Jumat, 31 Desember 2010

Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara


Ketika euphoria reformasi total bergulir tahun 1998, tatanan makro sistem politik dan sistem pemerintahan RI turut berubah secara fundamental pula. Ide executive heavy yang terkandung dalam UUD 1945 pra-amandemen, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi legislative heavy. Dampaknya, DPRD menjadi lembaga super body yang “kebablasan”, dimana perilaku politik para wakil rakyat di beberapa daerah cenderung over-acting melalui aksi-aksinya melengserkan kepala daerah secara kurang proporsional. Lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya fenomena korupsi yang makin mengakar dan menyebar, yang sebagian besar melibatkan para politisi lokal. Itulah sebabnya, kedudukan badan legislatif dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru disejajarkan kembali dengan kedudukan lembaga eksekutif. Ini berarti bahwa Kepala Daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD.

Sementara itu, maraknya kasus korupsi di daerah serta semangat untuk membangun tata kepemerintahan yang baik (good governance), telah mendorong Pemerintah untuk menciptakan sistem dan institusi hukum yang lebih kuat dalam rangka pemberantasan KKN. Implikasinya, lahirlah pranata hukum baru seperti KPK dan Timtastipikor, yang dalam prakteknya, pranata hukum tadi telah menjelma sebagai super body baru dalam tata hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Artinya, fenomena legislative heavy telah bermetamorfosis kembali menjadi judicative heavy. Dan ironisnya, kewenangan yang amat besar yang dimiliki oleh institusi hukum baru tadi secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada “terganggunya” proses pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Indikasi dari deselerasi pembangunan daerah ini antara lain nampak dari tingkat penyerapan anggaran publik yang hanya mencapai ± 10% hingga akhir triwulan ke-2 tahun 2006. Selain itu, di banyak daerah sering dijumpai kasus mundurnya pejabat dan keengganan pegawai untuk diangkat sebagai pengelola proyek atau panitia pengadaan barang dan jasa. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kinerja makro pemerintahan serta kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dengan kata lain, kekhawatiran, keragu-raguan, dan bahkan ketakutan di kalangan pejabat publik terhadap bayang-bayang sanksi pidana dalam pelaksanaan tugas pokoknya, dapat membawa kerugian terhadap masyarakat secara luas. Kondisi seperti ini jelas sangat bertolak belakang dengan semangat pemberatasan korupsi, yakni meningkatkan hak dan perlindungan hukum bagi masyarakat termasuk didalamnya aspek pelayanan publik.

Gambaran diatas secara tersirat mencerminkan adanya carut marut dan ketidakseimbangan dalam tata hubungan antar fungsi kenegaraan dan antar lembaga negara. Padahal, semangat reformasi (termasuk semangat pemberantasan korupsi) lebih menghendaki terjadinya mekanisme checks and balances yang seimbang dan mutualis antar lembaga negara, dan tidak dalam konteks saling merugikan atau saling mengalahkan (zero sum atau trade-off). Ini berarti pula bahwa reformasi fungsional kelembagaan negara saat ini belum berjalan dengan baik, serta masih sangat jauh dari output atau impact ideal yang diharapkan. Dengan demikian, proses reformasi lembaga negara harus dilanjutkan menuju terwujudnya keseimbangan baru (new equilibrium) terhadap peran dan fungsi lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif, baik di Pusat maupun di Daerah.

Dalam kerangka membangun keseimbangan antar lembaga negara tadi, maka wacana tentang perlunya upaya perlindungan bagi pejabat publik dalam menjalankan kewenangan dan diskresinya, menjadi sangat krusial. Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk memberikan kekebalan (immunity) ataupun kewenangan yang berlebih (excessive power) bagi birokrat pemerintahan, melainkan lebih sebagai jaminan kepastian hukum terhadap kebijakan dan/atau keputusan yang diambil (asas het vermoeden van rechtmatigheid).

Selain itu, upaya untuk memisahkan secara tegas antara proses hukum (khususnya pidana) dengan proses administratif perlu pula dilakukan secara serius. Hal ini mengandung pemahaman bahwa jika terjadi kekeliruan, penyimpangan, maupun kekhilafan dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik (public policy) sebagai instrumen yang melekat pada jabatan publik, maka mekanisme administratif perlu ditempuh terlebih dahulu sebelum dilanjutkan dengan proses hukum. Sebagai contoh, dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Kaltim karena dikeluarkannya rekomendasi izin pelepasan / pembebasan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, sebelum dilakukan pemeriksaan berdasar UU Pemberantasan Korupsi, maka harus dilakukan dulu mekanisme administratif terhadap kebijakan/keputusan yang dikeluarkan, baik dengan revisi, pencabutan, pembatalan sebagian, atau pembatalan sepenuhnya.

Sayangnya, dalam berbagai kasus aparat penegak hukum lebih berkonsentrasi pada dimensi hukum pidana (khusus) dan cenderung mengabaikan upaya perbaikan terhadap kebijakan yang terlanjur ditetapkan (dimensi hukum administrasi negara). Hal ini tentu saja menjadi preseden kurang baik dalam konteks reformasi sistem hukum nasional. Dan jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya telah berlangsung superordinasi sistem hukum yang satu terhadap sistem hukum yang lain, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan (unitary state). Dengan kata lain, prinsip proporsionalitas dalam penanganan kasus-kasus hukum perlu dijunjung tinggi, terutama oleh aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti bahwa persoalan kebijakan atau administrasi negara hendaknya diproses melalui pendekatan hukum administrasi negara, sebelum dibuktikan adanya unsur pidana atau perdata di dalam kebijakan tersebut. Jika tidak, maka sinyalemen beberapa pihak tentang adanya “kriminalisasi kebijakan” bisa jadi bukan isapan jempol semata.

Atas dasar pemikiran diatas, maka pemikiran-pemikiran alternatif mengenai upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, khususnya dalam optik hukum administrasi negara, diyakini masih akan bergerak sangat dinamis. Namun, diantara dinamika hukum yang ada tadi, diharapkan ada sebuah konsensus nasional tentang korelasi (konvergensi atau divergensi) antara upaya pemberantasan korupsi terhadap kinerja dan/atau kualitas pelayanan publik di daerah serta terhadap keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi. Hal ini penting agar semangat dan komitmen memberantas korupsi tidak berefek negatif terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan serta pelayanan publik. Untuk itu, beberapa point dibawah ini mungkin cukup berguna untuk mengurai hubungan diantara keduanya.

·        Identifikasi terhadap langkah-langkah dan kebijakan pemberantasan korupsi di beberapa negara tetangga sebagai sebuah benchmark reformasi hukum di Indonesia.
·         Klarifikasi tentang upaya penguatan diskresi dan upaya perlindungan pejabat publik di tengah gelombang aksi anti KKN.
·         Adanya benchmark model pemberantasan korupsi dan reformasi ketatanegaraan di beberapa negara tetangga.
·         Identifikasi atas perkembangan terkini kasus-kasus korupsi Legislatif di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
·         Upaya konkrit dan kontinyu menumbuhkan konsep checks and balances antar pilar lembaga negara dan/atau fungsi negara yang lebih egaliter, sinergis, dan harmonis.
·         Revitalisasi sistem dan kelembagaan pengawasan pembangunan dalam kerangka pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance.

               
Samarinda, 13 September 2006

Tidak ada komentar: