Jumat, 31 Desember 2010

Penguatan Komoditas Unggulan Sektor Non-Migas Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Daerah di Era Otonomi Luas


Sebagai implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya semenjak 1 Januari 2001, daerah memiliki beban urusan pemerintahan yang sangat berat. Secara filosofis, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, disamping untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Sedangkan secara politis, pemberian otonomi luas tadi menunjukkan adanya komitmen pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian daerah baik dalam hal pengambilan keputusan, penggunaan sumber-sumber daya, maupun penggalian potensi daerah. Namun secara teknis, desentralisasi yang “mendadak” dan dalam skala besar (big bang decentralization) ini menimbulkan beberapa kendala seperti surplus pegawai, atau terjadinya defisit anggaran yang selalu berulang setiap tahunnya.

Untuk mengurangi ketergantungan kepada Pusat sekaligus meningkatkan kapasitas keuangannya, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. Ironisnya lagi, berbagai regulasi daerah tadi banyak yang dibatalkan oleh Pusat karena dinilai tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah.

Di wilayah Kalimantan Timur sendiri, sebanyak 24 Perda yang dibuat kabupaten/kota menyangkut pajak dan retribusi bidang peternakan, kehutanan, ESDM, industri dan perdagangan, kelautan dan perikanan, ketenagkerjaan, perhubungan, lingkungan hidup dan pungutan lainnya telah “ditertibkan” karena dianggap melanggar Undang-Undang. Sementara itu, sebanyak 45 Perda lainnya sedang dalam tahap pengkajian atau evaluasi baik oleh Pemprov kaltim maupun oleh Pusat. Dalam hal ini, beberapa Perda yang dibatalkan Depdagri, antara lain adalah sebagai berikut:

Kab/Kota
PERDA
Kepmendagri yg Membatalkan
Pasir
No. 7/2003 tentang Ketenagakerjaan
No. 25/2001
PPU
No. 12/2001 tentang Pemberian Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
No. 48/2004
Berau
No. 19/2002 tentang Retribusi Pemasukan dan Pengeluaran Hewan Ternak dan Produk Bibit
No. 7/2006
No. 10/2003 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan
No. 8/2006
Bontang
No. 6/2002 tentang Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan
No. 47/2004
No. 7/2002 tentang Perizinan Pendaftaran Usaha Peternakan
No. 15/2005
Nunukan
No. 25/2001 tentang Retribusi Perikanan
No. 39/2005
No. 24/2001 tentang Retribusi Izin Pemanfaatan Laut dan Sungai
No. 40/2005
Samarinda
No. 19/2000 tentang Usaha Perikanan, Pengawasan Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging
No. 14/2005
No. 30/2000 tentang Retribusi Izin Pembuatan Bandar Kapal
No. 129/2005
No. 8/2001 tentang Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang
No. 130/2001
No. 10/2001 tentang Retribusi Ketenagakerjaan
No. 47/2004
Sumber:   1)    Tribun Kaltim, Depdagri Cabut 24 Perda di Kaltim: Dianggap Bermasalah dan Melanggar UU, 1 Mei 2006.
                    2)    Kaltim Post, Perda, Kini Tak Bisa Langsung Berlaku, Selasa, 2 Mei 2006.

Secara umum, lahirnya Perda atau Keputusan Bupati/Walikota tentang pungutan tadi mendapat tentangan yang sangat keras bukan saja dari kalangan masyarakat biasa dan pelaku ekonomi lokal, namun juga dari kaum cendekiawan dan lembaga riset serta lembaga donor baik skala nasional maupun internasional. Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Tahun lalu, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).

Kondisi diatas secara umum menggambarkan bahwa kebijakan desentralisasi secara ideal belum mampu mencapai tujuan utamanya. Sebab, esensi otonomi lebih menghendaki agar daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, sementara bantuan/subsidi Pusat semestinya hanya merupakan komponen pelengkap untuk mendukung kapasitas daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas asli daerah (terutama dibidang keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD terhadap APBD, yang sebagian besar daerah otonom di Indonesia hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total APBD.

Pemerintah Pusat bukan berarti tidak memikirkan kondisi tersebut. Lahirnya UU Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah No 33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU No 25 Tahun 1999 mengggambarkan semakin besarnya proporsi dana perimbangan untuk daerah. Selain itu, UU tadi juga memberikan kepastian atas sumber-sumber dana pemerintah daerah dalam melaksanakan tupoksinya, serta kebebasan dalam menggunakan dana-dana tersebut sesuai dengan fungsinya (local discretion). Namun jika kondisi ketergantungan ini berlangsung terus, maka selama itu pula otonomi daerah di Indonesia akan menjadi kebijakan yang semu.

Mengingat fenomena yang kurang kondusif bagi perkembangan pembangunan ekonomi di daerah tadi, maka kemampuan membaca dan mengoptimalkan potensi unggulan daerah sangatlah penting. Dengan kata lain, tergalinya dan/atau termanfaatkannya komoditas unggulan daerah merupakan prasyarat mutlak bagi keberhasilan pembangunan ekonomi daerah di era otonomi.

Kalimantan Timur sendiri selama ini terkenal sebagai wilayah yang kaya dengan kekayaan sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas alam (migas). Namun dalam konteks penguatan kapasitas keuangan daerah, maka kabupaten/kota di wilayah ini tidak dapat seterusnya mengandalkan dari sektor migas. Sebab, migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources).[1] Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dituntut untuk segera membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas unggulan beserta strategi yang dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan ekonomis (target PAD) dengan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, perlu kiranya dilakukan “penyadaran” bagi daerah, bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti tingginya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras material semata. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat membangun potensi daerah demi kemajuan bersama pula. Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan hanya PAD yang dapat teroptimalkan, namun juga kesejahteraan masyarakat secara lebih progresif dan merata. Dan inilah hakikat yang sejati dari kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya.

Dalam konteks pengembangan peluang dan potensi komoditas unggulan sendiri, Kalimantan Timur diyakini merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat prospektif. Selain didukung oleh potensi SDA yang melimpah dan ketersediaan lahan yang sangat luas, Kalimantan pada umumnya dan Kaltim pada khususnya juga menjadi titik sentral dalam pembangunan ekonomi Kawasan Timur Indonesia. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan Kapet Sasamba (Sanga-Sanga, Samarinda, Balikpapan); pengembangan kawasan perbatasan Kasaba (Kalimantan, Sarawak, Sabah); Kerjasama Ekonomi Sub-Regional BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines – East ASEAN Growth Area); Kerjasama Bilateral Sosek Malindo, dan sebagainya, hanya akan bermakna dan dapat memberikan manfaat bagi percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah, jika kabupaten/kota di Kalimantan dapat mengoptimalkan keunggulan komparatif berbagai sektor yang dimiliki.

Dengan kata lain, penguatan sektor/komoditas unggulan (terutama sektor non-migas) akan mendorong keberhasilan kebijakan dan program pembangunan ekonomi daerah dalam skala luas. Eksplorasi pada sektor migas memang memberi nilai ekonomi tinggi namun hal ini juga menyebabkan terjadinya ketergantungan Pemda pada sektor ini semakin besar disamping memiliki dampak lingkungan yang cukup kronis. Karenanya penguatan pada sektor non-SDA sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor migas yang jelas-jelas bersifat extractive, short-term dan unrenewable.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan potensi non-migas di era otonomi luas, sekaligus dalam rangka mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, maka perlu adanya identifikasi potensi serta strategi penguatan komoditas unggulan sektor non-migas sebagai basis/fondasi ekonomi di masing-masing daerah. Untuk itu, secara lebih terukur perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

·         Identifikasi terhadap potensi-potensi daerah berdasarkan sektor dan komoditas unggulan, serta kebijakan dan strategi umum pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam membangun komoditas unggulan di daerah (Kaltim). Untuk kepentingan identifikasi ini, perlu pula dipahami prinsip-prinsip perumusan dan implementasi kebijakan bidang ekonomi di daerah yang ramah investasi (investment-friendly) dalam kerangka penguatan kapasitas keuangan dan daya saing daerah.
·         Identifikasi berbagai regulasi daerah yang menghambat iklim investasi atau kehidupan ekonomi daerah, serta bentuk-bentuk kekeliruan dalam penyusunan Peraturan daerah (Perda).
·         Identifikasi terhadap arah kebijakan pemerintah pusat dalam bidang perimbangan keuangan serta upaya mengurangi dependensi anggaran atau antisipasi terjadinya defisit anggaran daerah.
·         Identifikasi tentang kendala-kendala dan prospek dalam mendorong tumbuhnya investasi di daerah, serta alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah ini.


Samarinda, Agustus 2006


[1]     Sebagai ilustrasi, migas yang ada di Kota Tarakan telah dieksploitasi lebih dari 100 tahun dan diperkirakan hanya memiliki cadangan hingga 10-15 tahun yang akan datang. Lihat, Tribun Kaltim, 29 Mei 006, Jusuf: Cadangan Gas Tinggal 10 Tahun, PLTU akan Dibangun Tahun 2010. Senada dengan kondisi Tarakan, Asisten II Setdaprov Kaltim menyatakan bahwa krisis energi (listrik) yang terjadi di Kaltim antara lain disebabkan oleh semakin mahalnya BBM untuk sektor industri. Pembangkit energi yang akan dibangun Pemprov Kaltim sebesar 2 x 25 MW di PLTU Tanjung Batu dengan bahan bakar Batu Bara sangat tidak memadai dengan kebutuhan energi listrik di Kaltim tahun 2015 sebesar 5.800 MW. Untuk itu saat ini sedang dijajaki kemungkinan pengembangan PLTN yang melibatkan 4 provinsi di Kalimantan dan dipusatkan di Pontianak (Sambutan pada pembukaan Rapat Konsultasi Pemantauan Pelaksanaan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden RI di R. Ruhui Rahayu Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, 29 Mei 2006).

Tidak ada komentar: