaatkannya komoditas unggulan daerah merupakan prasyarat mutlak
bagi keberhasilan pembangunan ekonomi daerah di era otonomi.
Kalimantan Timur sendiri selama ini terkenal
sebagai wilayah yang kaya dengan kekayaan sumber daya alam, khususnya minyak
bumi dan gas alam (migas). Namun dalam konteks penguatan kapasitas keuangan
daerah, maka kabupaten/kota di wilayah ini tidak dapat seterusnya mengandalkan
dari sektor migas. Sebab, migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable resources).[1] Oleh karena itu, Pemerintah
Daerah dituntut untuk segera membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas
unggulan beserta strategi yang dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan
ekonomis (target PAD) dengan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Selain itu, perlu kiranya dilakukan “penyadaran” bagi daerah,
bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti tingginya kesejahteraan
masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras material semata. Yang lebih
penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat membangun potensi daerah
demi kemajuan bersama pula. Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan hanya PAD
yang dapat teroptimalkan, namun juga kesejahteraan masyarakat secara lebih
progresif dan merata. Dan inilah hakikat yang sejati dari kebijakan otonomi
daerah seluas-luasnya.
Dalam konteks pengembangan peluang dan potensi
komoditas unggulan sendiri, Kalimantan Timur diyakini merupakan salah satu
wilayah di Indonesia yang sangat prospektif. Selain didukung oleh potensi SDA
yang melimpah dan ketersediaan lahan yang sangat luas, Kalimantan pada umumnya
dan Kaltim pada khususnya juga menjadi titik sentral dalam pembangunan ekonomi
Kawasan Timur Indonesia. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan Kapet
Sasamba (Sanga-Sanga, Samarinda, Balikpapan); pengembangan kawasan perbatasan
Kasaba
(Kalimantan, Sarawak, Sabah); Kerjasama Ekonomi Sub-Regional BIMP-EAGA
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia
and Philippines – East ASEAN Growth Area); Kerjasama Bilateral Sosek
Malindo, dan sebagainya, hanya akan bermakna dan dapat memberikan
manfaat bagi percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah, jika kabupaten/kota
di Kalimantan dapat mengoptimalkan keunggulan komparatif berbagai sektor yang
dimiliki.
Dengan kata lain, penguatan sektor/komoditas
unggulan (terutama sektor non-migas) akan mendorong keberhasilan kebijakan dan
program pembangunan ekonomi daerah dalam skala luas. Eksplorasi pada sektor
migas memang memberi nilai ekonomi tinggi namun hal ini juga menyebabkan terjadinya
ketergantungan Pemda pada sektor ini semakin besar disamping memiliki dampak
lingkungan yang cukup kronis. Karenanya penguatan pada sektor non-SDA sangat
diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor migas yang jelas-jelas bersifat
extractive, short-term dan unrenewable.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
rangka mengoptimalkan potensi non-migas di era otonomi luas, sekaligus dalam
rangka mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, maka perlu adanya identifikasi
potensi serta strategi penguatan komoditas unggulan sektor non-migas sebagai
basis/fondasi ekonomi di masing-masing daerah. Untuk itu, secara lebih terukur perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
·
Identifikasi
terhadap potensi-potensi daerah berdasarkan sektor dan komoditas unggulan, serta
kebijakan dan strategi umum pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam
membangun komoditas unggulan di daerah (Kaltim). Untuk kepentingan identifikasi
ini, perlu pula dipahami prinsip-prinsip perumusan dan implementasi kebijakan
bidang ekonomi di daerah yang ramah investasi (investment-friendly) dalam kerangka penguatan kapasitas keuangan
dan daya saing daerah.
·
Identifikasi berbagai
regulasi daerah yang menghambat iklim investasi atau kehidupan ekonomi daerah, serta
bentuk-bentuk kekeliruan dalam penyusunan Peraturan daerah (Perda).
·
Identifikasi
terhadap arah kebijakan pemerintah pusat dalam bidang perimbangan keuangan
serta upaya mengurangi dependensi anggaran atau antisipasi terjadinya defisit
anggaran daerah.
·
Identifikasi tentang
kendala-kendala dan prospek dalam mendorong tumbuhnya investasi di daerah,
serta alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah ini.
Samarinda, Agustus 2006
[1] Sebagai
ilustrasi, migas yang ada di Kota Tarakan telah dieksploitasi lebih dari 100
tahun dan diperkirakan hanya memiliki cadangan hingga 10-15 tahun yang akan
datang. Lihat, Tribun Kaltim, 29 Mei 006, Jusuf:
Cadangan Gas Tinggal 10 Tahun, PLTU akan Dibangun Tahun 2010. Senada dengan
kondisi Tarakan, Asisten II Setdaprov Kaltim menyatakan bahwa krisis energi
(listrik) yang terjadi di Kaltim antara lain disebabkan oleh semakin mahalnya
BBM untuk sektor industri. Pembangkit energi yang akan dibangun Pemprov Kaltim
sebesar 2 x 25 MW di PLTU Tanjung Batu dengan bahan bakar Batu Bara sangat
tidak memadai dengan kebutuhan energi listrik di Kaltim tahun 2015 sebesar
5.800 MW. Untuk itu saat ini sedang dijajaki kemungkinan pengembangan PLTN yang
melibatkan 4 provinsi di Kalimantan dan dipusatkan di Pontianak (Sambutan pada
pembukaan Rapat Konsultasi Pemantauan Pelaksanaan Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi, diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden
RI di R. Ruhui Rahayu Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, 29 Mei 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar