Kamis, 30 Desember 2010

Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal


Lahirnya UU 32/2004 membawa perubahan yang fundamental dalam hal pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah yang menurut UU Nomor 22/1999 dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD, sekarang dipilih langsung oleh rakyat dari calon-calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat tertentu. Secara sekilas, butir-butir perubahan UU yang berkenaan dengan Pilkada Langsung tadi memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih baik dan lebih demokratis. Namun jika dicermati lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi permasalahan yang cukup kompleks.

Adanya ketentuan pencalonan Kepala Daerah dengan pola “satu pintu”, misalnya, banyak dikritik sebagai sumber aturan yang secara filosofis akan menjadi penghalang dalam mewujudkan cita-cita untuk membabat praktek money politics di daerah. Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini adalah tiadanya hubungan hierarkis dan koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi, sementara KPU propinsi berhubungan secara struktural dengan KPU. Celakanya, UU tadi justru memerintahkan KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD. Ketentuan ini jelas tidak logis, sebab pertanggungjawaban proses pemilihan Kepda secara langsung tidak mungkin diberikan kepada institusi yang memiliki wewenang untuk mengajukan calon Kepda. Dan yang paling parah adalah adanya indikasi meningkatnya dinamika dan suhu politik lokal, bahkan cenderung panas dan bergejolak. Hal ini bisa diamati di beberapa daerah yang Kepala Daerahnya telah menyelesaikan masa baktinya, mulai terlihat adanya aktivitas penggalangan masyarakat dan bersaing untuk mendukung jagonya masing-masing.

Fenomena seperti itu jelas jauh dari harapan disusunnya UU Nomor 32/2004. Disamping untuk mengembalikan hak demokrasi kepada pemiliknya (yaitu rakyat), ketentuan tentang Pilkada Langsung juga diharapkan dapat mendorong proses pembangunan sosial ekonomi secara lebih cepat sehingga dapat diwujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula. Logikanya, Kepala Daerah yang mendapat dukungan langsung dan penuh dari rakyat, akan mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan sinergis dengan berbagai komponen pendukungnya.

Paparan diatas mengilustrasikan bahwa Pilkada Langsung ini dapat menjadi faktor pengungkit (leverage effect) yang efektif dalam mengakselerasikan pembangunan sosial ekonomi dan politik di daerah, namun dapat pula menjadi sumber kegagalan baru manajemen pemerintahan daerah. Semuanya itu tergantung kepada kesiapan pemerintah dan masyarakat daerah dalam menyikapi dan merealisasikan kebijakan tersebut, disamping faktor infrastruktur administrasi yang jelas dan lengkap. Tanpa adanya kedua prasyarat ini (kesiapan daerah dan infrastruktur administratif), reformasi politik dan reformasi birorkasi di tingkat lokal dikhawatirkan mengalami kemandegan, jika tidak dikatakan kemunduran.

Mengingat hal tersebut diatas, beberapa hal yang perlu dielaborasi lebih lanjut untuk memastikan hasil yang positif dari Pilkada langsung antara lain:

1.       Bagaimana strategi yang manjur, efektif dan damai dalam pelaksanaan Pilkada Langsung, dan langkah-langkah konstruktif apa yang harus dipersiapkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada (KPUD, DPRD, Eksekutif) sehingga output akhir Pilkada benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai konstituennya?
2.       Benarkah Pilkada Langsung memiliki korelasi dengan upaya mewujudkan Pemerintahan Daerah yang bersih dan bebas KKN? Jika ya, bagaimana logika berpikir diantara kedua variable tersebut?
3.       Apakah Pilkada Langsung juga merupakan jawaban yang tepat untuk memperkuat Grassroot Democracy sekaligus mengakselerasi pembangunan daerah? Dengan kata lain, apa Pilkada Langsung konvergen atau divergen terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah?
4.       Apa saja pengalaman positif dan negatif dalam implementasi Pilkada Langsung di Daerah selama ini, dan kebijakan pembinaan seperti apa yang dibutuhkan, khususnya dalam mengantisipasi gejolak sosial dalam proses Pilkada Langsung?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sekaligus tantangan tersebut, maka keraguan terhadap program Pilkada Langsung dapat diminimalisasi demi kemajuan demokrasi dan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Samarinda, 28 Desember 2004

Tidak ada komentar: