Illegal logging dalam definisi yang sederhana adalah pembalakan liar. Namun definisi ini
tidak akan mujarab jika hendak dipraktikan dalam memberantas illegal logging.
Definisi illegal logging sangat luas dan memiliki banyak modus.
Definisinyapun mengikuti modus kasusnya secara empirik, sehingga tindakan-tindakan
seperti penebangan, sistem pengelolaan, pemasaran, distribusi, perizinan maupun
hasil akhir dari produk hasil hutan kayu yang tidak sesuai hukum disebut illegal
logging.
Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan
beraneka ragam sumber daya alam dan potensi yang dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Sumber daya alam yang di Kalimantan Timur yang menjadi komoditas utama
dari Kalimantan Timur, antara lain pertambangan (batu bara, minyak bumi, gas
alam, bahan mineral), dan sektor kehutanan yang menjadi primadona dari
hasil sumber daya alam. Sayangnya, kekayaan hasil hutan ini lebih banyak
diminati secara illegal.
Illegal logging menjadi isu sentral sekarang ini terutama dalam pembicaraan kawasan hutan
terutama dengan maraknya perusahaan yang bergerak dibidang perkayuan dan
pertumbuhan kapitalisme dalam negeri, sehingga permintaan kayu pun menjadi
tinggi. Jika dibatasi sistem penebangannya oleh pemerintah atau regulasi
negara, maka untuk kelancaran industri tersebut akan melakukan apapun dimana
tindakan ini disebut dengan illegal logging. Illegal logging
merupakan suatu momok yang terjadi di masyarakat Kalimantan Timur pada
khususnya, dan di daerah-daerah dengan potensi hutan yang sangat besar pada
umumnya. Dan hal ini banyak dilakukan secara sistematik melalui rantai politik,
melewati rantai swasta hingga mengkooptasi rantai dalam masyarakat.
Luas hutan Kalimantan Timur sendiri mencapai 14.805.582 hektar yang terdiri
dari hutan lindung 2,9 juta hektar, hutan produksi 9,6 juta hektar dan hutan
konservasi 2,1 juta hektar. Kecenderungan kerusakan hutan semakin
mengkhawatirkan tidak kurang setiap tahunnya Indonesia kehilangan 2,8 juta
hektar hutan atau setiap menitnya kita kehilangan hutan seluas lapangan
sepakbola. Untuk di Kalimatan Timur, sisa luas lahan yang di akibatkan oleh illegal
logging hanya 43 % dari luas lahan kritis yang ada di Kalimantan Timur
mencapai 6,4 juta hektar dan kerusakan hutan yang terjadi dalam setahun di
Kalimantan Timur mencapai 350 Hektar setahun. Akibatnya banyak sumber daya alam
yang ada di Kalimantan Timur menjadi rusak atau punah ekosistem alam, disisi
lain kemampuan untuk melakukan rehabilitasi hutan yang rusak akibat illegal
logging sangat jauh dari menggembirakan, berdasarkan informasi bahwa
rehabilitasi yang dilakukan secara nasional masih dibawah keberhasilan yakni
20%.
Kondisi diatas mengilustrasikan bahwa praktek illegal logging telah menjadi penyakit yang sangat akut dan ancaman
yang begitu nyata, tidak saja bagi keberlangsungan dan kelestarian lingkungan,
namun juga bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam jangka
panjang. Ironisnya, hingga saat ini belum terdapat tanda-tanda yang meyakinkan
bahwa praktek illegal logging akan
dapat diatasi secara tuntas. Koordinasi kelembagaan antar berbagai pihak terkait
seperti Pemda, Polri, aparat kehutanan, LSM, hingga kelompok-kelompok
masyarakat terlihat belum sinergis, bahkan terkesan tidak ada satu institusi
negara-pun yang merasa paling bertanggungjawab terhadap “korupsi” sektor
kehutanan ini. Aturan hukum dari tingkat UU hingga Instruksi Presiden juga
belum memiliki binding force yang
memadai, sehingga dapat dikatakan kurang ada law enforcement pada kasus pembalakan liar ini.
Ketika problema illegal logging belum
bisa diatasi secara komprehensif, maka akan lebih sulit lagi ketika kita bicara
upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Sebab, faktor penyebab utama hutan
gundul adalah deforestrasi yang tidak
terkendali tadi. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis
harus didahului dengan pemberantasan illegal
logging terlebih dahulu. Tanpa upaya yang sistematis menghentikan deforestrasi atau pembalakan liar, maka
tidak akan mungkin terwujud konsep pengusahaan hutan yang lestari dan
berkelanjutan.
Untuk di Kalimantan Timur sendiri upaya untuk pemulihan hutan melalui
program rehabilitasi hutan dan lahan kritis, rata-rata hanya terealisasi kurang
lebih 30.000 hektar atau 11 persen saja dari luas hutan Kalimantan Timur. Akibatnya,
dampak yang nyata dirasakan oleh masyarakat akibat illegal logging tersebut salah satunya adalah sering terjadinya
bencana alam yang terjadi tiap tahun yang banyak merenggut korban jiwa baik bencana
alam yang bersifat banjir yang meluas arealnya dari tahun ke tahun atau tanah
longsor dan juga kerugian materil yang tidak kecil yang di alami oleh
masyarakat.
Ironisnya berbagai penegakan hukum dan keadilan mengenai masalah illegal
logging tampaknya belum maksimal bahkan menjadi terpuruk meskipun sudah
memilki payung hukum yang ditetapkan oleh pemerintah di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan” tetapi
UU tersebut masih memilki celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh
orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan logging. Lemahnya penegakan hukum kehutanan ini sendiri terjadi antara
lain disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Jumlah aparat kehutanan yang tidak memadai dibanding
beratnya tanggung jawab dan scope
atau luas wilayah yang harus diawasi.
2. Adanya pengusaha
atau cukong yang memilih bisnis kehutanan melalui jalan pintas.
3. Indikasi adanya intervensi negatif aparat diluar kehutanan
(POLRI atau TNI).
4. Mentalitas aparat kehutanan.
5. lemahnya pemahaman terhadap aturan oleh aparat penegak
hukum.
Dalam rangka lebih memperkuat upaya memberantas praktek illegal logging ini, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi
Presiden No. 4 tahun 22005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal
di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah RI. Dalam Inpres ini diperintahkan
kepada 12 Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, seluruh
Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan percepatan pemberantasan illegal
logging di kawasan hutan dan peredarannya melalui penindakan terhadap orang
atau badan yang melakukan praktek illegal logging, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Selain itu, Inpres ini juga memberikan tugas-tugas spesifik kepada setiap
pejabat / lembaga negara yang ada.
Selain itu juga disadari didalam rangka penegakan hukum atas praktek illegal
logging setidaknya terdapat opsi-opsi yang merupakan sebuah keharusan untuk
penegakkan hukum tersebut. Dalam hal ini, upaya penanganan untuk memberantas illegal
logging sudah sejak dulu digalakkan, namun jika semua pihak tidak memiliki komitmen
yang kuat, tentu akan sulit memutus mata rantai pembalakan liar ini dan akan
menjadi kasus yang berlarut-larut dan akan mengancam dan rusaknya ekologi dan
sumber daya alam secara permanen. Untuk itu diperlukan suatu tindakan konrkit agar
illegal logging dapat dihentikan. Adapun beberapa tindakan / action yang diperlukan tersebut antara
lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Adanya kepastian
hukum tentang keberadaan hutan, baik untuk produksi maupun lindung dan
konservasi dalam RTRW Kalimantan Timur maupun wilayah-wilayah lainnya.
2.
Perlu dipertegas
hubungan tata kerja antar berbagai institusi kehutanan di pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, yang meliputi pemerintah propinsi serta pemerintah
kabupaten/kota.
3.
Perlu keberanian
dari Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan deklarasi dan perang terhadap
illegal logging.
Selain tindakan diatas dibutuhkan juga langkah awal yang segera dilakukan
secara global melalui strategi yang efektif untuk penanggulangan illegal logging,
yaitu meliputi (1) mencari terminology illegal logging yang sesuai
dengan suatu sistem informasi terpadu, (2) melakukan pengawasan di pintu-pintu
perbatasan dengan mengacu pedoman yang ada, (3) memberikan kemudahan dalam
pengawasan SK SHH untuk produk kayu yang berasal dari pengelolaan hutan
lestari.
Tidak cukup hanya langkah awal dan tindakan diatas saja untuk menghentikan illegal
logging, tetapi juga diperlukan suatu kebijakan prioritas yang mendukung
hal tersebut sehingga tidak berhenti di tengah jalan, yaitu:
1.
Pemberantasan
pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal.
2.
Revitalisasi sektor
kehutanan, khususnya industri kehutanan.
3.
Rehabilitasi dan
konservasi sumber daya hutan.
4.
Pemberdayaan
ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan.
5.
Pemantapan kawasan
hutan.
Berbagai konsep telah banyak untuk menjadikan masukan mengenai penanganan illegal
logging tersebut sehingga nantinya dapat berguna dan bermanfaat dalam
melakukan penanganan illegal logging yang menjadi ancaman tidak hanya
Kalimantan Timur saja tetapi secara global yang akan mempunyai dampak yang
negatif jika tidak ditangani dengan baik.
Atas dasar pemikiran diatas, maka perlu
sebuah pola komunikasi kebijakan yang berfungsi menjembatani perbedaan pendapat yang selama ini
mengemuka, sekaligus menciptakan lingkungan yang kondusif dalam proses
persiapan peluncuran kebijakan pengembangan sektor kehutanan di Kalimantan pada
umumnya dan Kalimantan Timur pada khususnya. Dalam pola
komunikasi lintas departemen dan lintas kepentingan tersebut, diharapkan dapat terungkap, teridentifikasi, serta
terpetakan secara lebih gamblang hal-hal sebagai berikut:
1.
Kebijakan tingkat nasional dan daerah (strategi,
metode, pola koordinasi, sasaran, kemajuan, dll) dalam penanganan illegal
logging.
2.
Kendala atau hambatan yang mungkin timbul dari
pemberlakuan kebijakan tersebut, serta beberapa alternatif solusi yang dapat
ditawarkan.
3.
Kebutuhan model komunikasi
interaktif dan positif antar aktor / pihak serta meningkatnya saling pengertian
(mutual understanding) dalam menyikapi kebijakan penanganan illegal
logging.
4.
Adanya konsep kebijakan penanganan kehutanan yang
terintegrasi dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development), baik secara ekologis maupun ekonomis.
Samarinda,
April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar