Ketika
euphoria reformasi total bergulir
tahun 1998, tatanan makro sistem politik dan sistem pemerintahan RI turut
berubah secara fundamental pula. Ide executive
heavy yang terkandung dalam UUD 1945 pra-amandemen, tiba-tiba bermetamorfosis
menjadi legislative heavy. Dampaknya,
DPRD menjadi lembaga super body yang “kebablasan”,
dimana perilaku politik para wakil rakyat di beberapa daerah cenderung over-acting melalui aksi-aksinya
melengserkan kepala daerah secara kurang proporsional. Lebih memprihatinkan
lagi adalah terjadinya fenomena korupsi yang makin mengakar dan menyebar, yang
sebagian besar melibatkan para politisi lokal. Itulah sebabnya, kedudukan badan
legislatif dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru disejajarkan kembali dengan
kedudukan lembaga eksekutif. Ini berarti bahwa Kepala Daerah tidak lagi
bertanggungjawab kepada DPRD.
Sementara
itu, maraknya kasus korupsi di daerah serta semangat untuk membangun tata
kepemerintahan yang baik (good governance),
telah mendorong Pemerintah untuk menciptakan sistem dan institusi hukum yang
lebih kuat dalam rangka pemberantasan KKN. Implikasinya, lahirlah pranata hukum
baru seperti KPK dan Timtastipikor, yang dalam prakteknya, pranata hukum tadi
telah menjelma sebagai super body baru
dalam tata hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Artinya, fenomena legislative heavy telah bermetamorfosis
kembali menjadi judicative heavy. Dan
ironisnya, kewenangan yang amat besar yang dimiliki oleh institusi hukum baru
tadi secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada “terganggunya” proses
pelayanan publik dan pembangunan daerah.
Indikasi
dari deselerasi pembangunan daerah ini antara lain nampak dari tingkat
penyerapan anggaran publik yang hanya mencapai ± 10% hingga akhir triwulan ke-2
tahun 2006. Selain itu, di banyak daerah sering dijumpai kasus mundurnya
pejabat dan keengganan pegawai untuk diangkat sebagai pengelola proyek atau
panitia pengadaan barang dan jasa. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh
terhadap kinerja makro pemerintahan serta kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dengan kata
lain, kekhawatiran, keragu-raguan, dan bahkan ketakutan di kalangan pejabat
publik terhadap bayang-bayang sanksi pidana dalam pelaksanaan tugas pokoknya, dapat
membawa kerugian terhadap masyarakat secara luas. Kondisi seperti ini jelas
sangat bertolak belakang dengan semangat pemberatasan korupsi, yakni
meningkatkan hak dan perlindungan hukum bagi masyarakat termasuk didalamnya
aspek pelayanan publik.
Gambaran
diatas secara tersirat mencerminkan adanya carut marut dan ketidakseimbangan
dalam tata hubungan antar fungsi kenegaraan dan antar lembaga negara. Padahal,
semangat reformasi (termasuk semangat pemberantasan korupsi) lebih menghendaki
terjadinya mekanisme checks and balances yang
seimbang dan mutualis antar lembaga negara, dan tidak dalam konteks saling merugikan
atau saling mengalahkan (zero sum atau
trade-off). Ini berarti pula bahwa
reformasi fungsional kelembagaan negara saat ini belum berjalan dengan baik,
serta masih sangat jauh dari output atau
impact ideal yang diharapkan. Dengan demikian, proses reformasi lembaga negara
harus dilanjutkan menuju terwujudnya keseimbangan baru (new equilibrium) terhadap peran dan fungsi lembaga eksekutif,
legislatif, dan judikatif, baik di Pusat maupun di Daerah.
Dalam
kerangka membangun keseimbangan antar lembaga negara tadi, maka wacana tentang
perlunya upaya perlindungan bagi pejabat publik dalam menjalankan kewenangan
dan diskresinya, menjadi sangat krusial. Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan
untuk memberikan kekebalan (immunity)
ataupun kewenangan yang berlebih (excessive
power) bagi birokrat pemerintahan, melainkan lebih sebagai jaminan
kepastian hukum terhadap kebijakan dan/atau keputusan yang diambil (asas het vermoeden van rechtmatigheid).
Selain
itu, upaya untuk memisahkan secara tegas antara proses hukum (khususnya pidana)
dengan proses administratif perlu pula dilakukan secara serius. Hal ini
mengandung pemahaman bahwa jika terjadi kekeliruan, penyimpangan, maupun
kekhilafan dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik (public policy) sebagai instrumen yang
melekat pada jabatan publik, maka mekanisme administratif perlu ditempuh
terlebih dahulu sebelum dilanjutkan dengan proses hukum. Sebagai contoh, dalam
kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Kaltim karena dikeluarkannya
rekomendasi izin pelepasan / pembebasan lahan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit, sebelum dilakukan pemeriksaan berdasar UU
Pemberantasan Korupsi, maka harus dilakukan dulu mekanisme administratif
terhadap kebijakan/keputusan yang dikeluarkan, baik dengan revisi, pencabutan,
pembatalan sebagian, atau pembatalan sepenuhnya.
Sayangnya, dalam berbagai kasus aparat penegak hukum
lebih berkonsentrasi pada dimensi hukum pidana (khusus) dan cenderung
mengabaikan upaya perbaikan terhadap kebijakan yang terlanjur ditetapkan
(dimensi hukum administrasi negara). Hal ini tentu saja menjadi preseden kurang
baik dalam konteks reformasi sistem hukum nasional. Dan jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya telah
berlangsung superordinasi sistem hukum yang satu terhadap sistem hukum yang
lain, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan (unitary state). Dengan kata lain,
prinsip proporsionalitas dalam penanganan kasus-kasus hukum perlu dijunjung
tinggi, terutama oleh aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti bahwa persoalan
kebijakan atau administrasi negara hendaknya diproses melalui pendekatan hukum
administrasi negara, sebelum dibuktikan adanya unsur pidana atau perdata di dalam
kebijakan tersebut. Jika tidak, maka sinyalemen beberapa pihak tentang adanya
“kriminalisasi kebijakan” bisa jadi bukan isapan jempol semata.
Atas dasar pemikiran diatas, maka pemikiran-pemikiran
alternatif mengenai upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, khususnya
dalam optik hukum administrasi negara, diyakini masih akan bergerak sangat
dinamis. Namun, diantara dinamika hukum yang ada
tadi, diharapkan ada sebuah konsensus nasional tentang korelasi (konvergensi atau divergensi) antara upaya pemberantasan korupsi terhadap kinerja dan/atau
kualitas pelayanan publik di daerah serta terhadap keberlangsungan pembangunan
sosial ekonomi. Hal ini penting agar semangat dan komitmen memberantas korupsi tidak
berefek negatif terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan serta pelayanan
publik. Untuk itu, beberapa point dibawah ini mungkin cukup berguna untuk mengurai
hubungan diantara keduanya.
·
Identifikasi terhadap langkah-langkah dan
kebijakan pemberantasan korupsi di beberapa negara tetangga sebagai sebuah benchmark reformasi hukum di Indonesia.
·
Klarifikasi tentang upaya penguatan diskresi
dan upaya perlindungan pejabat publik di tengah gelombang aksi anti KKN.
·
Adanya benchmark model pemberantasan korupsi dan reformasi ketatanegaraan
di beberapa negara tetangga.
·
Identifikasi atas perkembangan
terkini kasus-kasus korupsi Legislatif di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.
·
Upaya konkrit
dan kontinyu menumbuhkan konsep checks and balances antar pilar lembaga negara dan/atau fungsi
negara yang lebih egaliter, sinergis, dan harmonis.
·
Revitalisasi
sistem dan kelembagaan pengawasan pembangunan dalam kerangka pemberantasan
korupsi dan perwujudan good governance.
Samarinda, 13 September 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar