Butir-butir Pemikiran sebagai Masukan dalam Pembahasan Kerangka Umum Hukum
Administrasi Negara (KUHAN)
1. Dibanding dengan rezim hukum
yang lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pidana, dan Hukum Niaga, HAN (Hukum
Administrasi Negara) memang jauh tertinggal. Jika 3 (tiga) lapangan hukum
pertama telah memiliki kodifikasi dan unifikasi hukum, maka HAN adalah
satu-satunya lapangan hukum yang belum terkodifikasi dan/atau terunifikasi.
Pertanyaannya: perlukah dilakukan kodifikasi dan unifikasi HAN? Mengingat HAN
di Indonesia dewasa ini adalah hukum yang bergerak sangat dinamis, terdorong
oleh perubahan sistem ketatanegaraan (ranah HTN) yang begitu cepat[1], nampaknya sangat sulit untuk melakukan
upaya kodifikasi/unifikasi HAN tersebut.
2. Apakah Kerangka Umum HAN
(KUHAN) nampaknya dapat dijadikan sebagai sebuah langkah awal untuk menyusun
Kitab Undang-Undang HAN (KUHAN)? Namun sebaiknya KUHAN ini tidak bersifat
kompilatif terhadap aturan-aturan yang mengatur hal tertentu, namun lebih baik
diarahkan untuk menemukan filosofi atau esensi dasar yang
melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan (aturan atau keputusan),
serta pola perilaku pejabat/badan pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Hal
ini sesuai dengan definisi HAN yang dikemukakan oleh Rijksoverheid, yakni: Het bestuursrecht, ook bekend als
administratief recht, beschrijft de regels waaraan de overheid zich moet houden
bij het nemen van besluiten. (Administrative
law describes the rules that the government must consider when making
decisions).[2]
Kaidah-kaidah perilaku yang harus
diacu oleh pejabat/badan pemerintahan, atau disebut juga kaidah HAN, di Belanda
tertuang dalam Algemene wet bestuursrecht
(Awb) atau General Administrative Law Act
(GALA). Dalam Awb ini diatur mengenai bagaimana sebuah keputusan disiapkan (hoe een besluit moet worden voorbereid),
bagaimana keputusan tersebut diundangkan dan/atau dilaksanakan (hoe het moet worden bekendgemaakt),
serta dalam periode kapan kebijakan tersebut harus dibuat dan/atau dijalankan (binnen welke termijn een besluit genomen moet
worden).
3.
Dengan demikian,
penyelenggaraan pemerintahan, perlindungan masyarakat, sumber daya
pemerintahan, fungsi sektoral pemerintahan, struktur kekuasaan negara
sebagaimana tersistematisasi dalam Draft KUHAN, sesungguhnya lebih
menggambarkan wilayah bekerjanya HAN, namun bukan merupakan substansi
dari HAN itu sendiri. Mengacu kepada definisi Rihksoverheid diatas
(ditambah referensi lainnya), maka substansi HAN dapat ditafsirkan meliputi 2
(dua) hal pokok, yaitu:
a. Ilmu yang mempelajari tentang atau seperangkat norma yang
berkenaan dengan kewenangan (competentie) pejabat/badan pemerintahan. Bahkan
Prof. Dr. Marbun menyatakan bahwa HAN adalah ajaran tentang kewenangan (competentie-leer).
b. Ilmu yang mempelajari tentang atau seperangkat norma yang
berkenaan dengan perbuatan hukum (rechtshandelingen) pejabat/badan pemerintahan.
4.
Jika disepakati, maka
KUHAN sebaiknya tidak berisi kompilasi terhadap materi peraturan perundangan
sektoral, namun lebih mengelaborasi 2 (dua) esensi diatas. Secara pribadi
bahkan saya menyarankan agar HAN produk LAN adalah HAN yang memiliki ciri khas
, yakni HAN yang secara esensial berisi tentang ajaran detil tentang kewenangan
(competentie) dan perbuatan hukum (rechtshandelingen) pemerintah. Beberapa
uraian detil tentang kedua dimensi pokok HAN tersebut dapat disarankan sebagai
berikut:
a.
Dimensi kewenangan (competentie)
antara lain berisi tentang:
·
Jenis-jenis wewenang: konstitutif (wewenang asli atau pokok), atributif
(delegasi legislatif), delegatif, dan mandat. Termasuk dalam kewenangan disini
adalah kewenangan dalam pembatalan peraturan / keputusan (ic. Perda).
·
Sumber wewenang atau
cara mendapatkan wewenang: penyebutan dalam konstitusi, delegasi oleh
perundang-undangan, delegasi dan/atau mandat oleh pejabat diatasnya, dll.
·
Bentuk-bentuk
penyimpangan terhadap kewenangan: onrechtmatige
overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pemerintah), detournement
de pouvoir (perbuatan menyalahgunakan atau melampaui wewenang), serta abus
de droit (perbuatan sewenang-wenang).
·
Bentuk-bentuk
ketidakwenangan (onbevoegdheid).
·
Kewenangan diskresi (discretionary power atau ermessen) dan batas-batasnya.
·
Larangan keberpihakan
(netralitas) dan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam penggunaan
kewenangan.
·
Hubungan antar lembaga / instansi pemerintah.
b.
Dimensi perbuatan hukum (rechtshandeling)
antara lain berisi tentang:
·
Bentuk-bentuk perbuatan hukum: mengeluarkan peraturan (regeling), mengeluarkan keputusan (beschikking), melakukan perbuatan nyata (feitelijke rechtshandelingen), serta menafsirkan hukum (rechtsinterpretatie; droit function).
·
Perbuatan hukum di lapangan publik (menurut hukum publik) dan di lapangan
privat (menurut hukum privat).
·
Urutan / hierarkhi peraturan perundang-undangan.
·
Asas-asas pemerintahan
yang layak/baik (ABBB).
·
Fiksi hukum positif dan negatif (jo. Pasal 144 UU No. 32/2004 dan Pasal 3 UU No.
5/1986).
·
Jenis-jenis Keputusan: Perijinan dan Non-Perijinan, Dispensasi dan
Pemutihan, Konsesi dan Lisensi, restitusi, pemberitahuan atau pengumuman,
edaran atau sirkuler, dll.
·
Upaya administratif (administratief
beroep) dan upaya hukum (administratief
rechtspraak).
·
Kaidah dan mekanisme Pencabutan, Penarikan,
Pembatalan dan Revisi Keputusan.
·
Bentuk-bentuk sanksi terhadap perbuatan
pemerintah yang dinyatakan keliru.
·
Hak bagi masyarakat: dengar pendapat, akses dokumen publik.
5.
Saran bahwa KUHAN
sebaiknya tidak berisi kompilasi mempertimbangkan pula bahwa meskipun sudah
terkodifikasi, bukan berarti bahwa KUH Pidana maupun KUH Perdata berisi
kompilasi. Artinya,
masih banyak peraturan perundang-undangan sektoral di ranah pidana maupun ranah
perdata, namun berlaku bersama-sama dengan KUH Pidana dan KUH Perdata. Di ranah
hukum pidana, misalnya, banyak sekali Undang-Undang sektoral yang memuat
“Ketentuan Pidana”, antara lain:
·
UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal, Bab XV Pasal 103-110 memberikan ancaman pidana kepada siapapun yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran,
serta kepada siapapun yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak
lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan,
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang
memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran.
·
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menetapkan 13 (tiga belas) macam
tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46-50A. Ketiga belas tindak pidana
itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu: 1) Tindak pidana yang
berkaitan dengan perizinan; 2) Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia
bank; 3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; dan 4)
Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
·
UU No. 40 Tahun 1990 tentang Pers, pada Bab VIII Pasal 18 juga mengatur
ketentuan pidana Setiap orang yang secara melawan hukum dengan
sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi
pelaksanaan kemerdekaan pers dan hal-hal yang ditentukan dalam UU tersebut.
·
Hal yang sama berlaku juga dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
(Minerba), dan sebagainya.
Sementara
di lapangan hukum perdata, Undang-Undang sektoral yang mengatur soal kontrak
(perjanjian), antara lain:
·
UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, menegaskan bahwa pada
azasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk
sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh
dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual-beli,
tukar-menukar atau lain sebagainya.
·
UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan,
Bab V Pasal 10-23 mengatur tentang perjanjian ketenagakerjaan. Dalam hal ini,
terdapat penekanan bahwa hubungan kerja terjadi hanya karena adanya perjanjian antara pengusaha dan pekerja,
yang dibuat atas dasar kemauan bebas kedua belah pihak, kecakapan kedua belah
pihak, dan lain-lain.
·
Hal yang sama dapat ditemukan dalam UU No. 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
sebagainya, yang pada intinya menegaskan tidak adanya paksaan dalam hubungan
keperdataan, dan segala bentuk transaksi harus berdasarkan pada konsensus para
pihak.
6.
Bab II à Asas-asas HAN. Bagaimana hubungan dengan AUPB / ABBB yang selama ini kita
kenal?
7. Maladministrasi à lihat Slide terpisah.
8. Draft yang ada saat ini menurut hemat saya tetap dapat
dipertahankan sebagai dokumen hasil dari sebuah kerangka pikir yang bersifat
umum. Namun, yang perlu disusun adalah pola pikir umum yang melatarbelakangi
lahirnya dokumen hasil tersebut. Alternatif lain: draft yang ada dipecah.
Bagian Pertama menjadi dokumen terpisah yang bersifat umum (HAN Umum), dengan
pengayaan dan penambahan materi yang belum terakomodir. Sedangkan Bagian Kedua
menjadi dokumen hasil yang besifat sektoral (HAN Sektoral).
9. Demikian beberapa pokok pemikiran yang dapat kami
sampaikan, semoga ada gunanya dan dapat melengkapi konsep yang sudah ada.
Terima kasih.
Bogor, 1 Oktober 2010
[1]
Hukum Tata Negara sesungguhnya adalah
salah satu kecabangan ilmu hukum yang mempelajari negara dalam keadaan diam
atau berhenti (Oppenheim). Namun kasus Indonesia agak unique karena sistem ketatanegaraan yang terus bergerak. Dimulai
dari amandemen konstitusi empat tahun berturut-turut (1999-2002), dilanjutkan
dengan perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian yang terus berubah-ubah,
juga perubahan sistem kabinet dalam kerangka hubungan antar lembaga negara.
Perubahan pada ranah ketatanegaraan ini jelas memberikan pengaruh terhadap
perubahan sistem dan hukum administrasi negara yang dinamis pula.
[2]
Untuk uraian lebih detil, baca situs
Rijksoverheid di http://www.rijksoverheid.nl/onderwerpen/algemene-wet-bestuursrecht-awb;
http://www.rechtspraak.nl/Wat+is+rechtspraak/Rechtsgebieden/Bestuursrecht/;
atau di http://www.rijksoverheid.nl/documenten-en-publicaties/vragen-en-antwoorden/wat-is-bestuursrecht-of-administratief-recht.html;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar