Lahirnya UU
32/2004 membawa perubahan yang fundamental dalam hal pemilihan Kepala Daerah.
Kepala Daerah yang menurut UU Nomor 22/1999 dipilih oleh dan bertanggungjawab
kepada DPRD, sekarang dipilih langsung oleh rakyat dari calon-calon yang
diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat
tertentu. Secara sekilas, butir-butir perubahan UU yang berkenaan dengan
Pilkada Langsung tadi memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun
tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih baik dan lebih demokratis.
Namun jika dicermati lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi
permasalahan yang cukup kompleks.
Adanya ketentuan
pencalonan Kepala Daerah dengan pola “satu pintu”, misalnya, banyak dikritik
sebagai sumber aturan yang secara filosofis akan menjadi penghalang dalam
mewujudkan cita-cita untuk membabat praktek money politics di daerah.
Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini adalah tiadanya hubungan hierarkis
dan koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota
dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi, sementara KPU propinsi
berhubungan secara struktural dengan KPU. Celakanya, UU tadi justru
memerintahkan KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD. Ketentuan ini jelas
tidak logis, sebab pertanggungjawaban proses pemilihan Kepda secara langsung
tidak mungkin diberikan kepada institusi yang memiliki wewenang untuk
mengajukan calon Kepda. Dan yang paling parah adalah adanya indikasi
meningkatnya dinamika dan suhu politik lokal, bahkan cenderung panas dan
bergejolak. Hal ini bisa diamati di beberapa daerah yang Kepala Daerahnya telah
menyelesaikan masa baktinya, mulai terlihat adanya aktivitas penggalangan
masyarakat dan bersaing untuk mendukung jagonya masing-masing.
Fenomena
seperti itu jelas jauh dari harapan disusunnya UU Nomor 32/2004. Disamping
untuk mengembalikan hak demokrasi kepada pemiliknya (yaitu rakyat), ketentuan
tentang Pilkada Langsung juga diharapkan dapat mendorong proses pembangunan
sosial ekonomi secara lebih cepat sehingga dapat diwujudkan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik pula. Logikanya, Kepala Daerah yang mendapat
dukungan langsung dan penuh dari rakyat, akan mampu menciptakan hubungan kerja
yang harmonis dan sinergis dengan berbagai komponen pendukungnya.
Paparan
diatas mengilustrasikan bahwa Pilkada Langsung ini dapat menjadi faktor
pengungkit (leverage effect) yang efektif dalam mengakselerasikan pembangunan
sosial ekonomi dan politik di daerah, namun dapat pula menjadi sumber kegagalan
baru manajemen pemerintahan daerah. Semuanya itu tergantung kepada kesiapan
pemerintah dan masyarakat daerah dalam menyikapi dan merealisasikan kebijakan
tersebut, disamping faktor infrastruktur administrasi yang jelas dan lengkap.
Tanpa adanya kedua prasyarat ini (kesiapan daerah dan infrastruktur
administratif), reformasi politik dan reformasi birorkasi di tingkat lokal
dikhawatirkan mengalami kemandegan, jika tidak dikatakan kemunduran.
Mengingat
hal tersebut diatas, beberapa hal yang perlu dielaborasi lebih lanjut untuk
memastikan hasil yang positif dari Pilkada langsung antara lain:
1.
Bagaimana strategi yang manjur, efektif dan damai dalam
pelaksanaan Pilkada Langsung, dan langkah-langkah konstruktif apa yang harus
dipersiapkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada
(KPUD, DPRD, Eksekutif) sehingga output akhir Pilkada benar-benar dapat
dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai konstituennya?
2.
Benarkah Pilkada Langsung memiliki korelasi dengan upaya mewujudkan
Pemerintahan Daerah yang bersih dan bebas KKN? Jika ya, bagaimana logika
berpikir diantara kedua variable tersebut?
3.
Apakah Pilkada Langsung juga merupakan jawaban yang tepat untuk memperkuat
Grassroot Democracy sekaligus mengakselerasi pembangunan daerah? Dengan
kata lain, apa Pilkada Langsung konvergen atau divergen terhadap pembangunan
sosial ekonomi daerah?
4.
Apa saja pengalaman positif dan negatif dalam implementasi Pilkada
Langsung di Daerah selama ini, dan kebijakan pembinaan seperti apa yang
dibutuhkan, khususnya dalam mengantisipasi gejolak sosial dalam proses Pilkada
Langsung?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
sekaligus tantangan tersebut, maka keraguan terhadap program Pilkada Langsung
dapat diminimalisasi demi kemajuan demokrasi dan peningkatan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Samarinda, 28 Desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar